Maksudnya, orang Bali jual tanah untuk beli bakso, sementara Orang Jawa jualan bakso untuk beli tanah di Bali. Sebuah pemeo populer yang sering diungkapkan oleh semeton Bali untuk menyindir fenomena Sosial-Ekonomi yang sedang berlangsung, khususnya terkait alasan mengapa Orang Bali kian tersisih di tanahnya sendiri.
Meskipun pahit, tetap harus saya sampaikan bahwa pemeo di atas memang ada benarnya; ketersisihan orang Bali sedikit-banyak juga di pengaruhi oleh perilakunya sendiri, disamping faktor-faktor eskternal.
Ungkapan “Nak Bali ngadep tanah meli bakso, Nak Jawa ngadep bakso meli tanah” jelas tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan mental apalagi menjelek-jelekkan atau menghina orang Bali. Melainkan lebih dimaksudkan sebagai oto-kritik, agar sadar thus bisa melakukan koreksi-sendiri terhadap perilaku itu.
Pedagang Bali Kalah Bersaing
Tidak mungkin hasil jual tanah miliaran semuanya dihabiskan untuk beli bakso. Sebagiannya mungkin digunakan untuk Ngaben atau upacara adat/agama lainnya (alasan jual tanah paling popular di Bali). Lalu ada juga yang digunakan untuk beli mobil SUV seri terbaru (ini alasan jual tanah terpopuler kedua). Sisanya untuk senang-senang, entah main ke café, jalan-jalan, dan lain sebagainya, termasuk beli bakso tentunya bagi yang doyan bakso.
“Setelah hasil penjualan tanah ludes lalu ikut-ikutan teriak BALI NOT FOR SALE! Sambil mengepalkan tangan hihihi…” celetuk Gek Alit, seorang karywati Bank yang kebetulan tinggal di sebelah rumah dan kerap belanja di warung tempat saya biasa nongkrong, sambil cekikikan, saat saya dan beberapa kawan ngobrol tentang fenomena konversi sawah menjadi beton, beberapa bulan lalu.
Apa yang disampaikan Gek Alit itu tidak benar. Yang saya tahu gerakan “BALI NOT FOR SALE” itu dilakukan oleh organisasi, bukan perorangan, dan ditujukan kepada pihak berwenang agar tidak “menjual Bali.” Sedangkan keputusan menjual tanah kan sepenuhnya hak masing-masing pribadi pemegang sertifikat hak milik, bukan hak pemerintah. Jadi, tidak ada hubunganya, out of contex.
Lagipula saat ini sudah jarang ada Orang Bali yang jual tanah. Karena memang sudah tidak ada tanah berukuran luas lagi, terutama di daerah perkotaan. Yang ada paling beberapa are. Itupun dikontrakkan dan hasilnya dijadikan modal usaha kecil-kecilan, bukan untuk foya-foya.
Masalahnya sekarang, berjualanpun Orang Bali kalah bersaing dengan pendatang, khususnya di skala kecil. Ini yang ingin saya sampikan. Dan sama halnya dengan pemeo di awal tadi, tulisan inipun tidak dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan atau mendiskredit orang Bali. Sebaliknya, justru karena rasa peduli dan harapan besar agar semeton Bali—khususnya para pedagang dalam konteks ini—bisa melakukan perbaikan. Sehingga ke depannya lebih mampu bersaing di tanah sendiri, sementara pemerintah tak berdaya mengatasi membludaknya arus masuk pendatang.
Sekali lagi ini kenyataan pahit namun harus saya sampaikan ke publik bahwa memang pedagang Bali kalah bersaing dengan pendatang, khususnya pada skala kecil. Tak perlu riset dan analisis statistikal, ini fakta yang saya saksikan bahkan alami sehari-hari; pedagang asli Bali pada umumnya kalah bersaing dibandingkan pedagang pendatang.
Khusus warung Nasi Lawar dan Babi Guling, bisa saya mengerti jika kalah ramai dibandingkan dengan warung soto atau bakso atau sate kambing atau ayam goreng lalapan. Sebab Lawar dan Babi Guling memang hanya dikonsumsi oleh Orang Balinya saja, sementara warga pendatang yang saat ini sudah nyaris 50% dalam komposisi kependudukan di daerah perkotaan ‘kan tidak makan lawar atau babi guling. Sedangkan soto, bakso, sate kambing dan ayam lalapan dimakan oleh semua orang, termasuk orang Balinya.
