Dalam makalah ini, saya berusaha untuk mengkaji mitos serta pemujaan terhadap Bhatari Durga mulai dari asal mulanya di India lalu perkembangannya di Indonesia khususnya di Jawa dan Bali. Pertama-tama sebelum membahas lebih jauh tentang mitos dan pemujaan kepada Bhatari Durga, saya ingin menyampaikan bagaimana saya sampai tertarik untuk mengkaji tentang Bhatari Durga. Rasa tertarik saya untuk mengetahui lebih jauh tentang Bhatari Durga karena pada waktu saya bekerja di Jaipur, India Utara di tahun 2001-2003, saya merasa kaget karena ada beberapa toko bernama Durga, grup music bernama Durga, dan juga beberapa perempuan bernama Durga. Kenapa? Itulah pertanyaan yang muncul dari benak saya ketika itu. Sedangkan di Bali, saya selalu menganggap Bhatari Durga sebagai sosok yang menyeramkan dan bersemayam di setra Ganda Mayu, Pura Dalem Mrajapati. Itulah pengetahuan tentang Bhatari Durga yang saya dapatkan dari cerita lisan kakek saya almarhum yang merupakan Pemangku Dalem di desa saya.
Melihat persepsi umat Hindu di India dan penganut Hindu di Indonesia dan di Bali pada khususnya, maka saya berusaha mengetahui lebih banyak tentang bagaimana Bhatari Durga di Bali bisa digambarkan sebagai sosok Bhatari yang menyeramkan, jauh berbeda dari penggambaran aslinya di India. Maka dari itu, saya melamar bea-siswa untuk mengadakan penelitian lebih mendalam tentang perkembangan citra/image dari Bhatari Durga di India dan Bali. Tetapi atas saran Prof. Hildred Geertz, Princeton Univerity, USA; Prof. Hariani Santiko, UI dan Pembimbing saya Dr. Christine Doran, CDU (Charles Darwin University), Darwin, Australia; dimana ketiga professor tersebut menyarankan kepada saya supaya membahas Bhatari Durga di Jawa untuk lebih sempurna, maka saya menyetujui saran beliau bertiga. Jadi, judul akhir disertasi saya adalah “The Journey of the Goddess Durga: India, Java and Bali”, yang belum terbit karena saya perlu waktu dan biaya untuk mengedit disertasi tersebut supaya menjadi sebuah buku yang lebih manarik untuk dibaca.
Upacara Pekeling: Jatra dan Yatra
Sebelum mengadakan penelitian, saya mulai dengan mengadakan upacara Jatra danYatra yaitu upacara “mepekeling” di Pura Dalem di kampong di mana kakek saya sebagai pemangku. Kakek sebenarnya takut dan kwatir kalau saya melakukan penelitian tentang Bhatari Durga karena beliau bilang,”Ida Bhatari nak tenget, sing dadi cuah-cauh nyambatang ragane. Kudiang awake, men ragane duka?”. Nah karena itu, kakek menyarankan saya untuk mengadakan pekeling ke pura-pura sebelum mengadakan penelitian lebih jauh.
Saya mulai upacara Jatra dan Yatra dengan berpuasa selama tiga hari dan sembahyang di Pura Dalem di kampong dimana kakek adalah pemangkunya, lalu saya lanjutkan dengan pergi ke Pura Dalem Ped di Nusa Penida dan bermalam di sana selama satu malam. Tirta Yatra saya ke Dalem Ped diikuti oleh beberapa pemangku dan balian. Tujuannya yaitu untuk mohon ijin dan pengampunan karena selama penelitian, saya akan banyak menyebut nama Ida Bhatari Durga yang sangat disakralkan di Bali.
Hanya setelah melakukan Jatra dan Yatra, akhirnya saya dengan rasa lega melalukan wawancara serta penelitian di beberapa tempat di India seperti Jaipur, Calcutta, Varanasi, Rishi Kesh, Delhi, dan di daerah pegunungan di India dimana penyembahan terhadap Bhatari Durga dilakukan dengan pengorbanan kambing di hadapan arca Durga, Kali, Badrakali. Tetapi kalau di Bali, saya mengatakan kepada orang-orang bahwa saya mengadakan penelitian tentang “perbadingan” antara Dewi di India dan Bali, hal tersebut saya lakukan karena pernah suatu saat ada yang bertanya tentang penelitian saya dimana saya jawab dengan jujur yaitu tentang Bhatari Durga di India dan Bali, lalu teman tersebut bilang, “jadi kamu sudah pinter black-magic, udah bisa jadi apa aja?”. “Wah gawat…nanti aku dikira sakti kalau itu pikiran orang terhadap Bhatari Durga, lebih baik cari jalan aman”, itulah pembelaan yang muncul dalam benak saya. Lalu saya jawab, ”kamu ngawur sekali, okay nanti deh kalau disertasiku dah kelar, kamu baca ya!”, menghardik dia yang hanya tersenyum tidak puas dengan jawaban saya.
Methode Penelitian
Selama di India, saya banyak mengadakan penelitian dengan mengunjungi museum, kuil-kuil (mandir) yang diperuntukan pemujaan kepada Bhatari Durga, mengikuti upacara Durga Puja di Calcutta dan Varanasi, wawancara dengan pemuja Durga yang disebut Tantrik, serta mengujungi para Sadu di goa-goa yang merupakan pemuja Durga yang fanatic. Selama penelitian di India, saya bertemu dengan beberapa pemuja Durga yang sangat taat. Salah seorang pemuja Durga di Culcatta berkata kepada saya,
”Dewi Durga adalah Dewi yang paling pemurah karena apapun yang kita inginkan akan segera dikabulkan, sedangkan Dewi Saraswati sangat pelit kita harus lama sekali belajar untuk menjadi pintar. Dewi Laksmi juga begitu pelit, kita sulit untuk menjadi kaya walau bagaimanapun kerasnya usaha kita”.
Dalam kesempatan yang sama, saya juga bertemu dan wawancara dengan “tantric” istilah ini mengacu pada orang yang ahli dalam ilmu black-magic karena para tantric punya “magic-eyes” dimana mereka bisa mencelakai musuh-musuhnya dengan hanya memandang dengan “magic-eyes”nya. Maka dari itu, anak-anak kecil di India memakai “cilak” hitam dan mobil-mobil berisi sesajen berupa cabai, jeruk lemon dan bawang merah yang katanya bisa menolak kesaktian dari “magic-eyes”. Seorang tantric yang saya wawancarai bersifat sangat rahasia, dia hanya bicara dengan orang yang dipercaya. Dalam wawancara tersebut tantric tersebut berkata bahwa dia tidak pernah menyakiti orang secara langsung, tetapi kekuatan yang dianugrahi oleh “Gorakh Nath” (Siwa dalam bentuk menyeramkan) bisa mencelakai orang yang bermaksud jahat padanya. Saya juga bertemu dengan seorang perempuan yang namanya Durga. Saya tanya ibu itu tentang namanya. Dia bilang, “Dewi Durga sangat cantik dan maha pengasih, jadi nama itu bagus untuk perempuan”. Lalu saya katakan padanya,”Di Bali, kami tidak berani menyebut nama Durga blak-blakan, biasanya kita membuat nama yang menyamarkan nama Durga, seperti Ratu Ayu, Ida Bhatari Dalem atau Ratu Mas”. Ibu Durga itu semakin penasaran dengan perkembangan Dewi Durga di Bali. Akhirnya saya diundang untuk memberikan presentasi tentang Bhatari Durga di New Delhi India pada tahun 2008 sebelum melanjutkan presentasi di Berlin, Jerman dalam tahun yang sama.
Sedangkan di Indonesia, saya mengadakan penelitian di Jawa terlebih dulu karena pemujaan Bhatari Durga bermula dari Jawa lalu bergeser menuju Bali yang mana sampai sekarang tetap dilaksanakan walau dengan cara yang berbeda dibanding dengan pemujaan di jaman lampau. Di Indonesia, saya juga mewawancarai banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, seperti pemangku, pedanda, masyarakat awam, para akademisi serta para balian.
Mitos dan Pemujaan Bhatari Durga: di India
Pada mulanya Bhatari Durga digambarkan sebagai Dewi Perang yang cantik jelita dengan jumlah tangan mulai dari empat sampai dua belas dimana setiap tangannya memegang senjata yang sangat ampuh dan ditakuti oleh musuh-musuhnya. Menurut (Mookerjee, 1988:8 dan Agravala, 1963), sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam sloka suci Devi Mahatmya, sebuah sisipan penting dari Markandeya Purana (digubah pada abad ke- 6thMasehi), diceritakanlah lahirnya Bathari Durga sebagai berikut:
Pada jaman dulu, sorga loka diserang oleh rakasa bersama pasukannya yang dipimpin oleh Mahisasura yaitu raksasa berkepala kerbau. Raksasa tersebut sangat sakti dan tak terkalahkan oleh pasukan para dewa di sorga. Pada saat penyerangan tersebut, Dewa Siwa sedang bertapa di Gunung Kailasa, puncak tertinggi dari pegunungan Himalaya. Raksasa Mahisasura menduduki sorga loka sehingga para dewa morat-marit berlarian kemana-mana untuk menyelamatkan diri. Akhirnya para dewa memutuskan untuk pergi ke puncak Kailasa memberitahukan Dewa Siwa tentang keadaan di sorga loka. Dewa Siwa yang sedang meditasi menjadi sangat murka mendengar kabar kalau sorga telah diobrak-abrik oleh pasukan raksasa raja Mahisasura dan tahta sorga telah diduduki oleh raja Mahisasura. Saking murkanya maka dari kedua kening Dewa Siwa muncullah pancaran cahaya yang luar biasa dahsyatnya. Demikian juga dari kedua kening para dewa lainnya muncul cahaya yang menyatu dengan cahaya Dewa Siwa. Dari kumpulan cahaya para dewa tersebut muncullah sesosok Dewi yang luar biasa cantiknya bertangan delapan yang membuat para dewa sangat senang melihat kelahiran dewi tersebut. Karena para dewa tahu bahwa musuh mereka tidak dapat dikalahkan oleh para dewa, maka para dewa yakin bahwa Mahisasura akan tunduk dan terkalahkan oleh sosok perempuan cantik. Maka sepakatlah para dewa untuk mengirimkan Dewi yang cantik ke medan laga.
Karena Sang Dewi akan dikirim ke medan perang maka dari itu para dewa perlu menganugrahi Dewi itu senjata-senjata sakti supaya bisa mengalahkan Mahaisasura. Lalu, Dewa Siwa menganugrahkan Tri Sula, Wisnu menganugrahkan Cakra, Brahma menganugrahkan Gada, Indra menganugrahkan Bajra dan juga dewa-dewa lainnya, sehingga kedelapan tangan Dewi tersebut berisi senjata mahasakti. Dewi yang baru tercipta dari cahaya para dewa akhirnya diberi nama Dewi Durga yang berarti “Seorang Dewi yang Sulit Dikalahkan”. Untuk melengkapi sarana perang Dewi Durga dianugrahi Singa oleh Dewa Siwa dalam penjelmaannya sebagai Bhanaspati Raja (Raja Hutan) sebagai wahananya dalam perang melawan pasukan raksasa Mahisasura. Setelah Dewi Durga dibekali mantra-mantra kesaktian dari para dewa dan siap dengan peralatan perangnya maka pergilah Dewi Durga dengan wahana Singanya ke medan laga sendirian menantang Mahisasura untuk berperang. Dengan suara nyaring Dewi Durga memanggil Mahisasura dan menantangnya untuk berperang.
“Wahai Raja Mahisasura, keluarlah ke medan laga, lawanlah aku bertempur!”, tantang Dewi Durga.
Mendengar tantangan seorang perempuan dan melihat betapa cantik perempuan yang menantangnya, maka Mahisasura pertamanya tidak mau melawan dan diapun berkata kepada Dewi Durga,
”O Sang Dewi yang maha cantik, kenapa harus berperang melawanku, apakah tidak lebih baik kalau kita bertempur di tempat tidur saja?”
Tertawalah Dewi Durga mendengar tawaran raja raksasa sambil menjawab,
“hahaha…..hanya lelaki yang bisa mengalahkan aku di medan perang berhak bertempur denganku di tempat tidur”.
Murkalah Mahisasura atas jawaban Dewi Durga yang merendahkan kesaktian Mahisasura. Rasa kejantanannya sangat tertantang untuk segera menundukan dan mengalahkan Dewi Durga supaya bisa mengajaknya ke tempat tidur. Akhirnya mereka berperang mengadu kesaktian. Dalam adu kesaktian, Mahisasura mengubah wujudnya beberapa kali tetapi tetap dia selalu bisa dikenali dan dilumpuhkan oleh Dewi Durga. Terakhir kali, Mahisasura berubah menjadi kerbau yang ganas. Singkat cerita, Dewi Durga dapat mengalahkan Mahisasura dengan memenggal kepala Mahisasura yang berupa kerbau tersebut.
Dengan kalahnya Mahisasura, maka para dewa memuji-muji Dewi Durga dengan mantra-mantra pujian. Sejak saat itu, Dewi Durga diberi nama Durga Mahisasuramardini, yang berarti “Dewi Durga yang telah mengalahkan raksasa Mahisasura”.
Begitulah cerita singkat tentang lahirnya Bhatari Durga di India. Di India, Durga selalu digambarkan sebagai Dewi yang cantik dan selalu dipuja demi kemenangan. Ada mandir-mandir khusus dipakai tempat memuja Durga, ada hari suci yang khusus untuk memuja Dewi Durga yang disebut Durga Puja, yang biasanya jatuh pada bulan Oktober. Pada saat Durga Puja, biasanya perayaannya dilakukan dengan membuat pandal yang berisi arca Tri Sakti: Maha Saraswati, Maha Durga, Maha Laksmi. Di antara Tri Sakti; Dewi Saraswati, Dewi Laksmi dan Dewi Durga, maka Dewi Durga lah yang paling banyak dipuja di India. Biasanya di dalam pandal ini, Dewi Durga digambarkan sebagai Dewi Durga Mahisasuramardani dimana arcanya memperlihatkan kekalahan raksasa Mahisasura. Saya sendiri sempat menyaksikan bagaimana perayaan Durga Puja dilaksanakan di Culcatta dan Varanasi.
Berikutnya, saya akan membahas tentang bagaimana pemujaan serta perkembangan Bhatari Durga di Nusantara.
Bersambung...
Tuangkan Komentar Anda