Pernikahan atau wiwaha dalam Agama Hindu khususnya di Bali adalah yadnya dan perbuatan dharma. Wiwaha (pernikahan) merupakan momentum awal dari Grahasta Ashram yaitu tahapan kehidupan berumah tangga.
Tentu dalam melangsukan upacara pernikahan hendaknya dapat menentukan hari baik dan juga wajib tahu akan hari-hati yang tidak baik atau menjadi pantangan dalam melangsungkan pernikahan. Ada beberapa hari yang dianggap tidak baik untuk menyelenggarakan pernikahan atau pawiwahan menurut tradisi Hindu di Bali , yaitu sebagai berikut :
1. Rangda Tiga
Rangda tiga merupakan wuku tertentu yang dianggap buruk untuk melangsungkan pernikahan. Wuku-wuku itu yakni Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail dan Prangbakat. Ada keyakinan, jika menikah pada saatrangda tiga, perkawinan bisa berakhir dengan perceraian. “Rangda itu artinya janda(bisa juga duda). Rangda tiga artinya tiga kali menjadi janda atau duda, artinya pernikahan akan selalu gagal,” ujar penyusun kalender Bali dari Buleleng, Gede Marayana.
2. Was Penganten
Was Penganten merupakan hari-hari tertentu seperti Minggu Kliwon dan Jumat Pon wuku Tolu, Minggu Wage dan Sabtu Kliwon wuku Dungulan, Minggu Umanis dan Sabtu Pahing wuku Menail serta Minggu Pon dan Sabtu Wage wuku Dukut. Hari-hari ini juga dianggap kurang baik untuk melangsungkan pernikahan.
3. Uncal Balung
Nguncal Balung yakni hari sepanjang 35 hari, sejak Buda Pon Sungsang atau sehari sebelum Sugihan Jawa atau seminggu sebelum Galungan hingga Buda Kliwon Wuku Pahang yang juga kerap disebut sebagai Buda Kliwon Pegat Wakan. Pada hari itu, umat Hindu biasanya dipantangkan untuk melaksanakan upacara-upacara besar, utamanya yang bersifat ngewangun seperti ngaben dan pernikahan.
4. Panglong
Panglong yakni hari sesudah bulan purnama. Hari yang dianggap baik untuk melangsungkan pernikahan yakni pada penanggal yakni hari sesudah tilem (bulan mati).
5. Ingkel Wong
Ingkel wong artinya hari-hari naas bagi manusia. Karenanya, saat itu tidak baik melaksanakan kegiatan atau upacara yang berkaitan dengan manusia termasuk pernikahan
Kelima hari tersebut merupakan hari-hari yang patut dihindari untuk menyelenggarakan pernikahan. Akan tetapi bagaimana jika terdapat kondisi, ada seorang perempuan yang sudah terlanjur hamil dan si lelaki bersedia bertanggung jawab, akan tetapi pada saat itu dalam waktu dekat tidak ada hari /dewasa yang baik. Apakah harus menunggu datangnya hari baik?
Menurut pendapat IB Putra Manik Aryana, penekun wariga yang juga dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) menyatakan tradisi padewasan di Bali tidaklah kaku benar. Tradisi padewasan bisa diberlakukan secara luwes, sesuai dengan kepentingan yang lebih besar. Seperti pada contoh kasus diatas, jika ditunggu padewasan yang paling baik, anak yang lahir dari perempuan itu bisa dikategorikan sebagai anak bebinjat(anak haram). Karena itu, dibijaksanai untuk memilih hari yang dianggap kurang baik untuk upacara pernikahan dengan menyertakan caru pemarisudha mala dewasa.
“Caru pemarisudha mala dewasa itu dilaksanakan pada pagi hari sebelum matahari terbit dan banten caruitu, setelah selesai di-lebar di lebuh (depan rumah),” kata Manik Aryana.
Maksudnya, saat para tamu yang datang sebagai manusa saksi sudah dimaklumi bahwa hari buruk pada pelaksanaan upacara itu sudah diharmonikan dengan caru pemarisuda mala dewasa. Dengan begitu, aura buruk yang dibawa orang-orang yang datang karena pilihan hari yang buruk bisa dinetralisir karena orang-orang itu, khususnya yang mengerti sudah tahu adanya caru pemarisudha mala dewasa.
Tuangkan Komentar Anda