Pemerintah memperpanjang Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa dan Bali.
Keputusan itu tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 02 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). PPKM Jawa dan Bali jilid II berlaku sejak 26 Januari 2021 hingga 8 Februari 2021
Di Bali, PPKM dilaksanakan di lima kabupaten/kota. Wilayah yang memberlakukan PPKM meliputi Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, dan Klungkung.
Berkaca dari Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 02 Tahun 2021, wilayah di Bali yang wajib melaksanakan PPKM hanya Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Namun dengan berbagai alasan, Gubernur Bali Wayan Koster melakukan perluasan PPKM di Pulau Dewata.
Opsi pemerintah memperpanjang PPKM kembali menuai pro dan kontra masyarakat. Terlebih bagi Bali yang saat ini tertatih-tatih memulihkan perekonomian dan kepariwisataan.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Bali, Komang Takuaki Banuartha mengaku heran dengan keputusan pemerintah.
Meski demikian, ia tetap berharap, perpanjangan PPKM ini benar-benar dapat menekan angka penularan Covid-19 di Pulau Seribu Pura.
“Dilema untuk menjelaskan ini ya. Kalau dari sisi pelaku pariwisata, tentunya semua ingin situasi segera pulih kembali pastinya. Secara kita sudah mendekati setahun zero income, jadi tidak memiliki pendapatan sama sekali. Bahkan mau berbuat apapun sudah sulit untuk kita pikirkan,” ungkapnya kepada Kabar Dewata di Denpasar, Rabu (27/1/2021).
Komang Banu mengungkapkan, pandemi Covid-19 memberikan dampak luar biasa terhadap pelaku pariwisata di Bali. Ia mencatat, hampir 50% anggota ASITA Bali gulung tikar selama pagebluk corona.
Jadi ketika PPKM diperpanjang, nafas pelaku pariwisata yang sudah di ujung bibir, dipastikan semakin tersengal-sengal.
“Sudah berdarah-darah ya sebenarnya. Kita lihat secara global, pada saat mereka beroperasi, jalan usahanya, tentunya ada pinjaman yang mereka pinjam. Karena perputaran uang yang mereka rasakan normal, jadi mereka berani meminjam uang di bank. Sekarang kondisi tiba-tiba terpuruk seperti ini, hutang mereka kan tidak bisa di nol-kan. Walaupun mendapatkan keringanan, tetapi tetap harus dibayar. Untuk menjual asset mereka pun siapa yang membeli, kondisi seperti ini semuanya susah,” katanya
“Banyak yang sudah gulung tikar. Makanya kalau bicara masalah 400 pelaku travel agent yang ada di bawah ASITA Bali. Mungkin sekarang sudah berkisar 250an anggota, itupun tidak semua aktif, hanya aktif sebagai pelaku pariwisata. Mungkin kantornya sudah ditutup, mungkin sudah pulang ke kampung masing-masing. Jadi sebenarnya sudah berdarah-darah dan sudah sekarat,” pungkasnya
Ia berharap, pemerintah pusat kedepannya tak sekadar menerbitkan kebijakan. Karena diperlukan langkah konkrit yang dapat membantu para pegiat pariwisata dalam menghadapi kondisi saat ini.
Berkaca dari dana hibah pariwisata bagi pelaku sektor perhotelan dan restoran, Komang Banu meminta pemerintah mempertimbangkan kebijakan sama untuk pegiat kepariwisataan lainnya. Apalagi seluruh pelaku sektor plesiran juga membayar pajak layaknya hotel dan restoran yang telah menerima dana hibah.
“Keinginan kita dari pemerintah, kita diberikanlah dana hibah untuk memulai dari awal lagi usaha kita. Dengan begitu kita berjuang kembali untuk pariwisata Bali,” ucapnya.
Ia mengakui, Pemerintah Provinsi Bali telah mewacanakan pemberian soft loan (pinjaman lunak) bagi travel agent. Walaupun bersifat pinjaman, akan tetapi pihaknya menyambut baik inisiatif yang digulirkan Pemerintah Provinsi Bali.
“Ya kita hargailah. Kita juga berusaha memberikan pengertian kepada teman-teman pelaku pariwisata. Ya daripada tidak ada sama sekali. Kita diberikan peluanglah untuk bisa meminjam dengan skema pinjaman lunak. Sekarang tergantung masing-masing pelaku pariwisata,” pungkasnya.
Tuangkan Komentar Anda