Ada begitu banyak orang asing—lumrah disebut ‘bule’—yang memilih jadi orang Bali. Ada bule yang jadi orang Bali setelah lama tinggal di Bali, ada juga yang menetapkan pilihan bahkan sebelum berkunjung ke pulau ini. Dan, tak sedikit diantara mereka yang sampai pindah kewarganegaraan, ‘me-suddhi-wadani’, menjadi krama ‘banjar’ (dinas dan adat) dengan segala hak dan kewajibannya, dan minta diaben di Bali kelak saat meninggal.
Imigrasi, terutama dari negara berkembang ke negara maju, mungkin sudah menjadi sesuatu yang sangat lumrah. Tengoklah warga India yang banyak bermigrasi ke Inggris; warga Pakistan dan Afghanistan yang berbondong-bondong ke Perancis; atau warga Cina yang bermigrasi ke Canada dan Australia.
Tetapi bermigrasi dari negara maju ke negara berkembang—terlebih-lebih ke pulau kecil macam Bali—dan memilih menjadi warga lokal, bukan hal biasa; mesti ada alasan kuat untuk itu.
Faktanya, jumlah orang bule yang menetap dan menjadi orang Bali sangat banyak, menyebar mulai dari ujung selatan (Nusa Dua dan Jimbaran) hingga ke ujung Utara pulau Bali (Lovina dan Pemuteran), mulai dari ujung Barat (Pekutatan dan Jembrana) hingga ujung Timur pulau (Tulamben, Karangasem.)
Alasan kuat macam apa, kira-kira, yang membuat seorang bule memilih jadi orang Bali?
Setelah diamati, ternyata masing-masing memiliki alasan yang berbeda, namun semuanya berawal dari suatu peristiwa yang sangat klasik sekaligus prinsipiil, yaitu: JATUH CINTA.
Inilah 5 macam jatuh cinta yang membuat bule memilih jadi Orang Bali:
1. Jatuh Cinta Pada Orang Bali
Seorang bule jatuh cinta pada wanita/pria Bali, menikah lalu menjadi orang Bali, adalah fenomena yang paling banyak terjadi—mungkin sejak jaman Belanda beberapa ratus tahun yang lalu.
Cinta dan asmara, tak mengenal suku bangsa, ras, agama dan golongan. Kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa ditunda, diubah, apalagi dimanipulasi atau ditolak begitu saja.
Pesona wanita dan pria Bali di mata pria dan wanita bule, sudah banyak diungkapkan di berbagai media. Beberapa kisah asmara mereka ada yang sampai melegenda, menghias majalah-majalah luar negeri, menginspirasi para penulis buku, dan menjadi buah bibir masyarakat dunia selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Sebut saja kisah asmara Antonio Blanco dengan Ni Ronji misalnya, yang membuat pelukis asal Spanyol ini rela menetap dan menjadi orang Bali, hingga diaben saat meninggal.
Kisah melegenda lainnya adalah antara Le Mayeur, seniman asal Swedia dengan Ni Pollok, yang namanya masih tertulis jelas di Museum Le Mayeur yang berlokasi di Sanur.
Antonio Blanco dan Le Mayeur tentu hanya 2 diantara puluhan atau mungkin ratusan orang bule yang jatuh cinta pada wanita Bali, lalu menjadi orang Bali. Dan tak sedikit juga wanita bule yang jatuh cinta dengan pria Bali, melakoni proses ‘Suddhi Wadani’ (mengukuhkan diri sebagai penganut Hindu), upakara ‘pawiwahan’ (pernikahan), dan akhirnya menjadi orang Bali seutuhnya, terlepas apakah tinggal di dalam atau luar Bali
2. Jatuh Cinta Pada Keindahan Alam Bali
Bule menjadi orang Bali karena mendapat jodoh orang Bali, mungkin fenomena yang paling banyak. Bisa dikenali dengan mudah ketika melihat pria Bule menggendong anak didampingi oleh wanita Bali atau pria Bali menggendong anak kebule-bulean dan didampingi oleh wanita bule, di ruang-ruang publik.
Tak kalah banyaknya adalah pria/wanita bule yang berpasangan dengan bule lainnya, dan menjadi orang Bali. Ini bisa ditemukan di Ubud misalnya atau di daerah dataran tinggi seperti Bedugul atau Bangli. Banyak juga yang tinggal di daerah-daerah urban seperti Kuta, Legian, Kerobokan, Seminyak, Jimbaran, Sanur atau Canggu.
Mereka memilih jadi orang Bali bukan karena jatuh cinta pada orang Bali, melainkan karena jatuh cinta pada keindahan alam Bali. Bule yang seperti ini biasanya turut aktif mengkampanyekan pentingnya menjaga kelestarian alam—mereka tidak ingin Bali menjadi rusak, entah dengan bergerak sendiri atau bersama-sama dalam organisasi tertentu (LSM misalnya.)
