Meningkatkan partisipasi pemilih menjadi pekerjaan rumah besar dalam Pemilu 2024.
Tidak hanya penyelenggara pemilu, kontenstan juga berkewajiban mengatrol animo masyarakat menggunakan hak pilih.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan menyampaikan, diperlukan upaya konkrit dalam meningkatkan partisipasi pemilih.
Partai politik harus mulai meninggalkan pola kampanye usang, semisal pemasangan baliho.
Terlebih ketika berbicara Pemilu 2024, dimana 54% pemegang hak suara merupakan pemilih pemula.
"Saya berharap teman-teman partai politik menyetujui saya untuk mengurangi pemasangan baliho, apalagi di Bali ini kita sudah punya Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Ini hal penting buat kita," ungkap Lidartawan dalam Dialog Luar Studio Parlemen Menjawab bertajuk "Pemilih Cerdas, Pemilu Berkualitas" yang diselenggarakan LPP RRI Denpasar, Selasa (6/6/2023).
Lidartawan menegaskan, generasi milenial cukup kritis dan jeli ketika memandang rekam jejak figur yang berkontestasi dalam Pemilu 14 Februari 2024.
Ia pun menolak anggapan sikap apatis terhadap pemilihan umum yang selama ini disematkan kepada generasi milenial.
"Saya di satu SMA yang cukup terkenal di Bali, saya ditanya, Pak Ketua gimana caranya saya menjadi pemilih berdaulat, negara kita akan kuat, kalau saya hanya ditontonkan oleh baliho atau spanduk yang mejeng begini saja," beber Lidartawan dalam dialog yang dipandu Ayu Mirah dan Diah Kharisma itu.
"Gimana saya bisa memilih orang itu, apa orang itu, siapa orang itu, apa yang sudah dilakukan kepada bangsa dan negara, sehingga saya bisa memilih. Ini pertanyaan luar biasa bagi anak-anak muda yang katanya apatis, saya pikir tidak ada apatis, buktinya mereka menanyakan," lanjutnya.
Ketua Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Budiutama di tempat yang sama mengamini, bahwa pendidikan politik tidak hanya pekerjaan penyelenggara pemilu.
Partai politik harus menjalankan fungsinya dalam memberikan pendidikan politik.
"Terkait masalah pemilih milenial, ini memanfaatkan teknologi yang sudah berjalan begitu masif, dalam rangka untuk memberikan pendidikan politik, sehingga menjadi pemilih yang cerdas, itu ada hal-hal yang perlu diperhatikan," ucapnya.
Sementara Pengamat Politik, Dr. I Nyoman Subanda mengatakan, semua pihak harus menyikapi golongan putih (golput) secara serius.
Tidak hanya di kalangan milenial, golput telah menjalar ke hampir seluruh lini masyarakat.
Ia menjelaskan, kriteria golput yang selama ini terjadi dalam pemilu di Tanah Air.
Golput di Nusantara terbagi dalam tiga kategori, meliputi ideologis, politik, dan administratif.
Golput ideologis dipengaruhi oleh sikap anti Pancasila, tidak menyukai ideologi negara, bangsa, dan pemerintahan di Indonesia.
"Ada tidak di Indonesia? Ada, yang anti Pancasila ada, yang anti NKRI juga ada," tegasnya.
Selanjutnya golput politik, yang disebabkan sikap apriori terhadap Pemilu.
"Golput politik itu masyarakat beranggapan bahwa Pemilu itu tidak mengharapkan apa-apa. Tidak ada harapan apapun, tidak ada dampak positif apapun. Kenapa demikian? karena calegnya tidak berkualitas, kemudian calon gubernur, calon bupatinya juga tidak berkualitas, buat apa memilih, toh akan begitu-begitu saja hasilnya," ucapnya.
"Oleh karena itu, hal-hal yang semacam ini harus diperbaiki kualitas caleg, kualitas calon-calon kepala daerahnya, calon presiden sekaligus. Siapa yang punya fungsi ini, ya disitu letaknya partai politik. Partai politik harus mencari orang, tokoh yang kira-kira mempunyai akseptabilitas yang bagus, berdasarkan kapabilitasnya yang bagus," sambung Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Undiknas tersebut.
Sedangkan golput administratif lebih dipengaruhi validitas data pemilih. Validitas data pemilih bukan semata tugas Komisi Pemilihan Umum.
Pemerintah daerah hingga tingkat dusun memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan data kependudukan secara valid.
"Ketika KPU melakukan verifikasi atau kroscek terhadap data kependudukan sudah klir. Tidak ada lagi orang tidak mendapatkan surat suara, tidak ada lagi orang yang tidak punya KTP, tidak ada lagi orang yang sudah meninggal mendapatkan surat panggilan, datanya menjadi lebih riil," kata Subanda dalam dialog yang juga dihadiri Kepala LPP RRI Denpasar, Dra. Teguh Yuli Astuti, M.M. tersebut.
Tuangkan Komentar Anda