Mentari tak pernah berkhianat, seperti biasa ia kembali dari ufuk timur. Semburat kilaunya menyelinap ke dalam kopi pagiku. Dengan digdayanya, seakan ia mampu merubah hitam menjadi seterang cahanya. Tidak! hanya malam yang bisa ia kalahkan. Biarkan kopiku tetap hitam, sekali pun hanya tersisa seteguk cafeinnya, karena cafein yang lain sudah ku pindahkan ke dalam tubuhku. Berharap dapat merubah genre detak jantungku menjadi hentakan semangat. Tidak lagi melankolik.
Dari kaca mataku terlihat embun suci itu masih hinggap di bougenville depan rumah. Mereka nampak mesra tanpa rasa, dalam hati hanya berbisik, “Hanya perlu menunggu waktu untuk melihat mereka berpisah tanpa kesedihan ataupun penyesalan.” Setegar itukah mereka? atau mereka telah menyadari begitulah hukum alam, yang selalu menikah-ceraikan semaunya? Desis angin membelai mesra rambutku, lagi-lagi tanpa rasa, tapi kali ini syarat makna. Seakan angin ingin membawaku dalam permainannya. “Tidak, tidak!” bersamaan dengan itu, dingin pun datang merambat ke sekujur tubuhku, membuat bulu romaku tegak berdiri. Wangi angin menerobos hingga paru-paruku, melegakan semua sesak yang membebani. Ku pejamkan mataku, dan ku nikamati lembut hembusannya.
Saat ini aku memang mulai tersadar, dan telah terbangun dari perjalanan panjang sebuah mimpi, melewati lika-liku mimpi yang tak bertepi, hanya untuk menjemputmu kembali. Aku pernah sekeren itu, atau sebodoh itu? “Fuuh..” ku buang jauh napas masa laluku. Kini mataku terbuka, meskipun sebenarnya apa yang aku lihat hanya samar-samar, jika tanpa sebuah kaca mata. Dari sebuah kacamata, aku kembali melihat dunia yang indah. Bunga-bunga dalam pot pun tetap mekar, padahal akarnya tak mampu merambat bebas. Kenari dan kutilang yang terkurung sangkar pun masih asyik bernyanyi, padahal mereka terpenjara dalam jeruji-jeruji kesenangan manusia. Memang begitulah hakikat keindahan, tak bisa disekap keadaan dan waktu.
Hujan juga membuat bunga-bunga di taman kecilku menjadi subur dan anggun. Tanpa harus aku sirami, karena takdir telah menyiraminya. Aku pun mestinya belajar dari itu, meskinya juga hujan di mataku membuatku semakin kuat, bukan layu. Di bawah ranting-ranting bunga terlihat sekelompok semut yang berbanjar menopang makanan yang jauh lebih berat daripada beratnya. Ia mampu, aku pun harus mampu. Pelan-pelan aku menyeruput kopiku, agar ampasnya tak sampai ku telan. Karena ampas hanya seperti masa lalu, yang memang kita butuhkan untuk merangkai rasa, tapi tak harus kita nikmati pahitnya.
Dari sebuah kacamata, aku membaca catatan kecil yang dari tadi sudah ku pegangi, perlahan ku buka lembar demi lembar, sejauh yang ku lihat hanya berpuluh-puluh puisi yang menggambarkan tentangmu, tentang kisahku. Ada satu lembar yang mengganjal dari semua lembarnya, kertas itu terlihat kusam, dan di ujung kanan paling bawah terlihat sobekan yang hampir membuat kertas itu terpisah, dengan sedikit ragu perlahan ku baca puisiku.
“Sadarku terkurung di langit senja
Jutaan sendu menghiasi hitam mataku
Meretas kelabu tak berdaya
Menjadi layu menantimu di ujung hariku
Sang digdaya tak mampu berjaya
Mendung menguasai kekosonganku
Menghitam di langit anganku
Menangis pun tak mampu membasahi nuranimu
Pelangiku tak sesempurna dulu
Semua semu menghujam indah warnamu
Darah masih mengalir dalam luka
Tangis awan mengalun berbalut senja
Dalam dadaku engkau masih bersandar
Antara aku akan mati atau engkau akan memudar
Goyahlah yakinku, Tusuklah relung nuraniku
Kobarkanlah api dendammu di ujung senjaku
Lihatlah, aku tetap tegak!
Napasku tetap mengharum memujamu
Mawar indahku masih kusimpan untukmu
Akan kucoba memejamkan jingga tanpa luka
Menutup angkara tanpa dogma
Atau akan tetap sendiri tanpa pernah bersamamu?
Aku masih terluka dalam bahagiamu
Bersembunyi di balik hangat bayangmu
Menjaga sepi agar tetap berarti
Hingga engkau kembali mewangi
Meredalah, temani aku dalam ketiadaanku
Tersenyumlah, dunia ini masih seutuhnya milikmu”
Aku tersenyum, dan berbisik dalam hati, “Kamu abadi dalam setiap baris puisiku.”
Tuangkan Komentar Anda