Mataku tertuju pada kertas kotak yang tersimpan rapi di meja itu. Kudekatkan diriku ke arahnya. Itu bukan sekedar kertas, melainkan sebuah undangan. Seminggu lalu aku mendapatkannya dari Fani, sahabat baikku. Melihat cover undangan itu, rasanya tak ada niat membukanya. Dan akhirnya kubiarkan tergeletak di meja. Tapi kini kuberanikan diri membacanya. Sebuah undangan pernikahan. Warna kuning keemasan, membuat undangan itu terlihat indah. Air mataku menunggu. Tetes demi tetes terjatuh ketika nama calon pengantin sampai ke mataku.
“ADINDA NOVINTASARI binti Asep Fauzi dengan FARIZAL PUTRA NUGRAHA bin Dedik Nugraha”
Lelaki itu, yang biasa kupanggil Fariz. Kini dia akan memulai hidup baru dengan kekasihnya, Dinda.
Suara guntur menggelegar, seakan mengerti suasana hatiku malam ini. Kubuka pintu mobil. Kulangkahkan kakiku keluar, memasuki ruangan gedung sederhana itu. Sejenak kuhentikan langkahku. Ya Tuhan, apa aku sanggup dengan semua ini.
Kuyakinkan diriku memasuki ruangan gedung ini. Kutarik nafas panjang. Ketika kuhembuskan ternyata aku sudah berada dikerumunan banyak orang. “Mel”. Kutengok seseorang yang memanggilku. Fani. Dia menuju kearahku ditemani Danang, kekasihnya. Semakin dekat kearahku, dua sejoli itu Nampak heran akan kehadiranku. Kulempar senyum tipis pada mereka, dibalasnya cepat. “loh Mel, elo ….”. Kupotong segera perkataan Fani yang sudah bisa kutebak. “sudah lama ya?” tanyaku. “hei mas Danang, apa kabar?” tanyaku lagi pada lelaki bertubuh kekar yang sudah Sembilan tahun ini mengisi hati Fani. “baik Mel. Eh gue ngga salah nih ngeliat elo disini?”. Kualihkan pembicaraan. Kumulai obrolan baru mengenai hubungan mereka, keluarga mereka, dan sebagainya.
Aku berada di barisan ke empat. Di belakangku berdiri Fani diikuti Danang. Jantungku serasa berdegup sangat kencang. Oh Tuhan, beberapa detik lagi tangannya akan ku raih.
Kakiku berdiri tepat di depannya. Pandangan kita bertemu. Tatapannya padaku penuh tanya. Seperti waktu itu, ketika aku memutuskan untuk mengakhiri semua. Tubuhku kaku, seperti tak bisa digerakkan. Matanya masih menatapku penuh arti. Bibir merahnya yang agak kehitaman berusaha bergerak, namun tertahan. Terlihat di wajahku, berusaha menahan luka yang mendalam. Dalam hati aku berkata “beri aku kekuatan Tuhan”. “elo ngga papa Mel?”. Bisikan Fani menyadarkanku.
Kuhela nafas panjang, dengan bismillah kujabat tangan Fariz. Berkeringat dingin. “selamat elo udah hancurin hati gue dengan ngelihat lo seperti ini”. Ucapan itu hanya tertahan di kerongkongan. “selamat ya, semoga kalian bahagia selalu” ucapku dengan menabur senyum yang kelihatan memaksa. Walau hanya singkat ucapan yang kuberi, namun tak kusangka akan terucap sefasih itudari bibir manisku. Kulepaskan tanganku yang masih dalam genggaman Fariz. Aku bergeser ke kanan, berada di depan pengantin wanita. Matanya menatapku sinis. Seolah ingin menjambak rambut ikalku, mencakar wajah cantikku, bahkan ingin mencekik leherku. Tapi aku bisa mengerti perasaannya. Wanita mana yang suka jika di depan matanya sang suaminya menatap penuh perasaan kepada wanita yang pernah dicintainya, bahkan sempat merusak hubungannya. Aku mencoba tersenyum. Turun dari pelaminan tanpa menyalami Dinda. Aku bisa menangkap dari matanya, dia takkan sudi menjabat tanganku.
Sejak aku datang tadi, hujan deras tak kunjung reda. Entah pertanda apa ini. Mungkin sang rintik turut berduka atas hatiku. Yang hancur berkeping-keping. Yang luka tercabik-cabik.
Kutinggalkan acara itu tanpa permisi. Jujur aku tak sanggup berada lama disana. Itu makin membuatku merasa berdosa. Berdusta pada perasaanku. Kuterjang derasnya hujan. Aku terus berjalan tanpa tujuan. Membiarkan langit menumpahkan kesedihannya hingga membasahi tubuhku. Kumenangis dalam hujan, sehingga tak seorangpun tahu aku sedang meneteskan air mata. Dengan terisak-isak dan bibir sedikit menggigil, kucoba flashback masa lalu.
Bayangan itu. Lelaki bertubuh kurus, tak terlalu tinggi. Dia berdiam diri di belakangku. Tak terucap satu katapun. Nampak kesedihan di raut wajahnya. Air mata membendung di mata coklatnya. Aku berlalu tanpa menengok ke arahnya. Dia masih berdiri. Matanya seperti berharap aku kembali memberi alasan mengapa kuakhiri semua. Tapi aku berjalan terus meninggalkannya. Setengah hati kelakukan itu, karena keputusan itu bertolak belakang dengan perasaanku. Semenjak kejadian itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Itu pertemuan terakhir. Aku sengaja menghindarinya. Berulang kali dia menghubungi ponsel, kubiarkan. Tak berapa lama dia berhenti mencariku. Sungguh sakit hati ini. Meski kusadari ketika itu aku hanya ORANG KETIGA yang berada ditempat yang ‘katanya’ salah. Aku sendiri tak dapat mengartikan statusku. Sebagai simpanan atau bahkan sebagai perusak hubungan orang.
Kulihat Fani berdiri disampingku. Berbeda. Tidak dengan Danang, tapi dengan wajah yang sangat cemas menatapku. “akhirnya lo sadar juga. Lo ngapain Mel pulang ujan-ujanan kayak gitu?” tanya Fani masih dengan raut wajah yang sama. Aku baru sadar, ternyata aku sempat tergeletak di jalan. “gue tahu perasaan lo, harusnya tadi lo ngga usah dating Mel”. “gue ngga papa lagi Fan” jawabku menenangkan kekhawatiran Fani. Dia meminta ijin padaku untuk pulang. Kutengok jam dinding, pukul 11. Aku menyuruhnya menginap saja, tapi dia bersikukuh untuk pulang. Dia berpesan agar aku banyak beristirahat.
Bunyi ponsel membangunkanku. Kuraihnya dari mejaku. Kulihat, hanya pesan singkat dari nomor tak dikenal. Kutamati lagi, seperti hafal dengan nomor ini. Fariz. Ku buka pesan darinya dengan perasaan bertanya-tanya ada apa.
“Thanks Mel semalam sudah mau datang. Melihatmu saja aku sudah cukup bahagia. Aku juga minta maaf, kata Danang kamu pingsan dijalan sepulang dari acaraku kemarin. Kalau kamu sakit kenapa dipaksain datang. Banyak istirahat ya, cepat sembuh melaniku. -Fariz-”
Kedua mataku tak berkedip sama sekali. Kubaca ulang lagi pesan itu. Ternyata memang benar dari Fariz. Hatiku menangis. Ya Tuhan mengapa semua begitu cepat berlalu. Lima tahun aku menanti, tapi hasilnya seperti ini. Heem andai waktu bisa kuputar.
Mentari menyorotkan sinarnya di jendela kamarku. Kuletakkan ponselku ke tempat semula tanpa membalas pesan dari Fariz. Ku beranjak dari ranjang. Berbenah diri mengawali pagi yang cerah, meski tak secerah hatiku. Mama mengetuk pintu kamarku. Memintaku segera keluar, ada seseorang yang ingin menemuiku katanya. Aku keluar menuju ruang tamu. Dion, teman semasa SMA ku. Dia datang ditemani kedua orang tuanya. Disitu ada mama papa juga. Dia menyapaku, kubalas sapanya. Lalu kutanyakan ada perlu apa menemuiku. Papa Dion membuka suara. “begini, tujuan Dion membawa kami kesini untuk melamar nak Melani”. “what??” ucapku kaget dengan volume suara sedikit keras. Maklum, sudah sejak lulus SMA aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Tapi tiba-tiba dia datang untuk melamarku. “iya Mel, aku kesini mau ngelamar kamu. Maaf mungkin kedatanganku tiba-tiba, tapi aku sudah menantimu sejak lama. Sekarang bagaimana kamu, dan om tante juga” tanya Dion padaku dan Papa Mama. Papa menyerahkan jawabannya padaku. “maaf sebelumnya Dion, bukan aku menolak lamaranmu, tapi ini terlalu cepat untukku. Aku belum siap menikah, lagi pula kita belum mengenal dekat satu sama lain” tegasku.
Setelah berbincang lama, Dion dan kedua orang tuanya berpamitan. Wajahnya terlihat kekecewaan yang sangat besar. Ini bukan kali pertamanya aku menolak lamaran seseorang. Beberapa bulan lalu anak teman papa datang untuk melamarku, tapi kutolak dengan alasan yang sama. Padahal mereka yang datang melamarku sudah memiliki pekerjaan tetap, yang bisa menjamin hidupku nantinya. Tapi apa dayaku, aku masih memegang teguh janji yang pernah kubuat bersama Fariz dulu.
Kuhampiri Fani dan Danang di tempat duduk dekat kasir itu. Nampaknya mereka sudah lama disana. “hei, maaf telat tadi ada urusan sebentar” sapaku sambil menjelaskan mengapa aku terlambat. “engga papa, kita baru satu jam-an kok” sindir Danang. “iya ngga papa. Nih..” ujar Fani sambil menyodorkan sebuah undangan. Tertulis namanya dan Danang. “itu masih contoh, bukan untuk disebar. Gimana pendapatmu?” tanya Fani. Aku tersenyum lebar, kubilang bagus. Kupuji undangan yang didesainnya sendiri itu. Mereka menggodaku, bertanya kapan aku menyusul. Aku tersenyum lagi, dalam hati berkata “mungkin tak akan”.
Fani menanyakan padaku tentang lamaran Dion. Dia bilang kemarin mama memberitahunya dan menyuruhnya memberiku nasihat. “kenapa ngga lo coba aja Mel”. “nikah itu bukan main-main, orang gue nya ngga ada hati sama dia” jawabku santai. Fani masih berbicara panjang lebar sampai pada sebuah perkataan yang sedikit menantangku “coba lo bayangin, si Dion setia nunnguin elo lima tahun lamanya”. “dan lima tahun juga gue nungguin Fariz, tapi apa?” sahutku sedikit membentak. Sejenak suasana jadi hening. Mungkin karena perkataanku barusan. Danang berusaha menenangkan. “Mel, gue tahu elo masih cinta sama Fariz. Tapi coba lo fikirin, apa lo mau ngerusak hidup lo nyia-nyiain masa depan lo Cuma untuk nunggu dia? Nunggu dia yang sudah jadi suami orang” kata Danang pelan dan lembut. “maaf Mel, bukannya gue ngga ngehargain perasaan lo, gue malah salut sama kesetiaan elo. Tapi perjalanan hidup lo masih panjang, elo cantik, berpendidikan, laki-laki mana yang ngga mau sama elo? Coba deh lo buka sedikit aja hati lo. Oke kalau lo masih belum bisa ngilangin Fariz, tapi seenggaknya jangan lo tutup hati lo untuk orang lain” ujar Fani meluruskan. Aku masih terdiam. Meresapi perkataan Danang dan Fani. Tuhan, apa aku terlalu berlebihan dengan perasaan ini. Tapi aku belum bisa. Aku selalu membiarkan Fariz berlalu. Biarkan angin yang membawanya pergi, namun bayangan itu sering muncul seiring berjalannya waktu.
Bersambung . . . .
Tuangkan Komentar Anda