Aku melangkahkan kaki menuju kamarku dan menggeletakkan badanku di kasur. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Amel masih seperti kemarin: melaksanakan aksi bisunya denganku. Aku sungguh tidak mengerti apa yang ada di pikirannya setelah hampir dua belas tahun kami bersama-sama. Ya, sejak menempuh pendidikan di taman kanak-kanak aku dan Amel bersama-sama. Suka duka kami lewati berdua. Lari terbirit-birit karena orang gila, menangis tersedu-sedu karena masalah yang menimpa Amel dengan keluarganya dan masih banyak lagi kenangan yang tak mungkin ku hapus begitu saja. Aku sangat terpukul dengan perkataan Amel kemarin. Sungguh, ku rasa ia sedang kerasukan.
“Elo tuh emang PHO, ya, Ca, gue sangat nyesel punya sahabat kayak elo! Mulai sekarang gue gak mau kenal elo lagi, persahabatan kita berakhir mulai detik ini!!”
Kata-kata yang mungkin memang singkat namun sangat menusuk dada, membuatku terus menangis. Hanya karena ia melihatku sedang berbincang berdua dengan Vito lantas ia menuduhku merebut Vito darinya. Padahal aku justru sedang membantunya untuk bisa kembali bersama dengan Vito. Ah mungkin ini memang salahku yang terlalu merasa pintar, sekarang semua kacau karena ulahku. “Non, ada Mas Vito nyariin, Non Ica.” panggil bibi dari pintu kamar. “Oke, Bi, Ica mau ke luar, suruh aja tunggu, ya, Bi.” sahutku. Ada apa Vito mencariku? Dengan kebingungan aku terus berpikir dan menemui Vito duduk di kolam renang yang ada di belakang rumahku.
“Ca, gue mau minta maaf soal waktu itu. Sorry banget gara-gara gue lo sama Amel…”
“Salah gue kok, Vit, gue emang sotoy banget.”
“Bener kata orang, kalian itu sahabatan padahal sifat kalian 180 derajat bedanya! Gue heran lo bisa betah punya sahabat kayak dia. Padahal gue perhatiin lo tuh yang menderita. Lo yang banyak berkorban buat Amel!”
“Ngomong apa sih lo, Vit, nggak gitu juga kok.”
“Lo itu terlalu baik atau gimana sih, Ca.”
“Dari dulu Amel emang gitu. Kesannya egois, pengen menang sendiri tapi di balik itu semua dia orangnya baik banget, kok. Dan satu yang mesti lo inget, hatinya gampang terluka. Apalagi gara-gara masalah keluarganya dulu. Bokapnya ternyata punya selingkuhan dan sekarang bokapnya nggak pernah muncul lagi, dia lebih milih tinggal sama simpanannya. Ya, karena itu dia arogan dan posesif. Tapi seolah-olah bukan maksudnya gitu, karena dia sayang banget sama lo, Vit.”
“Gue juga mikir gitu. Tapi posesif yang berlebihan gak akan bikin orang nyaman, yang ada risih! Bikin ilfil! Sebenernya gue ke sini mau ngomongin yang lain juga.”
“Apaan? Siapa tahu gue bisa bantu.” Vito diam. Aneh, sepertinya ia salah tingkah dan sulit berbicara. Tiba-tiba tangannya memegang erat tanganku. Aku berusaha melepaskannya tapi tidak bisa.
“Ca, gue sayang sama lo.”
“What? Elo ngelindur di siang bolong, Vit? Lo salah minum obat?”
“Gue serius.”
“Jangan bilang gue alesan lo buat mutusin Amel.”
“Sayangnya itu bener.”
“Gak mungkin.”
“Ini fakta. Lo sama Amel beda 180 derajat itu yang bikin gue bisa sayang sama lo. Gue tahu lo pasti kaget dan gak mungkin terima gue, apalagi sekarang lo sama Amel lagi ribut. Gue cuma mau ngungkapin apa yang gue rasain. Syukur kalau lo juga punya rasa yang sama. Satu hal yang lo harus tahu seorang sahabat sejati pasti rela mengorbankan apa pun untuk sahabatnya termasuk soal cinta. Kalau Amel sahabat sejati lo, dia bakal rela ngelihat lo bahagia sama siapa pun termasuk gue. Seandainya persahabatan hanya ada satu orang yang berkorban itu namanya bukan persahabatan, tapi teman yang tak dianggap.”