Saya juga tak heran ketika karyawan di Denpasar-Kuta-Jimbaran-Ubud dan sentra-sentra pariwisata lainnya mengeluh kesulitan mencari tempat makan saat musim libur idul Fitri tiba. Sebab makan Nasi Lawar dan Babi Guling tiap hari selama beberapa minggu memanglah membosankan. Sesekali tentu ingin makan soto, bakso, sate, atau nasi campur non-Bali. Logis dan mudah dinalar.
Namun, menjadi pemandangan aneh ketika:
Warung soto ayam pedagang Bali tak seramai warung soto ayam milik pendatang; atau
Warung nasi campur milik orang Bali tak seramai warung nasi campur pendatang padahal lauknya sama-sama tempe, tahu, ikan laut, telor dan lain-lain tanpa babi samasekali atau
Lapak sayur orang Bali di pasar Kumbasari tak seramai lapak sayur pendatang di pasar yang sama atau
Toko kelontong milik orang Bali yang menempati Ruko tak seramai warung kelontong pendatang yang hanya menempati bangunan semi-permanen bahkan bedeng.
Saya penyuka ikan laut. Suatu hari istri saya terpaksa tak masak ikan laut gara-gara Ibu Nur tidak jualan, padahal masih ada puluhan pedagang ikan di pasar. Dan masih banyak fenomena aneh lainnya yang saya amati dan alami sendiri.
Apa yang tak beres?
Entahlah. Yang jelas, setidaknya menurut saya pribadi, ada 9 hal yang bisa dicontoh oleh semeton pedagang Bali dari pendatang agar lebih mampu bersaing, sebagai berikut:
1. Ramah Pada Pembeli
Inilah alasan mengapa istri saya ogah beli ikan laut pada puluhan pedagang lain di pasar sana yang rata-rata semeton Bali. Menurut istri saya yang dibenarkan oleh ibu-ibu tetangga, mereka rata-rata judes. Suatu ketika istri saya hendak membeli ikan teri segar pada salahsatu dari mereka.
Sebelum beli tentu dia menanyakan harga per kilonya. Bukannya dikasih tahu berapa harganya malah ibu itu dengan ketus berkata “Idih olas ampunang nawah! Nak maal jani be, keweh alih-alihane di pasih!” (=tolong jangan menawar harga! Sekarang ikan mahal, susah nangkep di laut), padahal istri saya baru nanya berapa harga per kilonya, belum sempat nawar.
Tak suka dengan sikap dagang itu, disamping anak saya ke-2 merengek mau jalan terus, tanpa ba-bi-bu istri saya ngeloyor pergi. Namun ibu itu tak terima lalu berteriak, “weeee buuukkk! Kone kal meli be, nguda megedi?!” (=eh buuuu! katanya mau beli ikan, koq ngeloyor pergi?).
Lalu istri saya balik dan mengatakan ia pergi karena mengira ikannya tidak dijual. Ibu itu pun akhirnya memberi tahu berapa harga ikannya. Karena terlalu mahal istri sayapun ngeloyor lagi tanpa mengeluarkan satu patah katapun. Ya jelaslah istri saya ngeloyor pergi tanpa berkata apa-apa, sebab sudah diperingatkan untuk tidak menawar. Jika ditawar nanti pedagang ikannya ngomel lagi, sementara untuk beli juga tak mungkin sebab harganya terlalu mahal.
Namun ibu itu tak terima dan berteriak dengan kata-kata kasar, “Weee.. bang*at! Ba orahin harga masi megedi buin, kengken keneh nyine?!” (=Woi bang*at! Sudah dikasi harga ngeloyor juga, apa maumu?).
Karena terlalu kasar, istri sayapun “membeli” sikap itu dengan mendatangi dan memaki-maki balik pedagang ikan itu. Dan terjadilah keributan. Sejak saat itu, istri saya ‘mesasat’ (=semacam bersumpah) untuk takkan pernah belanja ikan di pasar itu selain di lapaknya Bu Nur.