Keindahan Bali yang sering digambarkan sebagai “alam yang masih perawan”, molek dan menawan hati, sudah terkenal di seluruh penjuru dunia. Jatuh cinta pada keindahan alam Bali adalah alasan paling lumrah kedua setelah jatuh cinta pada orang Bali.
3. Jatuh Cinta Pada Pola, Orientasi dan Gaya Hidup Orang Bali
Bule, sejak nenek moyangnya sudah terbiasa dengan kehidupan serba kompleks, dimana sebagian besar waktu mereka habiskan untuk mengejar ambisi. Dua dasawarsa belakangan ini mereka sudah mulai bosan dengan yang namanya ‘tactic’, ‘multi-tasking’, ‘burnout.’ Mereka sudah mulai muak dengan “assertive no”, sudah bosan dengan kerja yang serba berpamrih. Bule sudah kenyang dengan semua itu.
Mereka berlibur ke Bali, berinteraksi dengan orang Bali, lalu jatuh cinta. (Perhatikan kehangatan interaksi antara gadis bule dengan odah dari Kintamani di bawah ini; tatapan mata odah yang hangat tersambut oleh cerahnya senyuman si gadis bule.)
Itu banyak terjadi sebelum tahun 90-an, pada saat pola, orientasi dan gaya hidup orang Bali masih sederhana, jujur, dan peduli terhadap orang lain, ‘paras-paros selulung sebayantaka’. Pada saat orang Bali masih lebih sering bilang “nggih” (iya) dibandingkan bilang “No” (tidak). Ketika orang Bali lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menjalankan “swadarma” (mengikuti perputaran karma) ketimbang saling-sikut.
‘Pola-orientasi-dan-gaya hidup’ orang Bali yang seperti itu, dalam pandangan bule, tidak sekedar baik, melainkan indah, menawan, dan menyentuh sanubari. Mereka tergugah dan jatuh cinta pada ‘pola-orientasi-dan-gaya hidup’ orang Bali yang indah itu, lalu memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya di Bali, bersama orang-orang sederhana, berada di lingkungan orang-orang jujur, dan berdampingan dengan orang-orang yang peduli terhadap orang lain.
4. Jatuh Cinta Pada Yoga dan Spritualitas Orang Bali
Di tengah pola hidup yang penuh tekanan, bule semakin menyadari bahwa antibiotik dan obat modern lainnya hanya solusi jangka pendek, dan menimbulkan ekses (buruk) dalam jangka panjang.
Sementara, hiruk-pikuk hiburan di kota metropolitan tak lebih dari sebuah pelarian sementara; stress datang lagi begitu mereka kembali ke rutinitas sehari-hari. Dan… mendatangi rumah ibadah agama yang dianut juga tak banyak mengubah keadaan, mereka tetap merasa kosong, kering dan haus akan “sesuatu.”
Mereka pergi mencari “sesuatu” itu ke wilayah selatan bumi ini, ada yang ke Mexico, ada yang ke Peru, ada yang ke India, ada yang ke Tibet, ada yang ke Jepang, dan ada yang ke Bali.
Itulah awal kesadaran para bule akan keistimewaan spiritualitas Hindu dan Budha, secara umum, lalu berubah menjadi trend gaya hidup ‘minimalism-and-obscurity‘ yang banyak diadopsi oleh kaum urban di dunia Barat sana. Sebuah gaya hidup yang menikmati kesederhanaan, sedanya, dan melupakan masa lalu tanpa perlu mengkhawatirkan masa depan. titik-balik dari hedonisme yang sempat menjangkiti Orang Barat selama berabad-abad sejak revolusi indutri di Inggris Raya sana.
Sebut saja Steve Jobs atau aktor ganteng Richard Gere misalnya.
Petuah Swami Vivekananda (seorang penulis sastra Hindu terkenal dari India) menjadi semacam “Daily Bread” baru bagi mereka.
Deepak Chopra Center selalu dibanjiri oleh Yogis-Yogis baru berambut pirang.
Mereka memerlukan spritualitas yang tidak semata-mata mengajarkan tentang “surga-dan-neraka”, yang tidak semata-mata mengandung perintah dan doktrin, melainkan mengajarkan mereka tentang cara hidup. Dan mereka menemukan itu di Hindu, seperti yang mereka katakan, “that not only a religion; rather, it is a way of life.” Sebuah cara hidup yang tidak saja membuat mereka lebih sehat, melainkan juga lebih tenang, damai secara rohani, sekaligus lebih bergairah.
Yang agak unik adalah fenomena dimana seorang bule Hawaii beristrikan orang Amerika keturunan Jepang (pernah ngobrol dengan penulis sekitar awal tahun 2000-an tetapi sekarang sudah kehilangan kontak) mendapat wangsit untuk menjadi seorang ‘Pemangku’ (pengantar doa) di salahsatu pura di Tabanan. Dia terhubung dengan Bali, secara spiritual, jauh sebelum berkunjung untuk pertamakalinya. Si bule yang satu ini, menurut pengakuannya, sampai bikin sanggah dan pura di Hawaii sana.