Aku diam seribu bahasa mendengarkan Vito, setelah itu Vito pergi meninggalkanku yang masih diam seribu bahasa. Aku memang menyukainya, bagaimana tidak? Selama ia berpacaran dengan Amel hampir setiap hari ia selalu menghubungiku untuk menanyakan seputar Amel. Ia sangat perhatian, dewasa, dan bijaksana. Tapi apakah Amel memang sangat keterlaluan sehingga Vito sudah tidak tahan bersamanya lagi? Bagaimana persahabatanku dengan Amel ke depannya?
Langit sore begitu cantik. Menuju malam minggu taman kota mulai ramai oleh pasangan muda-mudi. Biasanya aku pergi ke taman ini bersama Amel. Sebelum dia menghabiskan malam minggu bersama Vito, kami akan menunggu matahari terbenam bersama-sama. Saling bercerita, bercanda, melihat kekonyolan orang-orang di taman. Aku tersenyum tipis mengingat semua yang telah ku lakukan bersama Amel. Apakah dia tidak merindukan aku seperti aku merindukannya? Apakah persahabatan kami memang harus berakhir seperti ini?
“Ica!” Seseorang memanggilku. Aku melihat sekeliling namun tidak ada orang yang ku kenal. Apa aku salah dengar? Mungkin Ica yang lain yang tadi dipanggil.
“Baaaaaaaaa…”
“Johan! Gue kira Ica lain yang dipanggil.”
“Hehehe gue tadi nyumput di sono.”
“Ngapain lo di sini? Jomblo juga.”
“Ngaca neng sendirinya jomblo.”
Aku dan Johan tertawa bersama. Kami sudah mengenal sejak kecil. Johan adalah tetanggaku, usianya satu tahun lebih tua di atasku. Kami pertama kenal setelah orangtua kami berkenalan, saat itu keluarga Johan baru pindah dari luar kota, mereka datang mengunjungi rumahku. Kami sama-sama anak tunggal sehingga kami begitu dekat layaknya saudara. Keluarga kami juga sudah sangat dekat, sudah beberapa kali kami menghabiskan liburan bersama. Johan sendiri aku anggap sebagai kakak, memang impianku memiliki kakak laki-laki yang bisa menjagaku. Tidak ada sekat di antara kami, keterbukaan tentang apa pun membuatku nyaman bersama Johan.
“Amel masih marah, Ca?”
“Iya, Jo. Gue udah gak tahu harus gimana lagi. Gue sama Vito gak ada apa-apa, Jo.”
“I know, mungkin ada baiknya Amel dikasih waktu buat mikir. Dia lagi butuh waktu buat sendiri aja.”
“Sedih, Jo. Amel salah satu harta berharga buat gue. Kenapa sih pikiran dia bisa sesempit itu?”
Johan hanya diam, dia memberiku waktu untuk berbicara sepuasnya. Ku ceritakan semua yang ku rasakan hingga tanpa sadar air mataku jatuh tanpa permisi. Johan memberikan pelukan hangatnya untukku. Aku menangis sepuasnya di sana. “Lo kuat, Ca. Sabar aja, gue ada di sini buat lo.”
—
“Ca…” Aku terbangun dari tidur panjangku dan ku lihat Amel sedang duduk di sampingku. Aku langsung duduk tetapi Amel menahanku. “Ca… Gue…” Tanpa basa-basi aku langsung memeluknya. Kami berpelukan dan menangis sepuasnya. Dalam isakan Amel meminta maaf atas semua perilakunya belakangan ini. Aku hanya mengangguk.
—
“Malam, Bi, Amelnya ada?”
“Mbak Amel baru aja pergi sama Mas Vito, Mbak.”
“Vito? Bibi yakin?”
“Iya, Mbak. Bibi denger sih mereka mau ke cafe tempat biasa.”
“Oke, Bi. Makasih ya, Ica pergi dulu, Bi.”
“Sama-sama. Mbak, hati-hati.”
Entah kenapa perasaanku tak karuan. Pikiranku membayangkan hal-hal buruk yang akan Vito lakukan ke Amel. Apalagi kemarin Vito memaksaku untuk menerima perasaannya.
“Ca, rasa sayang gue ke lo udah gak bisa ditawar lagi. Please, terima cinta gue, Ca.”
“Gak bisa, Vit, sorry. Lo bisa cari cewek lain yang lebih baik dari gue.”
“Seumur-umur baru gue ketemu cewek belagu kayak lo! Lo bakal nyesel udah nolak gue, Ca!”
Aku takut penolakanku kemarin berdampak ke Amel. Bukan aku tidak terima mereka kembali bersama, entah mengapa terasa aneh. Kata-kata Vito terus terngiang di kepalaku. Akhirnya, aku pergi ke cafe yang dimaksud bibi. Untungnya Johan mau mengantarku.
“Itu mobil Vito kan?”
“Iya, Jo. Kok mereka udah mau pergi lagi ya? Untung kita gak telat ke sini. Ikutin mereka, Jo.”
“Oke. Kok gue jadi ketularan lo, ya, mikir si Vito bukan cowok baik-baik.”
“Gue sih sebenernya menilai dia cowok baik, tapi gara-gara kemaren kok gue jadi ilfil aja dan mikir yang aneh-aneh. Gue takut Amel diapa-apain sama dia.”
Perasaanku semakin tidak enak. Johan menenangkanku dengan memegang tanganku. Akhirnya mobil Vito berhenti di suatu tempat. Hotel? Untuk apa mereka pergi ke hotel?
“Kayaknya dia emang cowok b*jat. Lo telepon polisi, Ca. Gue samperin mereka.”
“Jangan, Jo! Lo kan gak kenal Vito, Amel juga gak begitu deket sama lo. Gue aja yang samperin mereka. Kalau sepuluh menit gue gak balik lagi, lo telepon polisi, oke?”
“Gue jadi takut lo yang kenapa-kenapa.”
“Trust me, Jo.”
“Oke, hati-hati, Ca.”
Aku turun dari mobil dan memasuki hotel itu. Hotel yang cukup mewah. Ku tanya kepada staff hotel dan ternyata Vito dan Amel memasuki ruangan tempat pesta teman Vito. Setelah diberi tahu di mana ruangannya aku bergegas ke sana. Di dalam lift hatiku semakin ketakutan entah kenapa. Sampai di sana ku lihat mereka sedang pesta nark*ba dan sialannya ku lihat Vito memaksa Amel untuk ikut dalam pesta itu. Tanpa ba-bi-bu aku langsung menghampiri mereka untuk membawa pergi Amel.
“Apaan sih, Vit, lepasin! Gue mau pulang!”
“Kan lo bilang lo mau ngelakuin apa aja buat gue, lo pengen kita balikan, kan? Ayo sayang, ini enak kok.”
“LEPASIN AMEL!”
Aku berteriak dan melepaskan genggaman Vito. Amel kaget melihatku, wajahnya menjadi pucat. Aku langsung menarik tangannya lalu kami berlari. Vito berhasil mengejarku lalu dia memelukku secara paksa. “Nah, lo boleh pulang sayang. Gue lebih suka Ica. Dari dulu gue sukanya sama Ica, manis, baik, pengertian. Ica lebih baik daripada lo, Mel! Gue pacarin lo biar gue deket sama Ica! Ica lebih cantik hahaha akhirnya kamu datang sayang.”
“LEPASIN GUE! VITO!”
Amel terdiam mendengar ucapan Vito. Sepertinya dia shock mendengar penjelasan Vito. Amel langsung berlari meninggalkanku begitu saja.
“Lo lihat, Ca! Orang kayak gitu lo bilang sahabat? HAHAHA.”
“Gak usah mikirin gue, lepasin gue!!” Aku menggigit Vito lalu berlari meninggalkannya.
Sialannya aku malah tertangkap temannya yang sama-sama ber*ngsek. Temannya malah menggodaku.
“Hai, cantik, sendiri aja. Yuk, gue temenin.”
“Eh, ini jatah gue. Minggir lo!”
“Lepasin gue, Vit! Gue benci sama lo!”
“Heh, terserah lo mau ngomong apa yang pasti…”
Suasana tiba-tiba menjadi sangat ramai, banyak polisi menyerbu. Vito membawaku paksa, aku tetap melawan hingga akhirnya dia memukulku dengan kotak yang ada di dekatnya. Setelah itu aku tidak mengingat apa-apa lagi.
—
“Waktu lo pingsan, lo dibawa ke kamar sama dia dan untung Johan ngelihat. Lo hampir ditelanjangin sama Vito. Dia emang bejat!! Dia harus dihukum mati!!”
Aku tersenyum tipis. Sebenarnya saat aku siuman semalam Johan sudah menjelaskan semuanya. Vito berniat menodaiku. Johan langsung menghajarnya dan untungnya aku masih berpakaian lengkap. Polisi langsung menangkap Vito. Aku ternyata tidak sadar hampir seminggu. Vito memukulku dengan kotak yang berisi botol bir. Dokter juga mengatakan aku baik-baik saja, aku pingsan begitu lama karena aku shock. Aku hanya perlu banyak istirahat dan minum beberapa vitamin.
“Ca, gue mungkin gak tahu malu, gak tahu diri, gue minta maaf sekali lagi, Ca. Gue gak tahu harus ngomong apalagi. Jujur, gue kangen masa-masa dulu. Gue nyesel udah buang permata yang berharga demi harta karun yang ternyata zonk! Maafin gue, Ca. Gue bener-bener nyesel.”
“Mel, sebelum lo minta maaf udah gue maafin. Gue ngerti kok dan gue juga salah. Semua yang terjadi kemaren gak usah diinget lagi. Persahabatan itu indah ketika ada batu besar dan kita bisa melewatinya bersama-sama. Lo udah nyesel aja gue udah seneng, Mel. Gue maafin kok, dan gue harap yang kayak gini gak terulang lagi.”
“Gue janji, Ca, yang kayak gini gak akan terulang lagi. Makasih, Ca, lo emang sahabat terbaik gue.” Amel memelukku kembali. Aku hanya tersenyum. Aku senang Tuhan mengembalikkan sahabatku. “You are my best friend forever.”
—
“Ca… ayo dong.”
“Males, Mel, besok aja deh.”
“Sekarang, Ca, ayo cepet!”
Amel menarik selimutku. Aku menggerutu namun tetap mengikuti kemauannya. Kami sedang berlibur di villa milik ibu Amel. Amel mengajakku melihat sunrise di suatu tempat yang indah dekat villa, itu yang Amel bilang. Padahal sekarang baru pukul empat, kalau tempatnya dekat kenapa harus bangun begitu pagi?
“Gak bawa senter, Mel? Gelap banget, loh.”
“Takut gelap nih? Udah jalan aja jangan banyak ngomong.”
Aku terus berjalan dengan tampang masam, sungguh menyebalkan sahabatku ini. Ku lihat ada cahaya di depan, semakin dekat semakin terang. Aku terus berjalan mendekati cahaya dan melihat ada banyak lilin membentuk hati. Dalam hati itu terdapat sebuket bunga mawar dan ada boneka snoopy kesayanganku. Aku membalikkan badan dan tidak melihat Amel, justru ada Johan yang tersenyum manis.
“Suka?” Aku hanya tertawa dan memukulnya. Johan tertawa juga dan pura-pura kesakitan.
“Pukukan lo kenceng banget tahu! kalau gue masuk rumah sakit gimana?”
“Biarin!”
“Suka gak? Ditanya juga.”
“Hmm, sukaaa hehe.”
Johan tidak menjawab, dia hanya tersenyum.
“Tunggu bentar yaa.” Aku mengangguk lalu dia pergi ke semak-semak. Rasanya senang, entah mengapa hatiku jadi bergetar hebat. Astaga, Johan sudah ku anggap seperti kakakku. Mana mungkin aku mencintainya?
“Ica…”
Aku membalikkan badan dan melihatnya membawa gitar kesayangannya. “Kenapa, Jo?”
“Aku ngerasa seneng bisa bareng kamu selama ini. Udah banyak kejadian yang kita lewati bersama, mungkin kalau dijadiin buku isinya lebih dari seribu halaman. Aku bahagia diizinkan Tuhan untuk menjadi kakak buat kamu. Sudah lama aku meminta izin sama Tuhan buat jadi pelindung kamu, bukan lagi sebagai kakak tapi menjadi laki-laki yang menjaga perempuannya. Tuhan bilang aku harus izin juga sama kamu, jadi sekarang aku mau izin sama kamu. Boleh gak aku jadi pacar kamu? Biar aku bisa jagain kamu lebih baik lagi, biar aku bisa bikin kamu lebih bahagia lagi?” Aku merasa dibawa terbang. Bibirku terlalu berat untuk mengatakan tidak. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Johan juga tersenyum. “Kalau kamu ngizinin kamu ikut nyanyi ya.”
You know all the things I’ve said, You know all the things that we have done
And things I gave to you, There’s a chance for me to say
How precious you are in my life, And you know that it’s true
To be with you is all that I need, Cause with you, my life seems brighter and these are all the things
I wanna say, I will fly into your arms
And be with you, Till the end of time
Why are you so far away, You know it’s very hard for me
To get myself close to you, You’re the reason why I stay
You’re the one who cannot believe, Our Love will never end
Is it only in my dream? You’re the one who cannot see this
How could you be so blind? To be with you is all that I need
Cause with you, my life seems brighter and these are all the things
I wanna say, I will fly into your arms
And be with you, Till the end of time
Why are you so far away, You know it’s very hard for me
To get myself close to you, I wanna get
I wanna get, I wanna get myself close to you
Aku dan Johan tersenyum bersama. Kami berpelukan. Amel tiba-tiba muncul bersama keluargaku dan keluarga Johan. Aku melepaskan pelukan Johan, tentu saja aku malu. Semua tertawa riang dan menyalami kami. Setelah matahari mulai muncul, semua kembali ke villa kecuali aku dan Amel.
“Makasih, Mel. Hari ini gue seneng banget. Lo pasti udah banyak bantuin Johan buat bikin surprise ini.”
“Hehehe iya, gue seneng lihat lo seneng, Ca. Ini semua gak ada apa-apanya sama pengorbanan lo buat gue.”
Aku memeluk Amel. Aku sungguh bahagia telah Tuhan kirimkan malaikat terbaiknya untukku. Amel melepas pelukanku. Dia pergi begitu saja sambil menahan senyum. Ternyata ada Johan.
“Makasih ya, Ca. Udah ngizinin aku buat jadi pacar kamu. Aku masih merasa ini mimpi.”
“Aku juga ngerasa ini mimpi. Kayaknya kemaren kamu baru jadi tetangga aku.” Johan tersenyum lalu aku menyandar di bahunya sambil melihat matahari yang masih di permukaan.
“Terima kasih telah menjadi alasanku untuk bahagia, jangan pernah menghilang ataupun pergi. Kalau kamu pergi nanti aku cari yang baru, kalau aku dapet yang baru nanti kamu nyesel.”
Aku hanya tertawa dan memukulnya. Hari yang begitu indah. Aku bahkan merasa matahari ikut tersenyum atas kebahagiaanku. Tuhan, jangan pernah biarkan aku ditinggalkannya. Jika menjemput kami bersama-sama itu tidak mungkin, biarkan aku yang Kau jemput dahulu. Kehilangannya adalah mimpi terburuk yang tidak ingin aku alami.
Cerpen Karangan: Helena Yasinta Kartikasari
Tuangkan Komentar Anda