Kisah Alfred Russel Wallace di atas memberi gambaran bagaimana orang Bali berkuasa karena mitos, membangun kuasa dari raung imajinasi. Sebaliknya banyak kebangsawanan dan kebrahmanaan yang dibangun dengan mitos untuk penguatan kekuasaan di masa lalu itu sudah tidak memiliki kekuasaan lagi karena kehilangan konteksnya.
12 Keris itu bukan peninggalan kesaktian magis, tapi kesaktian pikir dan imajinasi yang mampu menggabungkan bagaimana memanfaatkan ketakutan warga pada kutukan dan sebuah sensus kependudukan dan pajak. Hari ini 12 keris dan mitos yang dibuat itu tidak lagi bisa bekerja sebagai penolak bala atau sebagai kekuatan sensus yang mengikat pajak. Semua fondasi realitas mitos dan kekuasaan yang melekat di zamannya telah berlalu dan rontok.
Begitulah, kemunduran orang Bali secara umum seiring dengan hilangnya pijakan mitos dan kecerdasaan masa silam itu, tapi pewarisnya, para bangsawan dan brahmana, masih mempercayai mitos leluhurnya itu sebagai sebuah “kebenaran historis” tidak dilihat sebagai sebuah mitos kuasa dan membangun kekuasaan di zamannya, sehingga pewarisnya hanya berbangga dengan pepesan kosong yang isinya telah membeku dalam putaran waktu.
Orang Bali banyak dan bahkan ribuan punya mitos yang tumbuh dalam sejarah Bali. Mitos itu melekat dengan orang Bali. Ia bisa kita temui dalam berbagai babad dan silsilah keluarga, ada diberbagai desa, dikisahkan ulang dalam berbagai kesempatan baik sebagai kisah pelepas lelah dan pengisi waktu ataupun dalam mimbar-mimbar pertemuan soroh (klan keluarga) dstnya.
Dulu mitos bekerja membuat orang Bali berkuasa dan berwibawa, hari ini sebaliknya, dilemahkan oleh mitos.
Di sinilah menjadi benar adanya, karma sebuah mitos, ia akan memukul balik. Jika dulu mitos para raja dan brahamana itu bisa mengetarkan dan membuat abdi dan rakyat jelata tunduk dan tertipu, hari ini mitos-mitos yang masih diingat dan diturunkan dari generasi ke generasi dalam keluarga pembuat mitos itu memakan anak-cucunya sendiri.
Anak-cucuknya dan pewarisnya sendiri yang termakan; Lupa kalau itu sebuah mitos kuasa; Pewarisnya menerima sebagai sindrom kekuasaan, yang seakan melekat dalam darah. Tanpa kecerdasan yang cukup, anak-cucu pembuat mitos itu akan menjadi makanan mitos yang dituliskan oleh leluhur mereka sendiri. Bangga dengan mengaku keturunan dari tokoh utama, tapi kenyataannya bahwa mereka tidak punya pencapaian personal yang bisa dibanggakan.
Mereka masuk dunia masa silam, hidup di awang-awang di dunia mitos dan tidak mampu melihat realitas hari ini, melabeli kehidupan pribadinya hari ini dengan mitos usang yang tidak lagi relevan yang sudah terlalu menggelikan untuk diamini.
Manusia Bali yang melabeli dirinya dengan berbagai mitos usang dalam percakapan harian dan kehidupan sosialnya, dia sedang berusaha menyihir orang lain. Tapi pertama-tama yang ditipunya adalah dirinya sendiri, merasa berhak mendapat “privilege” serta penghormatan hanya dengan bekal masa lalu leluhurnya. Seakan penghormatan itu melekat dari lahir tanpa perlu ada pencapaian kekinian yang bisa dibanggakan sebagai manusia hari ini.
Kasus kemunduran Bali bisa kita lihat hari ini: Masih banyak seseorang bukan siapa-siapa jika dilihat personalitas dan pencapaiannya, tapi mendapat penghormatan bahasa, sosial serta keagamaan yang secara logika tidak pada tempatnya karena dikait-kaitkan dengan leluhurnya. Jika masyarakat Bali masih berprilaku berlebihan seperti ini maka sosok manusia yang hanya merasa sudah “jadi orang dengan label mitos leluhur” dan tiada pencapaian hari ini akan menjadi sosok yang merongrong keutuhan kehidupan sosial Bali sekarang. Melemahkan institusi sosial kemasyarakat Bali. Sosok-sosok semacam ini semakin banyak bergentayangan. Manusia Bali umumnya juga kepincut.
Celakanya, masih banyak rakyat jelata Bali yang kesemsem dan tertipu oleh mitos kebangsawanan dan kebrahmanaan. Mitos-mitos lapuk itu memukau dan menjerat jelata sehingga kian kehilangan percaya diri dan tertekan. Mitos-mitos itu memakan keturunan para pembuat mitos dan warganya sampai sekarang.
Mitos-mitos itu tetap saja sampai sekarang menjadi kubangan yang membuat penipu (pemakainya) dan yang tertipu terjebak dalam kubangan dalam mitos tanpa diimbangi upaya keluar untuk loncat memasuki dunia logos yang mencerahkan dan membebaskan.
Mitos-mitos itu bergentayangan dalam kehidupan orang Bali, melenakan dan membuat orang Bali lupa diri dan lupa kehidupannya hari ini, sibuk dengan mitos dan soroh serta silsilah; dalam pada itu manusia Bali kehilangan jati diri, dan terpenting Tanah Bali yang dulu dikuasai oleh orang Bali di masa lalu, hari ini terus dijarah oleh para penumpang gelap.
Orang Bali kena karma? Tidak. Hanya terlalu lama tersihir mitos-mitos usang dan kini bersambung terbujuk rayuan berhala baru.
Orang Bali perlu bangun dan cuci muka dan melihat realitas hari ini: Mitos masa silam itu kini mendapat kawan baru bernama mitos kemajuan dan berhala pertumbuhan ekonomi. Rayuan maut para investor dan maklar memakan para priyayi dan jelata. Bali kehilangan pijakan dijarah dari pesisir, pantai, teluk, dijarah sepanjang tepian sungai dan sumber-sumber airnya, persawah dikonversi menjadi perumahan, hotel dan restoran serta gunung dan tanah-tanah di desa di Bali sekarang dimiliki oleh pemiliknya baru dari antah berantah.
Apalah artinya Agama Tirtha jika telah kehilangan tanah, sumber air, sungai, pesisir dan teluk, serta berbagai kawasan yang disucikan? Orang Bali perlu bangun dan cuci muka untuk melihat kenyataan hari ini bahwa telah terjadi konversi dari cara pikir Daiwa Sampat (sifat kedewataan) ke Asuri Sampat (sifat keraksasaan) yang mencaplok Pulau Bali.
Tamat
Tuangkan Komentar Anda