Perang Pandan, Perang Tanpa Dendam dan Kebencian

Perang Pandan, Perang Tanpa Dendam dan Kebencian

Perang tak selamanya berkaitan dengan permusuhan, perselisihan dan perpecahan. Sebuah tradisi di Desa  Tenganan, Bali, yakni Tradisi Perang Pandan justru digelar sebagai bentuk perhormatan warga desa terhadap Dewa Indra atau yang disebut juga Dewa Perang.<o :p></o>

Di desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali, setiap tahunnya pada tanggal 8-9 Juni diadakan sebuah ritual perang yang disebut Perang Pandan atau “Mekare-kare”. Perang Pandan ialah ritual adu ketangkasan antara dua pemuda Tenganan yang masing-masing pesertanya membawa senjata berupa seikat daun pandan duri dan sebuah perisai.<o :p></o>

Perang Pandan ini sudah menjadi objek wisata budaya yang populer di Bali, bahkan sudah banyak wisatawan asing yang datang ke Tenganan. Waktu pelaksanaan biasanya dimulai pukul 2 siang, dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan). Para peserta Perang Pandan menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng).<o :p></o>

Sebelum dimulai, warga Tenganan melakukan ritual “Melelawang” atau berkeliling desa untuk memohon keselamatan. Setelah itu diadakan ritual minum tuak untuk para peserta, tuak kemudian dikumpulkan menjadi satu dan dibuang ke samping panggung.<o :p></o>

Tak ada aturan baku dalam Perang Pandan , masing-masing pesertanya membawa senjata berupa seikat daun pandan duri di tangan kanan dan sebuah perisai yang terbuat dari anyaman rotan di tangan kiri. Kedua peserta perang saling menyerang, mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan, kemudian saling memukul punggung lawan dengan daun pandan yang berduri.<o :p></o>

Pertarungan tersebut diiringi musik gamelan selonding, gamelan yang hanya boleh dimainkan oleh orang-orang yang telah disucikan. Pertarungan berlangsung singkat, rata-rata hanya satu menit untuk setiap pertarungan. Warga bertarung secara bergiliran selama acara yang berlangsung sekitar 3 jam tersebut.<o :p></o>

Setelah perang selesai, peserta yang terluka akan diolesi dengan ramuan tradisional yang berbahan dasar kunyit. Tak ada menang kalah dalam pertarungan ini, tidak ada pula dendam di antara para peserta Perang Pandan. Karena mereka melakukan tradisi ini sebagai persembahan kepada Dewa Indra. Usai perang, peserta melakukan persembahyangan di pura setempat dan dilanjutkan dengan makan bersama atau megibung.<o :p></o>

Kepercayaan yang dianut warga desa Tenganan berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Warga desa Tenganan mempunyai aturan tertulis atau awig-awig yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka,juga tidak mengenal kasta dan diyakini Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan. Sementara Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi.<o :p></o>

Konon menurut cerita, pada zaman dahulu kawasan Tenganan dan sekitarnya diperintah oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang lalim dan kejam, ia bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan, mendengar itu para dewa di surga pun murka, lalu para dewa mengutus Dewa Indra untuk menyadarkan atau membinasakan Maya Denawa, dengan cara mengangkat Dewa Indra sebagai panglima perang atau pemimpim pertempuran. Melalui pertempuran sengit dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit, akhir nya Maya Denawa dapat kalahkan.<o :p></o>

Sumber : soloraya.com

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait