HIPMI Bali Pertanyakan Konsistensi PMK 32/2021  

HIPMI Bali Pertanyakan Konsistensi PMK 32/2021   

Denpasar-Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD HIPMI) Bali mempertanyakan konsistensi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2021.

PMK 32/2021 mengatur tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi Melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Ketua Umum BPD HIPMI Bali, Agus Pande Widura mengaku, pelaku usaha Pulau Dewata belum merasakan dampak positif dari regulasi tersebut. 

"Ketika PMK 32/2021 itu sudah dikeluarkan oleh kementerian, dimana isi PMK itu membantu bagi perusahaan-perusahaan yang memang performanya masih belum bagus, tapi masih hidup, contohnya pariwisata," ungkapnya kepada Kabar Dewata di Denpasar, Rabu (14/7/2021). 

"Di dalam PMK itu sebenarnya dijamin oleh pemerintah selama tiga tahun. Artinya ketika di perbankan memberikan kredit kepada end user itu dijamin oleh pemerintah, melalui LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) sebagai penjamin dan PT. Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero) selaku pelaksana dukungan loss limit termasuk pelaksanaan penjaminan bersama," imbuhnya. 

Namun kenyataannya, PMK 32/2021 tidak bisa mengeksekusi proses kredit yang diajukan pengusaha. 

Salah satu batu sandungan adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 48 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.

"POJK ini ada mengatakan tentang tiga pilar (ketepatan dalam membayar, prospek usaha debitur, dan kondisi keuangan debitur). Tetapi yang terjadi saat ini, bank dan OJK saling tuding-tudingan. Apalagi pasca pertemuan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Nusa Dua, 9 April 2021, OJK pusat bilang sudah tidak ada pilar-pilar lagi, dan mereka siap untuk mengeluarkan (kredit)," ucapnya.

PMK 32/2021 juga tak bisa dieksekusi, lantaran ketimpangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ia tidak memungkiri, ekonomi secara nasional sudah membaik. Hanya saja, perekonomian Bali yang bertumpu dari pariwisata masih terperosok.

"Di luar ada 13 sampai 14 perusahaan di luar Bali yang sudah menggunakan PMK 32/2021 yang juga bergerak di bidang pariwisata. Ini artinya perbankan kan tebang pilih. Ketika sekarang di luar Bali masih melihat prospek pariwisata di daerah tersebut, mereka berani mengucurkan dana melalui PMK 32/2021 itu dengan penjaminan dari LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) sebagai penjamin dan PT. Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero) selaku pelaksana dukungan loss limit termasuk pelaksanaan penjaminan bersama," katanya. 

"Tetapi ketika berbicara Bali, mereka (perbankan) tidak satu pun ada yang berani ambil keputusan dan berkorban. Karena melihat secara bisnis memang betul, lebih baik membantu orang yang masih ada masa depannya, daripada Bali yang tidak jelas masa depannya," sambungnya. 

Saking geramnya, mantan Ketua DPD REI Bali ini membandingkan PMK 32/2021 dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 19 dan 20 Tahun 2021.

Inmendagri Nomor 19 tahun 2021 memuat revisi sebagian diktum ketiga dari Inmendagri nomor 15 Tahun 2021 terkait pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat.

Sementara Inmendagri 20 Tahun 2021 merupakan perubahan Inmendagri 17 Tahun 2021 tentang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro, yang berlaku di luar Pulau Jawa dan Bali.

Menurutnya kedua Inmendagri itu lebih 'ditakuti', dibandingkan PMK 32/2021 yang terkesan tak lebih dari 'macan kertas'.

"PPKM di Inmendagri kan bukan Undang-Undang. Karena sebenarnya Undang-Undang itu kan karantina wilayah. Tapi bisa memberikan sanksi kepada pemerintah daerah ketika tidak mengikuti," tukasnya. 

"Namun PMK 32/2021 yang juga bukan Undang-Undang, tidak bisa memberikan sanksi kepada perbankan. PMK 32/2021 kalau tidak dijalankan, tidak memiliki konsekuensi hukum," lanjutnya

Ia merasa kondisi ini sangat tidak adil bagi Bali. Belum lagi, sikap diskriminatif pemerintah pusat dalam penentuan pintu masuk bagi pelaku perjalanan luar negeri (PPLN). 

