Nyepi Menuju Pribadi Dharma

Nyepi Menuju Pribadi Dharma

ADA keunikan di kalangan umat Hindu dalam merayakan hari rayanya. Umat lain merayakan hari raya penuh dengan keramaian dan kegembiraan. Namun, umat Hindu merayakannya dengan penuh keheningan. Atau yang biasa disebut Nyepi.

Ada empat hal yang mereka lakukan selama Nyepi berlangsung. Empat hal yang juga disebut Catur Berata itu meliputi Amati Karya, Amati Geni, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Masing-masing memiliki makna yang mendalam.
 
Amati Karya diartikan tidak melakukan kegiatan apa pun. Lalu, Amati Geni diwujudkan dengan tidak adanya penerangan di sekelilingnya. Suasana dipastikan alami tanpa ada sinar api ataupun listrik. Selanjutnya, Amati Lelungan yang berarti tidak bepergian. Mereka hanya berdiam diri sambil merenungkan semua tindakan yang sudah dilakukan. Terakhir, Amati Lelanguan, yakni tidak adanya hiburan sama sekali. Hanya suara alam dan sekitarnya yang mereka dengar.
 
Empat hal itu membuat suasana tenang. Mereka tidak terusik peristiwa di sekelilingnya. Konsentrasi hanya tertuju pada perenungan pribadi dan kehidupannya. Lalu, melakukan koreksi sambil menilai pelaksanaan trikarya dalam ajaran Hindu.
 
Trikarya merupakan tiga hal yang ditekankan dalam Hindu. Yakni, Kayukan atau perbuatan, Wacika yang berarti perkataan, serta Manacika yang bermakna pikiran. Tiga hal itu merupakan liku-liku yang mengelilingi manusia. Bisa jadi, tersesatnya manusia bisa berawal dari pelaksanaan trikarya yang tidak baik.
 
Setelah merenungi dan mengevaluasi pelaksanaan tiga hal itu, mereka diminta mempersiapkan diri Trikarya Parisudha (trikarya yang suci) pada masa depan. Dengan begitu, keteladanan hidup akan tertata. Baik secara pribadi maupun dengan masyarakat lainnya.
 
Selain merenungkan trikarya, umat Hindu dituntut melakukan evaluasi diri tentang pendakian rohani yang telah dicapai. Di antaranya mengenai hakikat dan tujuan hidup di dunia, sehingga menjadi manusia yang berarti dan membawa manfaat bagi sekelilingnya.
 
Hal-hal tersebut bisa dilakukan dengan baik. Sebab, suasana selama Catur Berata berlangsung membantu perenungan bisa berjalan baik. Pikiran terkonsentrasi pada semua aspek perilaku hidup yang bisa dijalani. Hasilnya pun luar biasa, setiap pribadi merasakan arti hidup yang sebenarnya. Lalu, membikin langkah yang harus dilakukan untuk menyempurnakan hidup bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
 
Namun, persoalannya, esensi ajaran itu sering tidak maksimal. Apalagi, tantangan umat semakin kompleks. Tidak hanya dari dalam diri, lingkungan sekitar juga sangat berpengaruh. Wajar jika akhirnya ritual yang dijalani umat saat Nyepi berlangsung tidak berpengaruh pada kepriadiannya.
 
Ibadah dan kekhusyukan selama Nyepi hanya menjadi seremoni atau rutinitas setiap tahun. Proses dan tahap dilaksanakan seluruh umat dengan penuh keyakinan, tapi tidak bermakna secara mendalam. Karena itu, perilaku tetap sama dan kesalahan masa lalu masih terulang. Patut disayangkan.
 
Nyepi tahun ini merupakan tantangan semua umat. Esensi ibadah harus lebih ditekankan dan bukan sekadar rutinitas. Pelaksanaan ibadah perlu ditambah. Salah satunya dengan puasa. Baik puasa tidak makan dan minum selama 24 jam. Atau, hanya puasa ringan, yakni memakan nasi putih dan air kelapa gading muda. Ibadah tersebut secara naluri memberikan pembelajaran hati kepada umat.
 
Selain ibadah ringan, tanggung jawab menjadi elemen terpenting yang harus dijunjung tinggi. Melaksanakan tanggung jawab sangat berat. Perenungan selama Nyepi, lalu Trikarya Parisudha, harus dilaksanakan baik. Jika itu tidak terlaksana, tanggung jawab manusia langsung tertuju pada Sang Pencipta.
 
Dengan begitu, Nyepi akan menjadi momen bagi umat Hindu untuk menjadi yang lebih baik. Sebab, saat itu umat merenungi semua kesalahan dan kekurangan. Kemudian, berniat memperbaiki dengan tanggung jawab yang tinggi. Secara otomatis, pribadi umat akan semakin mengerti hakikat kehidupan di dunia. Pada waktunya nanti, umat tertuju pada pribadi yang dharma dan menjauhi sifat-sifat adharma.
 
Sangat jarang umat memaknai Nyepi sebagai tonggak penyadaran dharma. Lebih banyak sekadar perayaan dengan penuh kekeluargaan tanpa mengedepankan esensi ibadah. Sudah seharusnya kebiasaan yang terjadi tahun ke tahun itu diubah. Menjadikan Nyepi dengan motivasi menjadi pribadi yang dharma sesuai dengan ajaran agama.
 
Semua pasti menginginkan terwujudnya tiga hal konsep masyarakat. Yaitu, masyarakat Satyam yang berarti kesungguhan dalam menerapkan aturan yang benar. Lalu, Sivam yang berarti ketulusan yang mengutamakan kesucian. Serta, Siwam yang bermakna keharmonisan, keindahan, serta keseimbangan antara unsur fisik dan nonfisik.
 
Tiga hal itu sangat mudah dicapai. Syaratnya, ada kemauan dan ketekunan dari pribadi umat dalam menjalankan ibadah. Sangat diyakini, jika esensi ibadah Nyepi terlaksana dengan baik dan penuh tanggung jawab, tiga konsep masyarakat itu akan terwujud. Dampak nyata dirasakan umat di dunia, kebahagiaan, ketenteraman, dan kedamaian.
 
Negeri ini butuh konsep itu. Umat Hindu di Indonesia juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkannya. Artinya, ketekunan melaksanakan ibadah pada momen Nyepi menjadi aspek penting untuk mewujudkan kedamaian serta kebahagiaan di masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.
 
Sudah saatnya umat bangkit bersama. Menjunjung tinggi ajaran agama, melaksanakan, untuk mencapai pribadi yang dharma. Dari pribadi dharma, terwujud kehidupan sosial yang baik untuk mewujudkan konsep Satyam, Sivam, dan Siwam.
 
Hindu bukan sekadar agama yang membawa kedamaian untuk umatnya. Melainkan, agama yang mampu mewujudkan kedamaian untuk semua manusia. Sebab, Hindu bukan agama egois yang menganggap kebahagiaan untuk kelompok tertentu, tapi lebih pada seluruh manusia di dunia.
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait