Memerangi Kampanye Hoaks

Memerangi Kampanye Hoaks

DI era 1874, seorang kartunis Thomas Nast membelah dua simpatisan go­long­an dalam kancah per­po­li­ti­kan di Amerika Serikat (AS). Me­lalui sebuah ilustrasi gam­bar di harian Harpers Weekly, Nast mengidentikkan kaum Demokrat dengan seruan “ke­le­dai”  dan kaum Republik de­ngan seruan “gajah”. (Renee Lettow Larner, Thomas Nastís Cru­sading Legal Car­toons:2011). 

Tak tanggung-tang­gung, pembelahan itu pun te­rus menjadi sebuah simbol yang awet sampai dengan era perpolitikan milenial di AS. Polarisasi dua kubu dalam adu jago pemilihan presiden (pil­pres) kemudian berimbas pada besarnya arus banalitas kam­pa­nye. Satu dekade lalu, Barack Obama diserang dengan isu ra­sialisme disertai tuduhan se­ba­gai teroris turunan Arab (Chris­toper S Parker, A Black Man in The White House :2009).

Serupa tapi tak sama, po­la­risasi dua kubu pada kontestasi Pil­pres 2019 kian familier de­ngan wadah kampanye yang ber­sifat hoaks. Bahkan, de­ngan era digitalisasi, penye­bar­an kampanye hoaks kian me­mi­liki daya magnitude  dan ber­ke­lindan dalam realitas sosial.

Potret Kasus RS 

Seperti contoh kasus Ratna Sarumpaet (RS). Operasi plas­tik kemudian berevolusi men­jadi kabar penganiayaan, ke­mu­dian mencitrakan bahwa pe­merintah gagal dalam mem­be­ri­kan perlindungan bagi se­tiap warga negara. Berdasarkan hukum positif yang berlaku, RS melanggar UU ITE, KUHP, dan UU Nomor 1/1946 tentang Pe­ra­turan Hu­kum Pidana.

Na­mun, yang me­narik untuk di­cermati, kasus ini kian menjadi “bola salju” da­lam konteks pe­ne­gakan hu­kum pemilu. Badan Pengawas Pe­milu (Bawaslu) di­tuntut cer­mat untuk menilai apa­kah ter­da­pat pelanggaran kampanye bagi kubu Prabowo Subianto-San­diaga Uno dalam menyi­ka­pi ke­bohongan RS? Kemudian ba­gai­mana eksis­ten­si regulasi kam­panye seba­gai alat re­ka­ya­sa sosial (tools of social engi­ne­ering ) dalam me­res­pons kasus ini?

Potret Regulasi  

Jika hendak memotret re­gu­lasi kampanye pada UU No­mor 7 Tahun 2017, pengaturan ten­tang larangan kampanye di­atur pada Pasal 280. Dalam ke­tentuan a quo  diatur  bahwa pe­lak­sana, peserta, dan tim kam­pa­nye dilarang “memper­soal­kan dasar negara, mem­ba­ha­ya­kan keutuhan NKRI, materi yang mengandung SARA, adu domba, mengganggu ketertiban umum, menjanjikan pemberian uang, merusak alat peraga kampanye, sampai dengan penggunaan fasi­litas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

”Intensi pengaturan ini semata-mata se­bagai komponen untuk me­ner­tibkan dan mengatur pe­nye­lenggaraan kampanye. Jika melihat konstruksi pasal se­ca­ra tekstual, memang tidak ada pengaturan yang secara spe­sifik dalam UU Pemilu yang  me­la­rang penyebaran hoaks. Tetapi, jika Pasal 280 UU Pe­milu hendak ditelaah secara kon­tekstual, penyebaran hoaks dapat dikualifikasikan sebagai bentuk adu domba dan upaya mengganggu ketertiban umum. 

Pertanyaan yang ke­mu­dian muncul ialah bagai­ma­na kriteria normatif untuk men­jatuhkan sanksi admi­nis­tratif bagi peserta pemilu yang menyebarkan berita bohong? Adakah potensi diskualifikasi bagi pasangan calon yang me­nye­barkan berita bohong?

Mencermati konstruksi nor­­matif, UU Pemilu hanya me­nge­nal dua jenis pelang­gar­an administratif yang secara kris­tal dapat dikenakan sanksi be­ru­pa pembatalan atau dis­kua­lifikasi. Jenis pelanggaran ter­sebut ialah jika pasangan calon menjanjikan uang  dan jika pe­ser­ta pemilu tidak melaporkan da­na kampanye.  

Harapan un­tuk mem­berikan kriteria nor­ma­tif lebih lanjut terkait la­rang­an kam­panye hoaks, ke­mu­dian bertumpu pada Pera­tur­an Ko­mi­si Pemilihan Umum (PKPU) sebagai pe­ra­tur­an pelaksana (further re­gu­la­tion).  Misalnya, memberikan kriteria normatif atas bentuk kampanye hoaks, sanksi admi­nis­tratif atas kam­pa­nye hoaks, sam­pai dengan tang­gung ja­wab peserta pemilu un­tuk me­lu­ruskan berita hoaks. 

Sayang­nya, dalam PKPU Nomor 23 Ta­hun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum, cenderung membutuhkan inter­pretasi yang lebar. Sebab, PKPU aquo   tidak mengatur se­ca­ra detail tentang upaya pence­gahan dan penanganan atas penyebaran berita bohong bagi peserta pe­milu.  

Ambiguitas Konsep  

Lahirnya problem norma di atas tidak lepas dari ketiadaan padanan konsep yang sama da­lam menyikapi kampanye hoaks. Sebenarnya apa yang hen­dak menjadi kriteria se­buah kampanye dapat dikua­li­fika­si­kan sebagai hoaks. Per­ta­ma, apa­kah dalam konteks kam­pa­nye yang dilakukan se­cara nirdata dapat dikualifikasikan sebagai berita bohong?

Ke­cenderungan kampanye bisa saja bersifat asumtif tanpa didu­kung dengan basis data dan veri­fi­kasi yang kuat. Misal­nya, de­ngan menya­ta­kan ang­ka peng­angguran dan kemis­kinan se­ma­kin menurun, te­ta­pi tidak diser­tai dengan ba­sis da­ta yang kuat. Kedua, kam­pa­nye yang ber­sifat prediktif. Per­nyataan Indo­nesia bubar pada 2030 me­ru­pakan narasi yang sangat pre­diktif. Artinya, bisa terjadi dan juga bisa tidak. 

Per­tanyaan ke­mu­dian muncul apa­­kah dalam konteks kam­pa­nye demikian juga dikua­li­fi­ka­si­kan sebagai be­rita bohong? Ke­tiga, kam­panye yang bersifat janji. Misal­nya, dengan me­nya­ta­kan bah­wa kiprah Pertamina akan menga­lahkan pencapaian Pe­tro­nas. Jika itu belum dite­pati, apakah juga bisa dikuali­fi­ka­si­kan sebagai berita bohong? Se­kali lagi, penyelenggara pe­mi­lu akan berhadapan dengan ambi­guitas konsep terhadap kam­pa­nye hoaks.

Kampanye Damai 

Melihat sejumlah aral ter­se­but, besar kemungkinan Ba­was­lu tidak akan mengambil lang­kah yang bersifat spe­kulatif, termasuk pemberian sanksi diskualifikasi terhadap pasangan calon atas penye­bar­an kampanye hoaks. Kini, pe­nye­lenggara pemilu diha­dap­kan dengan sebuah tantangan untuk memerangi penyebaran kampanye hoaks. Langkah ter­dekat dapat dilakukan dengan  upaya menetapkan peraturan bersama antara penyelenggara pemilu.

Upaya ini bisa menjadi alternatif solusi jangka pendek untuk memberikan kese­pa­ham­an guna mencegah dan me­ngatasi penyebaran kam­pa­nye hoaks, termasuk di dalam­nya kriteria konsep dan norma yang hendak digunakan. Lebih dari itu, peserta pemilu diha­rap­kan memberikan kam­pa­nye yang bermutu kepada masyarakat sebagai pemilih.

Elite politik dituntut mam­pu memberikan kese­juk­an de­ngan seruan per­satuan  kepada masyarakat di tengah per­be­daan pandangan politik, termasuk tanggung jawab un­tuk mencegah dan meluruskan kampanye yang bersifat agitasi dan hoaks. Kampanye dila­ku­kan berdasarkan visi misi serta basis data yang akurat sehingga dapat memberikan pendidikan politik bagi pemilih.

Hal ini me­rupakan ikhtiar dan komitmen bersama untuk mewujudkan kampanye damai. Mene­gak­kan kualitas dan ketertiban kam­panye menjadi sebuah rangkaian dalam menyuk­ses­kan pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat.


Ditayangkan sebelumnya dari situs https://nasional.sindonews.com
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait