Titik-titik bara api terlihat jelas di tengah kegelapan. Sinarnya memantul di permukaan air. Sementara desiran angin laut yang dingin mampu menebar bau harum dupa. Samar-samar terlihat bayangan orang duduk bersila dan bersimpuh. Dengan khidmat kedua tangan dicakupkan di atas ubun-ubun, doa-doa pun dipanjatkan.
Kemudian, mereka menghempaskan tubuhnya ke dalam air, mandi dan keramas. Ketika sinar merah terbersit di ufuk timur, pakaian mereka yang basah tampak jelas dan orang-orang pun makin banyak yang datang lengkap dengan sesajen. Demikian sekilas prosesi Banyu Pinaruh di salah satu Pantai di Bali, sehari setelah perayaan Hari Saraswati.
Setelah merayakan piodalan Saraswati, pada Minggu Paing Sinta umat Hindu melanjutkannya dengan malaksanakan prosesi Banyu Pinaruh. Sarana pelaksanaan Banyu Pinaruh menggunakan air kembang (kumkuman). Kumkuman itu dibawa ke tempat-tempat sumber air seperti pancuran, segara, sungai, beji – yang diyakini sebagai tempat penyucian atau peleburan mala atau kotoran batin. Di situ umat membersihkan diri, keramas dan mandi. Tetapi jika tak sempat ke tempat-tempat seperti itu, umat bisa melakukannya di rumah. Semua itu dibenarkan oleh ajaran agama Hindu seperti yang tertuang dalam buku kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu.
-
Apa Hakikat Banyu Pinaruh?
Banyu Pinaruh, berasal dari kata banyu (air) dan pinaruh atau pangewuruh (pengetahuan). Secara real, umat memang membersihkan badan dan mandi keramas menggunakan kembang di laut atau sumber-sumber air.
Tetapi secara filosofis Banyu Pinaruh bermakna menyucikan pikiran dengan menggunakan air ilmu pengetahuan, sebagaimana diuraikan dalam pustaka Bagawadgita sebagai berikut:
Abhir gatrani sudyanti manah satyena sudayanti.
Badan dibersihkan dengan air sedangkan pikiran dibersihkan dengan ilmu pengetahuan.
Itu berarti Banyu Pinaruh bukanlah hanya datang berkeramas atau mandi ke pantai atau sumber air. Tetapi, prosesi itu bermaksud membersihkan kekotoran atau kegelapan pikiran (awidya) yang melekat dalam tubuh umat dengan ilmu pengetahuan, atau mandi dengan air ilmu pengetahuan.
Hal itu sesuai dengan Bagawadgita IV.36 yang berbunyi:
Api ced asi papebhyah, sarwabheyah papa krt tamah, sarwa jnana peavenaiva vrijinam santarisyasi.
Walau engkau paling berdosa di antara manusia yang memiliki dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan, lautan dosa akan dapat engkau seberangi.
Itu artinya Banyu Pinaruh bukan hanya bermakna simbolis belaka, tetapi sesuai dengan ajaran Hindu. Kita dijamin oleh kitab suci bahwa melalui mandi dan keramas menggunakan air ilmu pengetahuan, akan terbebas dari lautan kebodohan dan dosa.
Berangkat dari makna itulah, umat terutama generasi muda harus memaknai Saraswati dan Banyu Pinaruh sesuai dengan hakikatnya. Malam Saraswati mesti dimaknai dengan baik, melalui pembacaan sastra dan diskusi (dharmatula) tentang ajaran agama, baik di banjar-banjar, pura, sekolah, kampus dan tempat yang memungkinkan untuk itu. Keesokan paginya dilanjutkan dengan pelaksanaan Banyu Pinaruh. Jadi kita jangan hanya melaksanakan Saraswati atau Banyu Pinaruh karena briuk siu atau ikut-ikutan tanpa memperhatikan makna yang dikandung di dalamnya. Umat Hindu terutama anak-anak muda datang ke segara agar betul-betul melakukan Banyu Pinaruh, bukan sekadar mejeng atau tujuan lain.
Pada saat Banyu Pinaruh umat melaksanakan suci laksana, mandi dan keramas menggunakan air kumkuman di segara. Kegiatan itu bertujuan untuk ngelebur mala. Segara itu merupakan tempat peleburan dasa mala. Dengan melakukan prosesi itu diharapkan terjadi keseimbangan lahir dan batin.
Tuangkan Komentar Anda