Bule yang menjadi orang Bali karena ketertarikan spiritualitas, bisa dikenali dengan melihat Pura yang cukup besar di rumahnya (semacam pemerajan alit yang terdiri dari Padmasana, dan beberapa Pelinggih saja—tanpa Meru), lengkap dengan ‘lebuh’ yang selalu berisi ‘canang’ dan ‘nasi pengeluar’ setiap sore, serta memiliki kamar suci untuk bermeditasi.
5. Jatuh Cinta Pada Kreatifitas dan Kesenian Orang Bali
Oleh bule, masyarakat Bali dikenal sebagai orang-orang yang kreatif dan memiliki talenta seni—menghasilkan berbagai macam produk seni dan kerajinan tangan yang tak ada duanya di dunia, dalam hal keunikan, hanya dengan menggunakan alat sederhana.
Banyak bule yang jatuh cinta pada itu dan berkeinginan untuk menyalurkan kreatifitas dan karya seni orang Bali ke pasar-pasar mancanegara, lalu mendirikan perusahaan dagang (trading company) dan agen perdagangan (trading agency).
Kesibukan mereka mengkanalkan hasil kreatifitas dan seni orang Bali membuat para bule lebih banyak tinggal di Bali, berinteraksi dan membina hubungan dengan orang Bali. Pertimbangan biaya perjalanan dan akomodasilah yang akhirnya membuat mereka memutuskan untuk pindah, menetap, dan menjadi bagian dari masyarakat Bali.
Apakah fenomena ‘bule-menjadi-orang-Bali’ adalah sesuatu yang perlu dibanggakan? Terlepas dari persoalan perlu-atau-tidaknya berbangga, beberapa pertanyaan yang mungkin penting untuk kita—sebagai orang Bali—jawab adalah:
Begitu banyak bule yang memilih menjadi orang Bali dengan berbagai alasan; perlukah kita mengubah jati diri menjadi sesuatu yang lain?
Orang bule saja begitu mencintai kesederhanaan pola, orientasi dan gaya hidup orang Bali bahkan ada yang konon sampai merasa iri dalam konteks positif; perlukah orang Balinya sendiri mengubah itu menjadi sesuatu yang kompleks—demi ‘membeli’ gimmick globalisasi dan moderenitas?
Orang bule saja sudah muak dengan kata “Assertive No”—yang berimplikasi pada peningkatan stress—dan jatuh cinta pada kata “nggih” (iya)—yang menyiratkan penerimaan dan koperatifitas; perlukan kita belajar ngotot mengatakan “tidak” dengan lantang?
Orang bule saja jatuh cinta pada jalan hidup dan spiritualitas orang Bali; perlukah mengubah jalan hidup dan spiritualitas yang sudah kita miliki menjadi sesuatu yang lain?
Orang bule saja memilih menjadi orang Bali; perlukan kita menjadi orang lain?
Orang bule yang mendunia saja bangga menggunakan nama Made Wijaya; perlukah kita berganti nama menjadi Michael Robertino supaya diterima oleh komunitas global?
Orang bule saja bangga dan bersukur telah memilih jadi orang Bali; tidakkah, setidak-tidaknya, kita perlu bersukur menjadi orang Bali?
Entahlah akan tetapi Made Wijaya (pria yang ada di foto feature tulisan ini) mungkin tahu.
Ketika ditanya apakah ada rencana pulang ke negeri asalnya, Australia, secara halus, implisit dan cenderung ‘mekulit’ Made Wijaya mengatakan bahwa ia ingin menghabiskan masa hidupnya di Bali.
Seperti tertulisa dalam biografinya, pria kelahiran Sydney yang dahulunya bernama Michael White ini mengatakan:
“Bali delivers a special magic that makes us so lucky to be alive”
Made Wijaya yang sekarang lebih dikenal sebagai ahli pertamanan dan arsitek style Bali ini, pertamakali datang ke Bali (1973) tinggal dan menjalani hidup—termasuk belajar agama Hindu dan budaya Bali—di Griya seorang Ida Bagus (brahmana).
Sepuluh tahun tinggal di Bali bersama keluarga barunya, Michael White memantapkan diri untuk menjadi orang Bali dan ganti nama menjadi Made Wijaya, tentu dengan melalui prosesi ‘Suddhi Wadani’ yang waktu itu dipuput oleh Ida Pedanda Ida Bagus Anom, dari Griya Kepaon, Denpasar.
Kepada the Jakarta Post, 2002, pria bule—yang sering disebut “lebih Bali dibandingkan orang Balinya sendiri” (karena begitu membumi dan kritis terhadap perubahan budaya Bali yang konon kian jauh dari aslinya)—ini pernah mengatakan bahwa, kelak ia ingin dikenang sebagai “Patih Barong”, seorang patih yang melindungi kebudayaan dan arsitektur Bali.
Tuangkan Komentar Anda