Pertemuan IMF dan Ekonomi Digital

Pertemuan IMF dan Ekonomi Digital

Kurang dari sepekan lagi Indonesia akan menyelenggarakan perhelatan ekonomi dan keuangan terbesar di dunia, yaitu Annual Meeting IMF–World Bank Group 2018 (AM IMF-WBG) atau Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia 2018. Ajang akbar ini akan dihadiri para gubernur bank sentral, pemangku kebijakan, bankir, pengusaha, dan peserta lainnya dari 189 negara di seluruh dunia. Oleh karena itu, acara ini merupakan momentum yang sangat baik bagi Indonesia untuk bisa berkolaborasi dengan dunia.

Negara harus mampu mengoptimalkan peran Indonesia sebagai tuan rumah agar bisa mengutamakan berbagai kepentingan negara. Dilihat dari urgensi dan potensi negara saat ini, pemerintah bisa memprioritaskan dua hal untuk dibahas di pertemuan tersebut, yaitu pemulihan ekonomi pascabencana dan mitigasinya, serta potensi ekonomi digital.

Pemulihan Ekonomi Pascabencana

Sepanjang tahun ini Indonesia sudah ditimpa dua bencana besar, yaitu gempa bumi di Lombok pada Agustus dan yang baru–baru ini terjadi, yaitu gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala. Kedua bencana tersebut menelan ribuan korban jiwa dan kerugian materi mencapai triliunan rupiah. Belum lagi, aktivitas perekonomian di daerah–daerah tersebut juga relatif terhenti sementara waktu.

Terdapat dua persoalan utama yang harus pemerintah tanggulangi terkait kedua bencana alam tersebut, yaitu pemulihan ekonomi pascabencana dan mitigasi bencana alam. Mengingat bencana itu menimbulkan kerusakan dan kerugian yang masif tentu pemulihan ekonominya membutuhkan biaya yang sangat besar.

Akan berat bagi Indonesia untuk menanggung sendiri pemulihan tersebut, apalagi di tengah defisit APBN yang sudah mencapai lebih dari Rp150 triliun per Agustus 2018 (detikfinance, 11 September 2018). Oleh karena itu, diperlukan partisipasi dari negara lain, khususnya dalam bentuk hibah, untuk meringankan dan mempercepat pemulihan tersebut.

Saat ini, 10 negara di dunia sudah menyatakan akan memberikan bantuan untuk korban gempa dan tsunami di Palu (Kompas.com, 1 Oktober 2018). Kesepuluh negara tersebut ialah Australia, Amerika Serikat, Maroko, Korea Selatan, Uni Eropa, Tiongkok, Turki, Filipina, dan Swiss. Dengan adanya AM IMF-WBG yang dihadiri ratusan negara di dunia, pemerintah, melalui agenda–agenda pertemuan khusus, bisa mengajak dan mengundang partisipasi aktif dari negara–negara lainnya untuk bisa berperan dalam membantu percepatan pemulihan ekonomi di Lombok, Palu, dan sekitarnya yang terdampak bencana.

Kemudian, banyaknya korban jiwa diakibatkan oleh tidak berfungsinya sistem peringatan dini tsunami yang tidak berfungsi sejak 2012 (Liputan6.com, 1 Oktober 2018). Hal itu disebabkan hilang/rusaknya alat-alat pendeteksi tsunami (buoy) akibat ulah tangan–tangan jahil yang tidak bertanggung jawab serta mahalnya biaya mahalnya biaya perawatan alat tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah melalui AM IMF-WBG harus mampu berkolaborasi dengan negara–negara lain dalam mitigasi bencana alam baik dari sisi teknologi, anggaran, sosial, maupun budaya khususnya negara–negara yang berpengalaman dalam hal tersebut seperti Jepang.

Potensi Ekonomi Digital

Saat ini ekonomi digital sudah mampu menjadi salah satu penopang perekonomian di Indonesia. Lihat saja, betapa tingginya penyerapan tenaga kerja yang dihasilkan platform–platform digital seperti Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, dan penyedia lainnya.

Tingginya potensi ekonomi digital juga mampu menarik investasi yang signifikan ke dalam negeri. Sepanjang 2017 investasi dari luar negeri untuk start-up dan perusahaan digital di Indonesia mencapai lebih dari Rp64 triliun. Angka tersebut sudah melebihi investasi di sektor minyak dan gas.

Capaian itu melonjak lebih dari 68 kali lipat dalam lima tahun terakhir. Tidak mengherankan jika dari delapan unicorn start-up (start-up dengan valuasi di atas US$1 miliar) di Asia Tenggara setengahnya merupakan dari Indonesia, yaitu Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka.

Meskipun kontribusi ekonomi digital cukup tinggi bagi perekonomian Indonesia, bukan berarti potensinya sudah tercapai dengan optimal. Dengan jumlah penetrasi penggunaan smartphone dan internet yang tinggi dan kelas menengah yang signifikan, masih banyak ruang bagi ekonomi digital untuk tumbuh di Indonesia. Salah satu yang berpotensi tinggi adalah start-up dalam bidang keuangan atau yang dikenal dengan fintech.

Dengan fleksibilitasnya dan inovasi dalam layanan jasa keuangan digital, mereka mampu mengisi kebutuhan dan kekosongan pasar yang tidak bisa dipenuhi lembaga keuangan konvensional.

Oleh karena itu, melalui kesempatan emas ini, pemerintah perlu mengatur agenda–agenda pertemuan di AM IMF-WBG yang mampu mengoptimalkan potensi ekonomi digital di Indonesia baik melalui investasi maupun bentuk kerja sama lainnya.


Ditayangkan sebelumnya dari situs http://mediaindonesia.com
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait