Bali Villa Association (BVA) mendorong pemerintah menerbitkan regulasi yang spesifik mengatur usaha villa. Regulasi itu bisa dituangkan kedalam peraturan daerah (perda) atau peraturan gubernur (pergub).
Ketua BVA, Gede Ricky Sukarta kepada wartawan mengemukakan, sejauh ini baru Kota Denpasar, dan Kabupaten Badung yang memiliki legal formal tentang villa. Sedangkan Pemerintah Provinsi Bali belum mengatur standarisasi usaha villa di Pulau Dewata. Padahal dilihat dari urgensi, peraturan tentang standarisasi tersebut sangat diperlukan.
Gubernur Bali, Wayan Koster dikatakan telah merespon keinginan BVA untuk merumuskan Pergub tentang standarisasi villa. BVA pun digandeng dalam menggodok elemen yang akan dimasukkan kedalam peraturan tersebut.
Beberapa elemen yang diusulkan diantaranya soal standarisasi pelayanan, keamanan, dan klasifikasi villa. Peraturan Gubernur itu nantinya diharapkan dapat meminimalisasi keberadaan villa bodong alias tak berizin.
"Tentu dengan terbitnya Pergub nanti, Pergub itu kan suatu kebijakan pemerintah. Namun eksekusinya, jangan Pergub diatas kertas saja. Nah harapan kami, bagi teman-teman atau pengelola-pengelola villa yang belum masuk harus diwajibkan. Bukan maksud kami biar besar BVA, banyak anggota, tidak. Untuk pengelola-pengelola villa itu yang tidak profesional bisa bersinergi, bekerjasama dengan asosiasi," katanya kepada wartawan usai technical meeting 'BVA Anniversary Cup 2019' di Seminyak, Kamis (18/4/2019).
"Ketika mereka yang tidak pernah keluar, tidak ikut di asosiasi organisasi, seperti katak dalam tempurung. Karena mereka pikir mengelola villa itu seperti mengelola rumah tangga. Ini kan ada standar operasional prosedurnya, ada peningkatan kualitas sumber daya manusianya, ada juga permasalahan perizinan, banyak sekali. Itu nanti manaatnya bagi kita sebagai anggota BVA," imbuhnya.
Penasehat BVA, Made Mangku Suteja pada kesempatan yang sama mengakui, pertumbuhan akomodasi wisata salah satunya villa menghadapi tantangan yang tidak ringan. Tantangan itu diantaranya persaingan terbuka diantara usaha skala mikro dan makro, baik berstatus legal maupun ilegal.
"Itu kan beberapa faktor yang menyebabkan kompetisi di lapangan menjadi tidak sehat. Dimana rumah-rumah penduduk yang tidak memiliki izin, tidak membayar pajak ikut juga bertarung didalam pasar terbuka ini. Sehingga pangsa pasar villa maupun hotel itu tergerus oleh mereka. Nah inilah penyebab salah satu kenapa misalnya rekan-rekan kita hotel bintang empat dan lima tingkat okupansinya diantara 55% sampai 60%," ungkapnya.
"Kemudian di level villa, ada juga yang 80% dilevel tertentu ya, mungkin diharga tertentu ya. Tetapi begitu diharga yang bermain di pasar klas menengah keatas, okupansi mereka memang agak sedikit struggling, bisa di 70% itu sudah bagus," lanjutnya.
Menyikapi kompleksitas permasalahan yang terjadi, Mangku Suteja menyebut seluruh pengelola villa perlu menghimpun diri kedalam BVA. Alasannya akan mempermudah dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan.
Selain itu, melalui organisasi/asosiasi pengelola villa dapat mengeliminir persaingan tidak sehat yang terjadi disektor pariwisata Bali. Khusus Pergub standarisasi villa, BVA dikatakan telah menyampaikan sejumlah masukan kepada pemegang otoritas.
"Ada dua krteria mutlak dan tidak mutlak. Kemudian ada unsurnya tiga disana, unsur produk, unsur pelayanan, dan unsur pengelolaan. Dan satu bangunan rumah atau villa yang dikategorikan villa ini boleh dikatakan villa kalau misalkan itu dioperasikan secara profesional, dan dikomersialkan, sewanya harian. Jadi misalnya tidak demikian, dia tidak boleh menyebut dirinya sebagai villa," tegasnya.
"Nah dalam Pergub ataupun Peraturan Bupati ini kan diatur, hanya persoalannya kan lagi-lagi terkait dengan penegakan aturan. Teman-teman kita kan harus konsisten di lapangan untuk menegakkan aturan. Yang punya peran disitu tetap adalah pemerintah. Kami di asosiasi ini kan sebagai mitra yang membantu dalam penerapan aturan itu," pungkasnya.
Tuangkan Komentar Anda