Kerajinan Ukir di Singapadu dan Paras Cetak Bali: Menghidupkan Kembali Seni Bali Tempo Dulu

Kerajinan Ukir di Singapadu dan Paras Cetak Bali: Menghidupkan Kembali Seni Bali Tempo Dulu

Di Singapadu, Bali, seni ukir telah mencapai puncak baru, dan salah satu penggiat terkemuka dalam bidang ini adalah Arsa Paras Ukir Singapadu. Grup ini, yang terdiri dari belasan seniman ukir dari Negari, terkenal akan keahlian mereka dalam seni ukiran Bali yang klasik. Mereka memproduksi berbagai produk mulai dari pot, patung, hingga sanggah antik yang saat ini sangat populer. Dengan menggunakan teknik ukiran tradisional Bali, Arsa Pelinggih Antik & Paras Cetak Negari menghasilkan karya-karya yang tidak hanya memukau secara visual tetapi juga kaya akan nilai budaya dan sejarah.

Pelinggih di merajan Villa Namadewi dari bahan paras cetak dengan motif ukiran Bali tempo dulu.

Sejak tahun 1990-an, Bali telah menyaksikan perkembangan pesat dalam kerajinan ukir paras cetak, terutama sejak masyarakat mengenal penggunaan Portland Cement (PC). Karena kelangkaan dan mahalnya batu paras alam, banyak perajin beralih menggunakan paras cetak sebagai alternatif. Selain di Singapadu, industri ini juga tumbuh subur di Abiansemal, khususnya di Desa Gerih. Di sinilah I Wayan Winasa, seorang perajin lokal, memulai karyanya pada tahun 1995 di Banjar Purwakerta. Ia menamai usahanya Bali Tantri, yang sekarang dikenal atas produksi patung, pot air (belong), tugu, dan berbagai barang lainnya dengan motif ukiran tradisional Bali.

Proses pembuatan produk paras ukir cetak dimulai dengan pencetakan paras, menggunakan cetakan yang dirancang khusus untuk setiap karya yang ingin dibuat. Bahan dasar terdiri dari Tanah Petang dan, seringkali sesuai dengan pesanan, dicampur dengan bubuk paras Bali atau tanah Taro serta sedikit semen untuk meningkatkan kekuatan, sehingga hasilnya lebih baik dari batu paras asli. Penggunaan bahan-bahan lokal ini tidak hanya meningkatkan kualitas material tetapi juga mendukung prinsip penggunaan sumber daya yang berkelanjutan. Setelah bahan dasar mengeras dan dikeluarkan dari cetakan, langkah selanjutnya adalah ukiran manual. Seniman ukir menggunakan peralatan tradisional untuk mengukir motif kuno Bali pada permukaan yang telah dicetak. Proses ini membutuhkan keahlian tinggi dan ketelitian, karena setiap detail kecil pada motif memiliki makna dan penting dalam tradisi Bali.

Langkah terakhir dalam pembuatan produk paras ukir cetak adalah pewarnaan. Pewarnaan dilakukan untuk menonjolkan detail ukiran dan memberikan karakter yang lebih hidup pada produk. Biasanya, pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami atau cat yang disesuaikan untuk menahan kondisi luar ruang, terutama jika produk tersebut akan digunakan sebagai dekorasi eksterior. Proses pewarnaan tidak hanya melindungi ukiran tetapi juga menambah keindahan visual yang membuat setiap karya menjadi unik.
Di Bali, budaya adalah warisan leluhur yang dihormati dan dijaga. Tidak boleh diklaim perorangan karena merupakan warisan bersama yang harus dikembangkan sesuai dengan taksu—semangat atau jiwa—dan diwariskan kembali. Budaya Bali, yang kaya dan beragam, menawarkan wawasan tentang nilai-nilai masyarakat Bali dan pentingnya menjaga tradisi ini tetap hidup di tengah perubahan zaman.

Ukiran angkul-angkul, orderan dari HHRMA Bali

Melalui karya-karya mereka tidak hanya mempertahankan kekayaan seni ukir Bali tetapi juga membantu meneruskan warisan budaya yang berharga ini kepada generasi yang akan datang, menjaga agar esensi Bali tetap lestari dalam setiap ukiran.

Arimpranata
Author : Arimpranata

Mempunyai passion dalam bidang investigasi, IT dan menulis. Gus Arim mencoba memberikan warna baru dalam informasi di Kabardewata.

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait