Gianyar dikenal dengan masyarakatnya yang artistik. Beragam seni berkembang di daerah ini, yaitu: seni ukir, seni musik, dan seni lukis. Tidak terkecuali Kota Gianyar. Perkembangan awal sebagai desa kecil menjadi sebuah Geriya Anyar (disingkat menjadi Gianyar, yang artinya tempat kediaman baru) pada tahun 1770. Pola pengaturan ruang kota mengikuti pola umum yang dimiliki oleh kota-kota kerajaan di Bali. Dari kota kerajaan, kota ini menjadi pusat pemerintahan Kab. Gianyar yang modern dengan mencerminkan identitas lokalnya. Setiap daya cipta masyarakatnya diekspresikan di dalam ruang-ruang kota.
Beberapa kali coba dianeksasi oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya, Gianyar masih tetap bertahan. Banyak perubahan dicapai akibat perubahan politis, pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi regional. Namun, kota ini tetap mencerminkan kreativitas warganya yang tidak pernah habis.
Sejarah dan Perkembangan Kota
Saat ini, Kota Gianyar telah berusia dua seperempat abad. Telah terjadi perluasan bagian-bagian kota atau lingkungan terbangun terutama ke arah barat dan selatan. Hal ini didorong oleh pembangunan jalan baru dan keterbatasan lahan di bagian tengah dan utara kota.
Kota ini berdiri tahun 1771. Gianyar dipilih menjadi nama sebuah keraton, Puri Agung Gianyar, yaitu istana raja (Anak Agung) oleh Dewa Manggis Sakti. Sampai saat ini, puri agung ini masih tetap berdiri, meskipun pengaruh kekuasaan tradisional raja tidak ada lagi. Pembangunan dimulai dari bagian tengah kota yang merupakan pusat kekuasaan lama dengan ciri lokal, atau menggunakan pola Catus Patha. Pola ini membagi ruang kota menurut pertemuan dengan persimpangan jalan yang menjadi pusat kosmologis, yaitu puri, alun-alun, dan tempat pertemuan.
Kota Gianyar berkembang terutama dengan pertumbuhan kegiatan pariwisata di sekitarnya. Letaknya juga cukup strategis karena menghubungkan antara Denpasar, ibukota propinsi, dengan kota-kota lainnya di bagian timur pulau. Keberadaannya sebagai pusat pemerintahan tradisional dilanjutkan sampai sekarang. Meskipun bukan sebagai destinasi wisata, seperti kebanyakan kota di Kabupaten Gianyar lainnya, kota ini mengemban tugas sebagai pusat pelayanan lokal di wilayah Gianyar dan berkembang karena perdagangan dan pelayanan jasa.
Selanjutnya, pertumbuhan kota lebih mengarah ke selatan. Dibangunnya jalan by pass Prof. Ida Bagus Mantra yang menghubungkan Bali bagian selatan dan timur memberikan dorongan bagi peralihan guna lahan dan peningkatan aksesibilitas kota dari arah tersebut. Saat ini telah dibangun kompleks perumahan-kompleks perumahan yang dibangun pengembang, baik publik maupun swasta. Sementara itu, pusat kota semakin padat dengan aktivitas perdagangan. Tumbuhnya pusat perbelanjaan yang semakin inovatif meningkatkan persaingan dalam usaha retail di kota ini. Pusat perbelanjaan tersebut melayani baik dalam skala regional (Kota Gianyar dan sekitarnya) maupun skala lokal. Pengaturan lalu lintas pun menjadi semakin mendesak ketimbang lima saampai sepuluh tahun yang lalu.
Kota dengan Dua Pusat
Kota Gianyar adalah pusat lama dari Kerajaan Gianyar. Pusat kerajaan ini masih berdiri namun kekuasaan raja mulai mengalami pelemahan ketika penjajahan Jepang yang diikuti dengan kemerdekaan bangsa merubah konstelasi kekuasaan lokal dan nasional. Bekas-bekas dari puri masih dapat ditemui di kota ini dan merupakan elemen identitas kota. Seiring dengan hilangnya kekuasaan tradisional, keberadaan puri hanya bertindak sebagai simbol. Kompleks puri ini terdiri dari rumah-rumah kerabat raja. Di depan puri, terdapat alun-alun kota yang digunakan untuk menggelar pertemuan. Saat ini alun-alun tersebut tetap menjadi ruang publik yang digunakan masyarakat untuk bertemu dan beraktivitas (seperti menggelar pameran, olahraga, bermain anak, dll.). Di dekat alun-alun dan puri berdiri sasana budaya yang digunakan untuk pergelaran seni.
Dengan peralihan kekuasaan modern, “pusat lama” digantikan dengan “pusat baru”, yaitu kekuasan yang terkonsentrasi di tangan para birokrat. Pusat baru ini adalah kompleks perkantoran pemerintah daerah, yaitu Kantor Bupati dan Kantor DPRD Gianyar. Dengan demikian secara spasial, Kota Gianyar adalah kota dengan dua pusat, seperti yang dialami sebagian besar kota-kota kerajaan lainnya di Bali. Kedua pusat tersebut dihubungkan oleh jalan protokol dan bangunan-bangunan komersil di samping kiri dan kanannya.
Kota yang Kreatif
Kota Gianyar menonjol dengan landmark kota yang berada di batas-batas kota. Pengunjung yang memasuki kota dari arah barat akan menemukan dua patung bercat putih, berupa Dewa Wisnu yang menunggangi kendaraan saktinya Garuda tengah bertarung dengan sosok raksasa dan satu lagi berupa patung kereta kuda dengan Arjuna dan Krisna tengah bertarung di medan perang Kurusetra. Kedua patung tersebut dibangun oleh kreativitas seniman Bali yang banyak ditemui di pelosok Gianyar. Keberadaan kedua patung tersebut juga menunjukkan betapa lekatnya nuansa religius dalam kehidupan masyarakat kota. Didukung dengan kreativitas warga kota dalam berkesenian, religiusitas tersebut diwujudkan menjadi patung dengan inspirasi kisah pewayangan, sekaligus mengingatkan atas kepercayaan terhadap karma phala (hasil perbuatan) sebagai keutamaan bagi warga Kota Gianyar yang sebagian penduduknya beragama Hindu. Patung yang pertama mengisahkan perebutan Tirta Amerta (air suci yang dapat membuat kekal kehidupan peminumnya) antara dewa dan raksasa (butha kala) yang dimenangkan oleh para dewa. Patung yang kedua merupakan pertarungan antara Pandawa dan Kurawa dalam epik Mahabaratha.
Sementara itu, pengunjung yang memasuki kota dari arah timur dapat menemukan sosok patung Arjuna yang tengah bersiap melepaskan anak panah dengan mata panah ke arah pusat kota. Patung ini sekaligus menjadi petunjuk arah bagi mereka yang mamasuki kota untuk menuju pusat kota. Detail dan kemegahan dari patung tersebut menciptakan impresi bahwa Kota Gianyar merupakan kota dengan warganya yang nyeni (berkesenian). Selain itu, identitas Kota Gianyar didukung dengan patung, dan bangunan yang bernuansakan budaya lokal yang banyak dipengaruhi tradisi leluhur maupun agama Hindu.
Meskipun kota ini bukanlah sentra kerajinan, tidak seperti Ubud maupun Sukawati, dua kota kecamatan lainnya di Kabupaten Gianyar, kreativitas warga kota ditunjukkan dengan bangunan-bangunan dengan ragam dan motif tradisional. Bangunan yang menonjol adalah Sasana Budaya yang terletak di pusat kota lama. Bangunan ini digunakan sebagai pusat pertunjukkan seni maupun pameran. Tangga yang tinggi menuju pintu masuk memberikan kesan megah. Atapnya berjenjang dan di sisi bangunan berdiri menara yang biasanya digunakan untuk meletakkan kulkul (alat komunikasi tradisional menyerupai kentongan). Letaknya yang berada di Puri Agung Gianyar masih mendukung keberadaannya zona pusat kota lama agar tetap lestari. Kreativitas lainnya yang nampak secara visual dari kota ini adalah keberadaan bangunan perkantoran pemerintah dan pusat perbelanjaan yang modern dipadukan dengan motif pahatan tradisional pada sisi-sisi bangunan tertentu. Selain karena desakan eksternal berupa Perda nomor 2, 3 dan 4 tahun 1977, salah satu yang menarik untuk disoroti adalah keberadaan mall di dekat Puri Agung Gianyar yang tetap menampilkan ornamen dan bentuk tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi yang berkembang dari sebuah kota dapat tetap diwadahi oleh arsitektur tradisional Bali. Kondisi ini jauh berbeda dengan kota-kota lainnya di Bali yang telah mulai tergerus dengan modernitas. Kondisi ini menunjukkan kreativitas dalam masyarakat modern tidak musti diwujudkan dengan meninggalkan yang tradisional, melainkan secara sadar dan terus-menerus menggali bentuk dan ornamen yang disesuaikan dengan zaman.
sumber: gedebudi
Tuangkan Komentar Anda