Kabardewata - Pulau penyu, itulah sebutan yang diberikan oleh para wisatawan terhadap pulau yang lokasinya berjarak sekitar 5 kilometer di sebelah selatan dari pusat Kota Denpasar. Pulau yang nama aslinya Pulau Serangan tersebut awalnya memiliki luas 110 hektar. Namun setelah direklamasi sejak 1990 oleh PT. Bali Turtle Island Development (BTID), luas Pulau Serangan bertambah menjadi 480 hektare. Menurut cerita masyarakat Serangan, sebutan Pulau Penyu sudah dikenal sejak tahun 1970an. Saat itu cukup banyak penyu yang mendarat dan bertelur di pantai Pulau Serangan. Pantai Pulau Serangan menjadi tempat penyu untuk bertelur dan menetaskan anaknya. Kondisi tersebut yang menyebabkan wisatawan ramai berkunjung ke Pulau Serangan dan menyebutnya sebagai Pulau penyu.
Citra Pulau Penyu sempat tercoreng oleh perdagangan dan pembantaian penyu yang terjadi di wilayah Serangan. Saat itu Pantai Serangan menjadi pelabuhan bagi ratusan kapal penangkap penyu yang berlayar hingga Derawan, Kalimantan Timur dan wilayah kepala burung Papua. Perdagangan dan perburuan besar-besaran terhadap penyu, tidak hanya menghancurkan populasi penyu laut di sekitar wilayah Bali saja tetapi juga menyebabkan dampak ekologis terhadap sejumlah kawasan di Indonesia. Akhirnya Bali mendapat predikat sebagai tempat pembantaian penyu.
Peneliti penyu dari Coral Reef Alliance, Drh. I Made Jaya Ratha, M,Si menyatakan akibat perdagangan dan perburuan secara besar-besaran menyebabkan populasi penyu menurun secara drastis. Prediksi jumlah penyu yang dipergunakan untuk kegiatan keagamaan adalah 200 – 300 ekor per tahun, dan semestinya tidak akan menimbulkan dampak ekologis yang berarti bagi populasi penyu di alam. Pemanfaatan penyu untuk konsumsi (perdagangan tak sah) diprediksi lebih dari 60 ton daging penyu per tahun, yang parallel dengan 1000 – 2000 ekor penyu. “jika dilihat kebutuhan untuk upacara jauh lebih sedikit, rata-rata 30-50 ekor per-tahun” papar Jaya Ratha.
Sedangkan berdasarkan data World Wild Foundation (WWF) menunjukkan bahwa pada masa jayanya hingga tahun 2000, perdagangan penyu mencapai sekitar 30.000 ekor per tahun. Kenyataanya perdagangan terus berlangsung dengan alasan memenuhi kebutuhan upacara di Bali. Padahal sesuai Bhisama (fatwa) Parisadha Hindu Darma Indonesia (PHDI) nomor 05/Bhisama/Sabhan Pandita PHDIP/VIII/2005, tertanggal 31 Agustus 2005 menyebutkan bahwa penggunaan sumber daya hayati dalam kegiatan beragama Hindu sesungguhnya bertujuan untuk melestarikan keberadaan sumber daya hayati tersebut di bumi. Selain itu penggunaan penyu untuk upacara juga harus mendapatkan rekomendasi dari PHDI. “dengan panjang karapas 40 centimeter cukup untuk upacara, tetapi alasan upacara selalu dijadikan kedok perdagangan” kata Jaya Ratha.
Menurut Jaya Ratha, kerusakan habitat penyu pasca reklamasi pantai juga menjadi salah satu pemicu menurunya papulasi penyu di perairan Bali, khususnya Serangan. Namun berangsur-angsur mulai tahun 2007, Penyu kembali ditemukan bertelur di Pantai Serangan. Kondisi ini diawali dengan dibukanya Turtle Conservation and Education Center atau Pusat Konservasi dan Pendidikan Penyu (TCEC) oleh Gubernur Bali, Dewa Berata, pada 20 Januari 2006 di Pulau Serangan. TCEC dibangun sebagai bagian dari strategi yang komprehensif untuk menghapus perdagangan penyu illegal di pulau Serangan. Berdiri di lahan seluas 2,4 hektar, TCEC berupaya mendukung komunitas Serangan untuk menemukan mata pencaharian alternatif diluar perdagangan penyu. “ salah satu kegiatan TCEC yaitu penangkaran, penangkaran untuk menyediakan penyu untuk upacara” ujar Jaya Ratha.
Jaya Ratha mengungkapkan satu hal yang perlu dikritisi dari aktivitas TCEC saat ini adalah trend pelepasan tukit yang melibatkan wisatawan. Ada kecenderungan pelepasan tukik menunggu kedatangan wisatawan untuk adopsi. Dimana dari biaya adopsi digunakan untuk membiayai operasional TCEC. Akibat perspektif adopsi tersebut cenderung untuk menahan tukik, padahal idealnya ketika telur penyu menetas menjadi tukik harus langsung di lepas liarkan ke alam. “ada kecenderungan menahan tukik di kolam untuk menunggu wisatawan yang mengadopsi” tegasnya.
Manager TCEC, Made Sukanta mengakui operasional dari TCEC sangat tergantung dari donasi dan adopsi penyu yang silakukan oleh wisatawan. Dalam satu bulan jumlah tukik yang diadopsi oleh wisatawan mencapai 200-300 ekor. Jumlah tersebut belum termasuk adopsi yang dilakukan secara berkelompok oleh perusahaan yang biasanya melakukan pelepasan tukik saat ulang tahun perusahaan. “kita tetap melakukan konservasi melalui penangkaran, tetapi kita mengembangkan konsep adopsi” kata Sukanta.
Sukanta mengakui sumber pemasukan TCEC selama ini hanya berasal dari donasi, adopsi dan kunjungan edukasi. Mengingat selama ini tidak ada bantuan dana rutin dari pemerintah. Apalagi pengelolaan TCEC langsung berada di bawah Badan Usaha Desa (Bumdes). Konsep adopsi menjadi tumpuan untuk membiayaan operasional TCEC. Dimana untuk keperluan biaya pakan saja memerlukan dana mencapai Rp. 3 juta per-bulan. Sementara untuk dana operasional keseluruhan termasuk gaji 10 orang karyawan mencapai Rp. 19 juta per-bulan. “konservasi murni sulit, karena kita membutuhkan biaya operasional” tegas Sukanta.
Dalam perkembanganya TCEC tidak saja menjadi tempat pendidikan dan konservasi penyu. TCEC kini berkembang sebagai tempat wisata. Kunjungan wisatawan ke TCEC terus meningkat secara signifikan. Secara rata-rata kunjungan wisatawan ke TCEC mencapai 300 – 400 wisatawan per-bulan. Dari jumlah wisatawan yang berkunjung ke TCEC hampir 60 persen merupakan wisatawan Eropa. “mereka banyak kesini bukan hanya sekedar ingin tahu, tetapi ingin terlibat melakukan konservasi, bahkan kami ada tenaga sukarela yang merupakan pelajar dari luar negeri” papar Sukanta
Menurut Sukanta, sebagai tujuan wisata, TCEC masih memiliki kekurangan. Kekurangan tersebut adalah terbatasnya informasi terkait perkembangan penyu dan jenis penyu yang ada di serangan. Selain itu, pengetahuan dari SDM yang ada di TCEC tentang penyu juga terbatas. Mengingat SDM yang ada di TCEC merupakan tenaga lokal yang merupakan warga Serangan yang tidak memiliki pengetahuan khusus tentang penyu.
Ditengah keterbatasan yang ada masyarakat Serangan berupaya menjaga citra pulau serangan sebagai pulau penyu.
Salah satu upaya selain konservasi penyu adalah membuat kerajinan tangan berbahan batok kelapa berbentuk penyu. Kerajinan tangan hasil kreasi masyarakat Serangan tersebut cukup diminati oleh para wisatawan yang berkunjungan ke Pulau Serangan. (muliarta)
Tuangkan Komentar Anda