Kebijakan ini kata APW yang menjadi biang kerok belum dibukanya terminal internasional di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai.

"Mau PPKM kek, mau PSBB kek, tidak masalah, yang penting airport dibuka. Supaya tidak pemerintah daerah yang nanti disalahkan karena seolah-olah menghalangi. Ini tidak adil. Lantas kenapa pusat boleh menjadi pintu PPLN dan lokasi karantina, sedangkan Bali tidak?. Ada apa dengan Bali? Itu uangnya Rp250 miliar lo per bulan," ucapnya.

Agus Pande Widura tak ingin, berbagai kebijakan pemerintah pusat terkesan 'menidurkan' Bali. 

"Takutnya saya seperti itu. Kenapa? Karena alasannya tidak ketemu. Saya juga tanya dengan petinggi-petinggi di pusat juga tidak memberikan alasan jelas. Saya jadi berpikir, apakah memang Bali ingin ditidurkan," tegasnya. 

Jika Bali sengaja 'ditidurkan', APW khawatir akan menimbulkan kerusakan permanen untuk kepariwisataan. 

"Seharusnya Bali kan dibuka saja. Ketika tidak dilakukan, kita kan berpikir, kapan Bali akan di recovery? Karena setiap kita mau buka, ada PPKM. Tidak adilnya lagi, PPKM darurat ini seolah-olah menjadi permainan kata-kata dari pemerintah untuk lepas tangan dari karantina wilayah. Kita paham pemerintah tidak punya uang, tetapi kita di Bali jangan dibunuh juga dong," ucapnya.

APW lebih lanjut mengatakan, tidak masuknya Bali sebagai pintu PPLN dan lokasi karantina juga menjadi keputusan yang sangat konyol.

Karena jika dikomparasi dengan DKI Jakarta, Medan, Surabaya, dan Manado, Bali memiliki sarana prasarana yang memadai.

Bahkan ditilik dari fasilitas perhotelan, Pulau Seribu Pura mempunyai standar sangat tinggi, khususnya ketika berbicara keamanan dan kesehatan selama proses karantina. 

"Untuk tempat karantina, Bali sepertinya lebih mendukung daripada Jakarta, dan Surabaya, mengingat tempat di Bali tidak bergedung seperti di kota-kota besar di Indonesia," katanya. 

Menyoal PPKM darurat Jawa Bali, APW juga mengkritisi sikap tegas aparat. 

Belum lagi muncul soal ancaman pencopotan terhadap kepala daerah yang dianggap gagal menangani penyebaran Covid-19. 

PPKM darurat Jawa Bali rasa 'lockdown' kata Agus Pande Widura sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Namun yang terjadi, pemerintah pusat dengan mudah menjatuhkan sanksi, tanpa memberikan solusi. Batas waktu operasionalisasi usaha, dituding bentuk pembunuhan paksa terhadap pengusaha. 

"Masyarakat harus bertahan hidup di tengah pandemi ini. Tetapi pemerintah seakan ingin membunuh warganya, dengan aturan batas waktu operasional. Perlu diingat, PPKM darurat ini bukan Undang-Undang," tegasnya.

APW mengingatkan kembali, jika PPKM darurat ini tidak dipayungi Undang-Undang.Itu artinya, tidak ada dasar untuk pengenaan sanksi dari pelaksanaan PPKM darurat Jawa Bali.

"Seenaknya pemerintah mengubah kondisi yang sudah seperti lockdown atau karantina wilayah ini menjadi PPKM. Kalau PPKM kan tidak ada Undang-Undangnya. Tapi kok sudah bisa memberikan sanksi, bukan saja ke masyarakat, tetapi sampai ke pemerintah daerah," ucapnya.

"Seharusnya pemerintah pusat yang kena sanksi, karena mengubah karantina wilayah menjadi PPKM, karena sangat merugikan masyarakat dari sektor ekonomi," pungkasnya.

Okantara
Author : Okantara

Sudah melang melintang di dunia media dari lulus kuliah. IB Okantara adalah salah satu founder dari Kabardewata.

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait