Sore itu, Kirana meneleponku. Ia memintaku untuk menjemputnya di tempat kursus. Kebetulan saat itu mentari ditutupi oleh awan mendung dan hujan turun disertai angin kencang. Aku tak tega membuat kekasihku menunggu lama. Jadi, aku tancap gas mobil menuju tempat kursusnya. Di tengah perjalanan, aku tak melihat ada pohon tumbang di depanku. Dengan segera ku injak pedal rem itu. Tapi aku malah terlempar dari mobilku hingga kaca mobilku pecah. Untungnya aku baik-baik saja. Tanpa menaiki mobil aku berlari menuju tempat kursus Kirana sambil membawa payung untuknya. Aku tak tahu di mana aku mendapat payung itu. Mungkin saja payung itu terlempar bersama denganku ke luar mobil.
Ketika sampai di sana, aku melihat Kirana yang sedang resah menantiku. Dengan senyuman aku berlari menuju ke arahnya. Belum sampai aku di depannya, ia memberhentikan sebuah taksi. Ia menaikinya dan meninggalkan aku. Aku bingung, kenapa ia mengacuhkanku. Apa karena aku terlambat menjemputnya hingga membuat ia lama menunggu. Biasanya ia tak pernah seperti ini. Tapi apa pun alasannya, aku tahu ini pasti karena salahku. Aku pun berniat meminta maaf padanya.
Malam pun tiba, aku berjalan sambil membawa bunga untuk Kiranaku. Tak lupa cokelat spesial kesukaannya aku kantongi. Sesampai di rumahnya, ku lihat dia sedang asyik membaca buku. Ingin rasanya aku mengagetkannya dengan menutup kedua matanya. Ku letakkan bunga itu di saku celanaku, dan bersiap menutup matanya. Baru ingin aku menutup matanya, Ibunya memanggil dan ia segera masuk ke dalam rumah. Saat itu, aku tak berani memasuki rumah kekasihku. Jadi aku tinggalkan saja bunga dan cokelat itu di depan pintu. Tak lupa ku isikan sebuah kertas kecil yang bertuliskan kata MAAF.
Malam itu, aku tak pulang dan terus menunggu di teras rumah Kirana sampai ia mau menemuiku. Aku terus terjaga sampai ayam jantan mulai berkokok. Mentari kini telah menunjukkan wujudnya, namun Kiranaku belum juga muncul. Tepat pukul 06.45 aku melihat Kirana ke luar bersama adiknya Nami. Ia hampir saja menginjak bunga dan cokelatku. Untung saja Nami segera mengambil barang tersebut dan memberikannya pada Kiranaku. Kirana terlihat kaget melihat pemberianku. Ia kemudian mengintai sekelilingnya.
Aku heran, kenapa Kirana masih mengacuhkanku bahkan seperti tak melihatku. Padahal saat itu aku berada tak jauh darinya. Aku kemudian memanggil-manggilnya, tapi ia tak kunjung menjawabku atau bahkan menoleh ke arahku. Ia kemudian berlalu meninggalkan aku di teras rumahnya bersama Nami. Apa ia sekarang sudah tuli begitu pikirku dengan kesal. Sesaat aku menyadari, kenapa Kirana mengenakan pakaian serba hitam pagi-pagi begini. Mau melayat ke mana dia pikirku. Aku kemudian mengikutinya. Ia menuju rumahku. Ada apa ini, apa yang terjadi di rumahku, siapa yang meninggal ini? Aku kemudian langsung menerobos kerumunan. Aku tak merasakan sentuhan mereka, aku menembus mereka. Apa aku? jangan-jangan aku telah…
Aku langsung berlari ke dalam rumahku. Di sana ku lihat seorang pria muda tengah terbaring dalam tidurnya yang berselimut kain kafan. Senyum bibirnya yang telah pucat, menandakan ia telah tiada. Sesosok wanita paruh baya sedang menangis tersedu-sedu. Dan seorang lelaki tua tengah mengelus-elus punggung wanita tua itu guna menenangkannya. Ku alihkan mataku pada wajah pria muda itu. Wajah yang telah tak asing bagiku. Pria itu aku. Pria yang berselimut kain kafan itu adalah aku.
Aku tak percaya itu aku. Aku menangis saat itu. Ku panggil wanita paruh baya itu dengan sebutan Ibu dan terus berteriak. Ku coba terus menyentuh Ayahku berkali-kali bahkan puluhan kali. Tapi tangan ini menembusnya. Aku putus asa dan berlutut di samping mayatku sendiri. Saat itu aku tersadar, aku pasti telah meninggal ketika mobilku menabrak pohon tumbang itu. Aku yakin. Tapi keyakinanku tak akan membuatku hidup kembali. Karena aku telah dikalahkan oleh maut.
Tuangkan Komentar Anda