Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD HIPMI) Bali mendukung saran agar pelaku usaha di Pulau Dewata tidak obral aset.
Hal itu merespon imbauan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno supaya pengusaha hotel di Bali tak obral aset di marketplace.
Ketua BPD HIPMI Bali, Agus Pande Widura alias APW menilai, imbauan tersebut sangat relevan.
"Karena memang ada kekhawatiran dari HIPMI, jangan sampai pengusaha-pengusaha di Bali menjadi penonton di negeri sendiri, ketika pandemi ini berakhir," katanya kepada Kabar Dewata di Sekretariat BPD HIPMI Bali, Senin (30/8/2021).
Meski mendukung imbauan tersebut, akan tetapi APW mengaku pengusaha di Bali saat ini harus melewati sejumlah rintangan.
Karena pandemi Covid-19 yang menghentikan roda perekonomian dan kepariwisataan, membuat pengusaha di Bali 'mati angin'.
Oleh karena itu, ia meminta adanya kerjasama konkrit, komprehensif, dan berkesinambungan antara Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Himpunan Bank Negara (Himbara) serta Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
"Untuk sama-sama bisa membuat suatu keputusan dalam hal menyelamatkan Bali. Karena memang selama ini yang kita lihat adalah masih belum bisa terlaksananya beberapa aturan-aturan yang dikeluarkan," tegasnya.
Mantan Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia (DPD REI) Bali itu membeberkan, dua rintangan terbesar pengusaha Pulau Seribu Pura.
Rintangan pertama adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32/2021.
PMK itu mengatur tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Adapun poin memberatkan adalah pengusaha yang berpeluang mendapat tambahan pinjaman harus beromzet minimal Rp50 miliar.
Ia berharap, angka itu diturunkan menjadi Rp20 miliar.
Sedangkan rintangan kedua yaitu keberadaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 48/2020.
POJK itu mengatur tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
"Permohonan dari kami terkait POJK Nomor 48/2020 mungkin bisa dibuat per daerah, khusus Bali, atau jika itu tidak bisa, bisa dibuat per bidang. Jadi ini menjadi suatu kendala. Karena perbankan juga masih tarik ulur dalam memberikan biaya untuk pemeliharaan daripada pengusaha-pengusaha di Bali, dikarenakan POJK ini diperpanjang tiap tahun," ungkapnya.
"Hal ini membuat perbankan resah. Apakah nanti POJK akan dicabut atau bagaimana? Kalau boleh saya ambil contoh, di negara-negara lain itu dibagi per bidang. Katakan pariwisata sudah nyata untuk POJK 48/2020 itu diberikan restrukturisasi sampai dengan empat tahun, contohnya seperti itu. Mungkin bidang usaha lainnya ada yang tiga tahun, dua tahun, satu tahun. Jadi semuanya jelas dari segi aturan. Kalau seperti sekarang, semuanya menunggu apa yang akan terjadi kedepannya," sambungnya.
APW mendesak, pemerintah ataupun lembaga terkait gerak cepat menyikapi kondisi tersebut.
Terlebih bagi sektor pariwisata yang diprediksi sulit bangkit dalam satu atau dua tahun kedepan.
"Tentunya POJK 48/2020 menjadi salah satu acuan perbankan dalam membantu pengusaha-pengusaha di Bali untuk bertahan di masa pandemi ini," ucapnya.
Kepada Himbara, APW meminta kerjasama yang tak sebatas restrukturisasi.
Sinergitas itu harus diperluas hingga cakupan penambahan modal.
Selain untuk mempertahankan lini usaha, tambahan modal itu guna mengakselerasi diversifikasi bisnis.
"Saya melihat diantara OJK, BI, Menteri Keuangan, dan badan penjamin, tentunya menjadi satu kesatuan, agar bisa membantu Bali," tuturnya.
APW lebih lanjut berharap, adanya stimulus bagi pengusaha di Bali.
Tujuannya untuk mencegah obral aset akibat menipisnya cashflow perusahaan.
Ia tak memungkiri, kondisi keuangan perusahaan saat ini memaksa pengusaha merogoh kocek pribadi untuk mempertahankan usaha mereka.
"Ketika tidak ada aksi nyata dari pemerintah, permintaan untuk tidak obral aset akan sangat sulit terwujud. Apalagi fenomena yang terjadi di Bali saat ini, katakan pengusaha punya hotel A, itu menjadi suatu trademark buat mereka. Mereka akan mati-matian untuk mempertahankan itu, dengan menjual aset-aset lain, sebagai aset penunjang," bebernya.
"Contoh, katakan ada hotel, dia tidak mau jual hotelnya karena itu adalah trademark keluarga atau hotel keluarga. Akhirnya dia harus menjual tanah-tanah lain ataupun tabungan-tabungan mereka yang tidak liquid, itu dijual untuk mempertahankan hotel tersebut, tapi sampai kan, kan itu pertanyaannya," pungkasnya.
Tuangkan Komentar Anda