Contoh lainnya dialami oleh tetangga. Saat sang istri pulang kampung, Pak Putu membeli Nasi Babi Guling di daerah Tanjung Bungkak (Denpasar) untuk dirinya sendiri dan 3 anaknya yang masih kecil. Tak mau anaknya kepedasan, maka saat memesan dia minta agar tidak diisi lawar dan bumbu. Bukannya menyimak baik-baik apa yang di pesan, ibu penjual nasi asik saja tek tek tek tek tek… mencincang lawar.
Saat mulai membungkus Pak Putu berusaha mengingatkan kembali agar tidak diisi bumbu. Namun bukannya menyimak, dagang nasi itu malah berbicara dengan pembantunya sambil terus membungkus nasi. Selesai bungkus baru bertanya “Apa orahang pak mara?” (=Tadi bapak bilang apa?). Dengan sabar Pak Putu mengulangi permintaannya sambil menjelaskan bahwa dirinya beli nasi untuk anak-anak yang masih kecil. Namun dengan ketus dagang nasi lawarnya menjawab, “Tiyang ten nerima pesanan khusus!” (=saya tidak menerima permintaan khusus!).
Pak Putu mengaku, sejak saat itu selalu berusaha menahan keinginannya untuk makan nasi babi guling. Jika istri tak masak, katanya mendingan beli Soto Arema atau Ayam Goreng Sari Laut Bang Edi yang kebetulan tak jauh dari rumahnya. Hal ini tentu karena Pak Putu tak pernah menerima sikap tak ramah dari tukang Soto Arema atau Sari Laut Bang Edi.
Sikap kasar dagang ikan dan dagang nasi babi guling itu sudah pasti tak mewakili perilaku semua pedagang Bali (nyatanya istri saya tetap membeli sayur, buah, bumbu, canang dan barang keperluan lain pada pedagang Bali). Namun semeton pedagang ikan di pasar itu kiranya perlu belajar cara bersikap baik pada pembeli dari Bu Nur. Dan, dagang nasi babi guling di Tanjung Bungkak itu juga perlu belajar dari warung soto Arema atau Sari Laut Bang Edi.
2. Sigap Melayani Pembeli
Sigap melayani pembeli adalah karakter berikutnya yang perlu dicontoh oleh pedagang Bali dari pedagang pendatang. Ini hasil perbandingan antara rumah makan (merangkap catering) yang dikelola oleh Orang Bali dan dan pendatang. Untuk tidak merusak nama/merk tertentu saya tidak mau nyebut nama/merk. Namun keduanya lumayan besar, sama-sama cukup dikenal, sama-sama punya gerai dimana-mana, sama-sama punya ratusan pegawai dan keduanya pernah menjadi langganan kantor dimana saya bekerja.
Rumah makan milik orang Bali ini posisinya cukup strategis, dekat pusat bisnis sekaligus pusat pemerintahan. Cukup sering wara-wiri, sehingga saya pun kadang mampir untuk makan siang di sana. Masakannya enak, khas Bali, harganya juga terjangkau. Satu-satunya masalah yang membuat saya selalu menahan nafas setiap kali makan di sana adalah leletnya pelayanan. Mereka bersikap seolah tak butuh konsumen, lebih suka mengobrol antar waitress dibandingkan melayani pembeli. Apalagi saat melayani pesanan nasi kotak dalam jumlah banyak, pembeli yang langsung makan di sana harus menunggu sampai mereka selesai membungkus. Karena hal ini pula banyak yang urung makan di sana, termasuk saya.
Kontras dengan rumah makan milik pendatang yang pernah jadi langganan kantor dimana saya bekerja. Mereka begitu sigap dan gesit melayani pembeli. Meskipun pembelinya 2x lebih ramai di bandingkan rumah makan milik orang Bali tadi, dengan jumlah pegawai kurang-lebih sama, mereka bisa melayani pembeli dalam waktu sangat singkat; antara 5 hingga 10 menit. Mereka juga melayani pesanan nasi kotak dalam jumlah besar. Namun itu nampaknya tak pernah mengganggu pelanggan yang langsung makan di tempat. Masakannya juga enak, khas, dan selalu fresh. Harga per satu porsinya kurang lebih sama. Jadi tak heran jika rumah makan ini selalu ramai. Dan dari kecepatan mereka menyajikan makanan saja sudah jelas terlihat rumah makan kedua ini berdayasaing lebih tinggi.
3. Menghargai Uang Kecil
Di dekat tempat tinggal saya, ada Toko lumayan besar (hampir sebesar mini market), menempati bangunan ruko 2 lantai, dan menjual berbagai keperluan sehari-hari, mirip mini market lah. Dari pelangkiran di atas meja kasirnya saya tahu pemiliknya orang Bali.
Tak jauh dari toko itu ada toko kelontong kecil, hanya menempati bangunan semi permanen dengan tembok batako yang masih telanjang, dan juga jualan barang kebutuhan sehari-hari. Yang nungguin toko kelontong kecil ini sepasang suami-istri berusia 50-an, dan dari pengakuannya mereka asli Jawa Timur, namun jadi PNS di Bali sejak muda hingga pensiun.
Biasanya toko kelontong kecil akan sepi jika di sebelahnya ada toko besar dengan barang dagangan yang kurang lebih sama. Ini yang terjadi malah sebaliknya; sementara toko kelontong milik pasutri dari Jatim itu selalu ramai, toko besar yang milik Orang Bali bisa dibilang sepi pembeli. Setiap hari melewati toko itu, sangat jarang saya melihat ada sepeda motor parkir di sana.
Suatu Sore, sudah agak lama mungkin 2-3 tahun lalu, saya mampir di toko milik orang Bali itu untuk membeli sebungkus rokok. Sambil bilang mau beli rokok merk tertentu saya sodorkan selembar uang Rp 100 ribu. “Nggak ada” kata si pedagang singkat tanpa ekspresi. Sementara dari kejauhan saya lihat ada banyak merk itu berjejer-jejer di rak khusus rokok. Lalu saya dekati rak rokok itu untuk memastikan saya tak salah lihat. Benar, memang ada berbungkus-bungkus. Sambil menunjuk rak saya katakan “Ini ada lho bu….” Tahu apa jawaban ibu pedagan itu? “Nggak ada susuk, beli di sebelah aja” ujarnya singkat masih tanpa eskpresi. Belanja Rp 14000 diberi Rp 100ribu nggak ada kembalian, gila nggak? Kalau nggak gila ya berarti tak menghargai uang kecil.
Ya, bisa ditebak. Akhirnya saya beli rokok di toko kelontong milik pasutri asal Banyuwangi itu. Naggak usah belanja Rp 14ribu, beli bensin se liter dikasi uang 100-an pun disusuki tanpa masalah. Sejak saat itu saya tak pernah mencoba untuk belanja di toko milik semeton Bali itu—sepanjang masih ada toko lain yang buka. Jadi tak heran jika toko itu nampak selalu sepi.
Sebagai pembanding yang lebih ekstrim. Saya pernah beli tas plastik (kresek) di sebuah toko milik saudara Tionghua di daerah Imam Bonjol. Saya hanya mau beli selembar, ya tahu sendirilah berapa harga tas kresek selembar, tapi dicarikan diantara tumpukan barang yang memenuhi ruangan toko itu. Sadar hanya belanja kecil namun merepotkan, saya bilang nggak jadi. Tapi dengan ramah engkoh pemilik toko bilang, “tolong tunggu sebentar masih dicarikan.”
Artinya apa, uang Seribu perakpun sangat berarti bagi seorang pedagang. Pedagang semeton Bali seperti pemilik toko di atas perlu belajar menghargai uang kecil. Perlu belajar memahami, terlepas dari berapapun nilai pembeliannya, yang namanya pembeli tetap berharga.
4. Kualitas Barang
Pernah makan Nasi Babi di pasar senggol Kreneng? Dagang babi guling di sini semuanya semeton Bali. Babi guling yang dipajang kelihatan sangat segar, dengan kulit empuk merekah. Sungguh merangsang selera setiap penyuka babi guling, termasuk saya.
