Aku adalah sebuah pisau dapur. Aku dibuat untuk para ibu-ibu yang ku pastikan memakai jasaku melayani suami dan anak mereka. Sebesit pikiran melintas, terbayang seorang ibu-ibu bertubuh gempal bercelemek yang akan menjadi majikanku. Aku bahkan tak pernah berkhayal sedikit pun akan berakhir di sini. Di tangan seorang gadis cantik bermata sendu. Aku bersumpah dengan jelas melihatnya. Saat seringai pedih tergores di sudut bibirnya.
“Crashhh!”
Lagi, liquid berbau anyir kembali memandikanku. Terhempas, berputar, melayang di udara ketika tangan putih terlumur cairan merah kental itu bergerak dengan lihai, bermain begitu indah. Entah sudah berapa kali tangan itu bermain denganku, yang pasti tak ada yang mau peduli. Aku pun, pada akhirnya aku akan kembali tersembunyi di balik rasel ini, Gelap. “Yuki nee-chan!” samar-samar suara lengkingan seorang anak laki-laki terdengar. Aku tidak bisa melihatnya. “Hiko, kau sudah pulang?” desahan sejernih lonceng itu mengalun, aku tahu suaranya memang begitu indah. Aku pernah melihatnya, parasnya sangat cantik. Dia bagai jelmaan bidadari, hanya saja..
“Yuki-nee bawa makanan untukku kan? Nee-chan kan sudah janji, Hiko sangat lapar. Apalagi belum makan sejak pagi. Uhh… Nee-chan gak lupa lagi kan?”
“Ya Hiko, nee-chan baru pulang kerja. Hari ini nee-san membawa daging lagi, ayo kita makan bersama.”
“Kok daging lagi sih, Hiko gak suka, dagingnya gak enak. Hiko ingin yang manis, Hiko mau kue nee-chaannn…”
“Untuk kali ini makanlah besok nee-chan janji akan membawa kue untuk Hiko.”
“Janji ya?”
“Ya Hiko..”
“Baiklah ayo masuk nee-chan. Kita makan.”
“Hm’m”
.. Bidadari yang berhati iblis.
Lagi..
Lagi..
Terus begini..
Waktu terus berlalu, sudah hampir 3 bulan aku bersamanya. Aku yang harusnya membantu pekerjaan manusia, kini justru beralih menjadi teror. Perbuatannya sudah kelewat batas. Entah sudah berapa kepala yang tertusuk. Organ dalam yang terpotong. Majikanku adalah orang gila, seburuk-buruknya pembunuh dia adalah yang paling menjijikkan. Karena selain membunuh korbannya ia pun menyantap tubuh itu. Dan lagi diberikan kepada adiknya yang masih begitu polos. Rumah berlapis kardus di sebuah kandang binatang yang sangat tak layak ditempati. Mereka begitu menyedihkan. Tapi aku tak pernah tahu ada sebuah frame photo sangat indah di sana.
Seorang lelaki tampan dengan mata tajam seindah batu onyx dan surai sekelam malam terpatri di dalamnya. Hanya, noda merah mengotori kaca bingkai dengan beberapa bagian yang telah retak membuatnya terlihat mengerikan. Tak pernah terpikir olehku gadis itu akan seperti ini. Terisak seraya memeluk frame tersebut, namun beberapa detik kemudian terdengar jeritan pedih yang keluar dari pita suaranya. Aku hanya bisa memandanginya, menatap dari atas meja di mana biasa ia meletakkanku. Ku pikir aku hanya salah satu senjata yang digunakan dalam permainan kotornya. Tapi salah, hanya ada satu senjata di sini. Dan itu hanya aku. Pandanganku berubah, dia bukanlah gadis bertopeng malaikat dan hati iblis. Dia hanyalah bidadari rapuh yang mencoba mencari kembali sebelah potongan sayapnya. Begitu banyak emosi yang tersimpan di mata jernih itu, emosi yang mengandung berjuta misteri. Bahkan aku tak bisa mengungkapnya.
“Crashh!”
“Nee-chan?!”
“H-Hiko?”
“Apa yang nee-chan lakukan? mengapa nee-chan melukai temanku! Padahal aku jauh-jauh mengajaknya ke mari untuk menemaniku mengerjakan tugas??!”
“Hiko.. I-Ini-”
“Nee-chan jahat! Hiko benci nee-chan!”
“Hiko! Jangan pergi! Tolong dengarkan nee-chan!”
“Kau bukan nee-chan ku! Jangan dekati aku! Pergi!”
Deg! “Gomen ne.. Hiko…”
Pada akhinya aku yang selalu menjadi alat baginya meregangkan nyawa seseorang kini berbalik menjadi sembilu yang membunuhnya. Jadi inilah akhir perjalananku. Berakhir dikandang binatang terpencil di tengah hutan. Bersama seorang bidadari berlumur lumpur yang mengakhiri hidupnya. Aku menghabiskan waktuku di sini. Mulai tertumpuk debu halus. Aku yang menjadi saksi semuanya. Jeritan putus asanya, lenguhan pedihnya, sayatan, dan darah yang memandikanku. Serta senyuman miris sebelum mata itu tertutup selamanya. Mungkin kau tidak tahu, dan tak mungkin tahu, ketika seorang lelaki datang bersama bocah laki-laki. Serta bagaimana eratnya pelukan yang diberikan kepadamu. Kau tidak akan percaya ketika mata kelam tajam ini berubah sendu, menangisimu.
The End
Tuangkan Komentar Anda