Tak tahan godaan itu, saya bersama istri dan anak yang awalnya hanya mau cari barang tertentu pun mampir makan di salahsatu warung di sana. Sungguh di luar dugaan; yang disajikan ke meja kami ternyata daging babi yang sudah sangat kering, nampaknya sudah digoreng berkali-kali. Kulitnya hanya selebar 2 cm persegi pun tipis dan tidak diambil dari babi guling yang mereka pajang. Bumbunya pun sudah terasa agak-agak basi. Ini kan tergolong pengelabuan, jika tak mau menyebut penipuan.
Saya pikir siapapun akan kecewa terhadap pedagang yang berperilaku seperti demikian. Jadi jangan salahkan jika kemudian semeton Bali pun lebih memilih makan bakso, soto, dan gule kambing di warung sebelah.
Di luar perilaku mengelabui pembeli, menjaga kualitas barang dagangan sangatlah penting. Khusus makanan, kesegaran (freshness) mungkin menjadi hal yang paling utama selain cita rasa. Kecuali yang memang jenis instant, tidak ada orang yang mau mengkonsumsi makanan yang sudah tidak segar, apalagi sudah basi. Kecenderungan pedagang menjual kembali makanan yang tak laku di hari sebelumnya memang sulit dihindari. Namun saya kira hal ini bisa disiasati. Misalnya dengan tidak memasak dalam volume yang berlebih—mungkin dengan mengira-ngira tingkat keterjualan barang. Contohlah cara pedagang pendatang dalam mengelola barang dagangannya, agar kualitas tetap terjaga.
5. Ketersediaan Barang
Untuk mengembangkan kreatifitasnya, tempo hari istri saya memesan meja kerja yang permukannya ditutup kaca. Saat mejanya datang, dan diterima pembantu, eh ternyata kacanya tidak pakai stopper pada keempat pojoknya; kaca hanya diletakkan begitu saja di atas meja. Terpaksa saya carikan stopper untuk dipasang sendiri.
Kemarin saya keliling ke toko bahan bangunan. Mulai dari yang terdekat; kebetulan pemiliknya orang Bali. Saat saya tanya apakah jual stopper kaca untuk meja, jawaban dagangnya “tidak ada, coba di tukang kaca.” Mendengar jawaban itu, langsung kebayang sulitnya mencari tukang kaca yang setahu saya jumlahnya tak banyak.
Sambil mencari tukang kaca, kebetulan saya melewati toko bangunan (ke-2) saya coba masuk menanyakan barangkali mereka menjual barang yang saya cari. Kali ini pemiliknya orang Arab dan jawabannya berbeda dengan toko bangunan pertama. Pemilik toko bilang “Maaf barangnya kosong,” seolah-olah dia mau bilang “biasanya ada namun kebetulan stocknya habis.” Disamping mendapat harapan baru (kemungkinan toko bangunan berikutnya jual), saya juga mendapat kesan bahwa kalau lain kali nyari stopper mungkin bisa coba cari di sana lagi, siapa tahu stocknya lagi ada.
Selanjutnya saya masuk ke toko bangunan ketiga yang ditunggui oleh pasutri Tionghua. Saat saya katakan cari stopper kaca meja, cece nya bilang “Ada. Tolong tunggu sebentar, kita ambilin ke gudang dulu.” Kokonya pun nampak keluar naik sepeda motor untuk mencarikan barangnya. Tak sampai 15 menit, koko itu pun membawa barang yang saya cari. Tahu berapa harganya satu stopper beserta skrupnya? Hanya Rp 4000, sementara saya hanya beli 4 biji, artinya saya hanya belanja Rp 16000!
Saya pulang membawa stopper dan merasa sangat terbantu karena tak harus keliling lagi ke toko-toko bangunan lainnya atau tukang kaca. Dalam perjalanan pulang saya teringat cerita kawan lama yang kebetulan juga Tionghua. Katanya, pedagang Cina selalu berusaha membuat pembeli berbelanja di tokonya. Jika mereka tak punya barangnya, dia akan membeli di toko sebelah, meskipun untungnya sangat tipis. Hal ini, katanya, penting agar pembeli yakin tokonya selalu punya barang apapun yang dibutuhkan. Bila sampai berkali-kali terpaksa beli di toko sebelah untuk dijual kembali, itu berarti sudah saatnya dia membeli dari distributor atau pabrik untuk distock sendiri. Dia jadi punya komoditi baru yang pangsa pasarnya sudah pasti ada. Begitu terus. Sehingga toko milik orang Cina rata-rata berkembang.
Ketersediaan barang dagangan sangatlah penting. Sebaliknya, ketidaktersediaan jelas memperkecil kemungkinan pembeli datang kembali di lain waktu. Menjadi semakin kecil kans itu bila respon yang diberikan kepada pembeli tidak simpatik, seperti hanya mengatakan “tidak ada” dengan eskpresi tak bersahabat, dan menurut pengamatan saya respon inilah yang seringkali ditunjukkan oleh pedagang semeton Bali. Dalam hal ini saya pikir semeton Bali bisa belajar dari pendatang, entah itu Orang Jawa, Sumatera, Lombok atau Tionghua.
6. Jarang Tutup
Disamping barang dagangan, ketersediaan tokonya itu sendiri bahkan jauh lebih penting lagi. Tak peduli sebagus apapun kualitas barangnya, sesegar apapun makanannya, seenak apapun cita rasanya, semurah apapun harganya dan sebagus apapun layanannya, bila warung/tokonya sendiri sering tutup tetap saja tak mampu bersaing dengan toko yang selalu buka.
Inilah yang banyak terjadi pada warung dan toko-toko milik semeton Bali, termasuk warung ‘tipat cantok’ yang pernah jadi langganan saya.
Awalnya, tahun-tahun pertama, warung tipat cantok ini selalu ramai; murid, pegawai swasta, pegawai pemerintah, entah darimana datangnya, selalu berkerumun di sana. Tipat cantoknya memang enak, banyak sayur dan bumbunya, segar, warungnya juga bersih. Yang jualan cantik, cekatan, dan ehemmm…murah senyum. Harganya pun tergolong murah. Tak heran jika mereka bisa menyulap rumah tinggal tempatnya berjualan menjadi rumah besar berdinding marmer Citatah dalam waktu singkat. Namun entah mengapa belakangan ini sering tutup.
Karena sudah ‘kebelet’ ingin tipat cantok, terpaksa keliling cari warung lain. Untung nemu pedagang tipat cantok lain di dekat pasar; tak kalah enaknya; dan yang pasti selalu buka antara jam 10 s/d 5 sore, nama dagangnya Mbak Umi. Jika ditanya “de rema Mbak Umi?” jawabannya selalu “Tak De rema-rema Pak Gusti,” sambil ketawa cekikikan. Saya yakin warung Mbak Umi yang sekarang berdinding triplek itu akan segera berubah menjadi bangunan permenan, karena kian hari kian ramai saja.
Ada hal yang perlu dipelajari oleh warung tipat cantok dan warung-warung milik semeton Bali kalau ingin memenangkan persaiangan selain menjaga kualitas barang dan menawarkan harga yang masuk akal, yakni belajar menjaga konsistensi jam dan hari buka. Perlu disadari bahwa, warung/toko yang sering-sering tutup menimbulkan kesan “tidak bisa diharapkan,” lama-lama orang tak peduli apakah toko itu buka atau tutup, alias dianggap tak ada. Akibatnya, saat buka pun akan tetap sepi.
Salahsatu hal yang membuat minimarket selalu bisa mengalahkan warung dan toko kelontong disamping ketersediaan dan harga pasti adalah jam dan hari buka yang pasti. Minimarket selalu buka bahkan di hari libur sekalipun. Hal ini menimbulkan keyakinan bawah-sadar pada pembeli bahwa mereka pasti bisa berbelanja kapanpun mereka butuh. Dengan kata lain, “bisa diandalkan” dan ini sangat penting.
7. Bersih
Terutama warung makan, milik semeton Bali seringkali kurang bersih. Seenak apapun masakannya, semurah apapun harganya, seramah apapun dagangnya, orang tetap saja enggan makan di warung nasi yang jorok. Jika tidak sangat terpaksa, pasti memilih makan di warung yang bersih.
Saya pikir ini bukan sesuatu yang sulit, hanya persoalan kebiasaan saja. Jika warung makan pendatang bisa bersih meskipun di bedeng, mengapa warung semeton Bali tidak bisa? Harus bisa jika ingin mampu bersaing.
8. Terang
Saat masuk ke kompleks pertokoan—seperti di jalan Thamrin atau Gajahmada atau Diponegoro (Denpasar)—malam hari, saya bahkan bisa membedakan mana toko milik semeton Bali mana yang bukan, hanya dengan melihat lampu di dalam tokonya. Entah mengapa, toko milik semeton Bali biasanya redup cenderung remang-remang. Bisa jadi karena ingin mengirit biaya listrik.
Saat tinggal di luar Bali saya banyak bergaul dengan teman-teman Tionghua. Dari mereka saya tahu alasan mengapa toko milik orang Cina selalu terang-benderang. Menjaga toko agar selalu dalam kondisi “teng lang” (=terang) sangatlah penting.
Disamping bisa mengangkat hokki (terkait feng-sui), katanya, toko yang terang benderang juga mengirimkan pesan kepada calon pembeli “kami selalu beruntung dan dalam kondisi prima, modal kami masih fresh, biaya listrik sama-sekali tak masalah, barang kami bersih dan baru, silahkan liat-liat.”
Sebaliknya, toko berpenerangan minim seolah mengirim pesan “kami sudah lelah dengan ketidakberuntungan, kami sepi pembeli, barang-barang kami kotor dan sudah kedaluarsa semua, dan kami tak peduli sebab saat ini sedang sekarat, sebentar lagi bangkrut, tak usah mampir tak masalah.”
Semeton Bali pemilik warung/toko, terutama yang masih buka di malam hari, kiranya perlu memahami hal ini jika ingin mampu bersaing. Saya sangat mengerti akan pentingnya menghemat biaya listrik guna mengangkat laba pada akhirnya. Namun perlu disadari bahwa cost-cutting (penghematan) hanya satu sisi saja, pun sifatnya sangat terbatas. Di sisi lainnya, laba juga bisa diangkat dengan cara meningkatkan penjualan, dan ini sifatnya tak terbatas.
9. Tidak Tamak
Salahsatu penyakit purba manusia pada umumnya (dari semua etnik dan suku bangsa) adalah ‘Rajasika’ (=tamak). Turunan sifat tamak yang paling sering muncul ke permukaan adalah “ingin cepat kaya dengan upaya minimal.” Khusus pada pedagang, perilaku “ingin cepat kaya” ini biasanya tercermin dari harga barang dagangannya yang di atas harga pasar.
Menjual barang di atas harga pasar adalah tindakan “bunuh diri” ketika dilakukan pada komoditi yang berupa barang konsumsi pabrikan; sabun, shampoo, odol, snack, kecap, mie instant, rokok, dlsb. Dan ini kerap dilakukan oleh semeton pedagang kecil di Bali.
Sudah tak terhitung kasus yang pernah saya alami terkait hal ini. Yang paling sering adalah rokok dan minuman dikemas botolan yang dijual dengan harga di atas harga pasar normal. Barang ini harganya sudah sangat standar, namun entah mengapa banyak pedagang kecil yang nekat menjual lebih mahal, bahkan tak tanggung-tanggung selisihnya bisa seribu rupiah!
Uang seribu rupiah—terlebih hari gini—memanglah tak besar. Namun tetap saja menimbulkan kejengkelan pada pembeli. Setidaknya terkesan tamak, “ingin cepat kaya.”
Saya pribadi tidak apa-apa. Palingan saya beli sebotol untuk diminum langsung di sana karena kehausan. Namun untuk kebutuhan sebulan (stock di kulkas) pastilah saya memilih untuk belanja di supermarket atau setidaknya minimarket guna mendapat harga pasar yang standar.
Semeton Bali yang kebetulan punya warung, kiranya sangat perlu memperhatikan hal ini jika ingin mampu bersaing dengan pegadang pendatang.
Tuangkan Komentar Anda