Memahami Bali Melalui Pecalang

Memahami Bali Melalui Pecalang

KETIKA mendengar nama ‘Bali’, yang pertama muncul dalam benak kita adalah tujuan pariwisata dengan tawaran menggiurkan; masyarakat yang ramah, serta budaya unik yang menjadi ciri khasnya. Hal ini tampak pada kita sebagai suatu yang niscaya, sesuatu yang ‘sudah dari sononya’. Bali sering kita anggap sebagai daerah yang ‘netral’, bebas dari pengaruh global dan kuat bertahan dengan tradisinya. Pandangan ini mendudukan Bali sebagai semacam suaka yang harus dijaga dan dijauhkan dari perubahan-perubahan yang disebabkan berbagai krisis, entah tingkatan nasional maupun global. Di sinilah pra-anggapan tentang Bali ini menjadi semacam disiplin, yang ditaati oleh segenap manusia Bali dan menjadi tolak ukur perkembangan Bali yang normal.

Manusia Bali bergerak dan berproduksi dalam kerangka-kerangka aturan yang ditetapkan, dan karenanya menjadi wajar produk-produk yang dihasilkan dianggap sesuatu yang khas dan hanya berlangsung di Bali. Semuanya dilakukan demi menunjang sektor pariwisata, sektor dominan yang menjadi sumber perekonomian utama di Bali. Padahal perkembangan Bali saat ini jauh dari gambaran ideal. Bali sesungguhnya mengalami berbagai perubahan yang terentang dari zaman kolonial ketika penundukan atas negara-negara klasik berlangsung, periode revolusi, transisi berdarah yang menyertai kudeta Untung dan kontra-kudera Soeharto, periode Orde Baru, hingga tumbangnya pada 1998. Semuanya turut serta mewarnai berbagai gejolak yang berlangsung di Bali, sebagai salah satu wilayah strategis dari Republik ini.

Dalam merespon berbagai perubahan yang berlangsung, tradisi dianggap sebagai pilihan yang pas untuk menjawab kondisi Bali hari ini. Berbagai seminar diselenggarakan, berbagai penelitian dilakukan, dan berbagai kebijakan diterapkan.[i] Semuanya untuk mengatasi kondisi Bali yang semakin sesak karena pembangunan besar-besaran. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah kemunculan satuan pengamanan adat yang bernama pecalang. Pecalang menjadi bagian image yang luar biasa dari PDI Perjuangan, atau citra rasa aman penyelenggara kegiatan-kegiatan industri hiburan di Bali (Suryawan, 2005; 23).

Pecalang menjadi menarik dikaji karena kehadirannya yang serta merta seolah-olah normal. Padahal, di balik peran pecalang, terdapat kisah panjang tentang pergulatan kuasa di Bali. Tulisan ini berusaha menelisik  kasus pecalang, dan menunjukan bagaimana pecalang menjadi lokus kontestasi dari pertarungan kepentingan masyarakat adat di satu sisi, serta negara dan modal di sisi lain. Pecalang merupakan representasi adat sekaligus penjaga keamanan desa. Dengan posisi strategis tersebut, jadi penting untuk mengkaji kehadirannya hari ini.

Genealogi Kekuasaan di Bali: Dualisme Pemerintahan Desa Adat versus Desa Dinas

Bali yang kita kenal saat ini adalah Bali yang terus berproses sejak abad ke 11. Clifford Geertz (2000) pernah melakukan penelitian tentang Negara di Bali pada periode transisi dari pemerintahan kolonial ke Republik. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa Bali adalah suatu ‘negara teater.’ Penyelenggaraan pemerintahan terkait erat dengan seremoni-seremoni yang menjadi fokus dari penyelenggaranya. Negara hadir untuk upacara, bukan sebaliknya. Hal ini membawa implikasi yang menarik dan menandai suatu usaha untuk tidak melihat Bali sebagai suatu objek yang eksotis dan eksklusif dari politik, suatu gambaran yang selama ini menjadi wacana dominan tentang Bali.

. Menurut Henk Schult Nordolt (2009), Geertz terlalu memusatkan perhatiannya kepada raja-raja sebagai ikon dari negara. Nordholt menunjukan bahwa para raja dan bangsawan ini juga merupakan aktor yang aktif dalam memusatkan dan mengakumulasikan kekuasannya. Konsep negara kontestasi yang ditawarkannya menunjukan betapa dinamisnya  politik pada masa-masa itu.

Dalam periode kolonial, perkembangan politik di Bali memasuki masa yang dramatis. Kekuasan raja dan para bangsawan ditundukan dalam suatu birokrasi kolonial yang mengatur dan mengubah dinamika politik di Bali.[ii] Setelah seluruh pemerintah negara di Bali ditundukan, Belanda menerapkan apa yang dikenal sebagai kebijakan Baliseneering. Ancaman nasionalisme yang berkembang di Jawa dan pemberontakan kaum komunis yang berkobar pada dekade-dekade awal abad ke 20 membuat pemerintah kolonial menjadikan Bali sebagai benteng penahan arus perkembangan pergerakan di koloni Hindia Belanda ini.

Kemudian mulailah suatu episode rekonstruksi ulang dari kejayaan peradaban Bali. Hal ini dilakukan melalui upaya-upaya penegakan khazanah budaya Bali secara tiba-tiba. Raja-raja yang dulunya dibuang, didatangkan kembali. Jika sang raja sudah meninggal dalam masa pembuangannya, keturunannyalah yang dipanggil. Wilayah-wilayah yang dulunya dikuasai para raja dan bangsawan dikembalikan dengan syarat tunduk dan patuh pada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bali mulai dipromosikan sebagai wilayah eksotis, dengan penduduknya yang ramah, guna menjadikan Bali sebagai objek pariwisata.

Dalam derajat tertentu, sistem yang diterapkan pemerintah kolonial mengubah struktur politik yang telah lebih dahulu ada. Dengan menerapkan sistem desa dinas, yang  paralel posisinya dengan desa adat, pemerintah kolonial berusaha menghimpun tenaga dalam kerangka negara kolonial untuk memberlakukan kerja rodi. Di satu sisi, desa adat tunduk pada raja, namun di sisi lain, para budak berkewajiban menyumbangkan tenaga untuk proyek-proyek pemerintah kolonial.

Sejalan dengan perkembangannya, usaha ini ternyata tidak mampu meredam arus revolusi yang berkembang pasca Perang Dunia II. Bergolaknya revolusi nasional dan revolusi sosial membangkitkan semangat perjuangan rakyat Bali, lantas mendorong partisipasi mereka dalam pendirian Republik ini. Pada 1948, Presiden Negara Indonesia Timur Tjokorde Gde Sukawati menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno. Secara formal yuridis, wilayah Nusa Kecil dan Indonesia Timur, kecuali Papua yang bergabung belakangan, bersatu dengan Republik Indonesia.

Periode kepemimpinan Soekarno berakhir dengan suatu tragedi. Diawali subuh 1 Oktober 1965, intrik politik di Jakarta yang melibatkan PKI, Soekarno sendiri, dan Angkatan Darat sebagai lakon utama, melahirkan suatu periode berdarah dalam sejarah Republik. Kematian tujuh orang petinggi militer angkatan darat, ditutup dengan pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI.

Tirai Orde Baru, sebutan yang digunakan Soeharto dalam periode pemerintahannya, dibuka dengan darah korban pembantaian. Bali pun tak lepas dari operasi komando pemulihan keamanan dan ketertiban ini. Sejak itu pula kuku kuasa Soeharto mencengkram Bali. Masa pembangunan Soeharto ditandai dengan semangat pembangunan guna meningkatkan perekonomian dalam negeri. Di Bali, suatu usaha serius pengembangan pariwisata kembali dilakukan melalui serangkaian promosi dan kebijakan oleh pemerintah Orde Baru. Melalui tangan-tangan kuasanya, Bali kembali dirangkai sebagai objek pariwisata yang eksotis. Desa dinas menjadi ujung tombak pembangunan, dan melakukan fungsi birokrasi dari rezim. Bali menggeliat kembali melalui budaya pariwisata yang dikembangkan Orde Baru.

Memasuki dekade 90-an, ketika pembangunan Soeharto telah memasuki dekade yang ketiga, krisis menerpa Asia Tenggara, dan secara drastis menghantarkan Soeharto ke penghujung tampuk kekuasaannya.

Setelah Soeharto tumbang, eksperimentasi demokrasi diterapkan sebagai jawaban atas tantangan transisi politik yang berlangsung. Secara bertahap Pemilu langsung diterapkan, diikuti dengan desentralisasi yang mengubah dinamika politik dalam negeri. Di Bali, PDI Perjuangan yang dikenal sebagai partai oposisi, meraih kemenangan mutlak hingga pemilu-pemilu berikutnya. Kongres PDI Perjuangan yang dilaksanakan di Bali menjadi momen yang menaikkan pamor pecalang karena berhasil menjaga keamanan dan ketertiban kongres. Sosok pria kekar berkacamata hitam yang menggunakan kamen, kain khas Bali, dengan saput poleng, keris di pinggang dan handy-talkie ditangan, muncul di tengah momen ini.

 

Pecalang dalam Pusaran Kuasa

Setelah diatur dalam Peraturan Daerah no. 3 tahun 2001 tentang Desa Pekraman (desa adat), disebutkan bahwa pacalang atau langlang atau dengan sebutan lainnya adalah satuan tugas (satgas) keamanan tradisional masyarakat Bali yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah, baik di tingkat banjar pakraman dan atau di wilayah desa. Di beberapa daerah, pecalang mulai merambah masuk dan menerima orderan untuk mengamankan aset-aset vital yang mendukung industri pariwisata di Bali.

Degung Santikarma (2003) mencatat beberapa versi asal usul pecalang. Beberapa mengatakan bahwa pendahulu pecalang adalah ‘gugus tugas’ dari penjaga keamanan untuk konferensi 1998 partai Megawati (PDIP) di Bali. Lainnya mengatakan bahwa pecalang muncul pada awalnya akhir tahun 1970-an ketika Pesta Kesenian Bali, perhelatan kebudayaan tahunan yang diselenggarakan secara besar-besaran, mulai menggunakan penjaga keamanan berpakaian adat untuk mengarahkan lalu lintas dan menjaga parkir. Yang lain percaya bahwa pecalang adalah inkarnasi modern dari penjaga istana. Adapun mereka yang masih bisa mengingat kekerasan tahun 1965 yakin bahwa kemunculan pecalang adalah kebangkitan gang yang bertanggung jawab melakukan eksekusi orang-orang komunis atau tertuduh komunis.

Terlepas dari perdebatan tentang latar belakang dan asal-usul pecalang, satu hal yang pasti, kehadiran pecalang menegaskan eksistensi desa pekraman. Masyarakat adat merangsek masuk dalam wilayah-wilayah yang dulunya merupakan wilayah eksklusif Negara. Sulit misalnya, membayangkan pada masa Orde Baru Soeharto terdapat kelompok yang berfungsi menjaga keamanan yang terpisah dari koordinasi Negara.

Dari hasil pengamatan terbatas yang saya lakukan, di Kota Denpasar saja terdapat 1.450 pecalang yang melingkupi 36 desa pekraman. Bandingkan dengan jumlah riil total anggota Polisi Kota Besar Denpasar (1.801 personil). Dengan potensi yang mereka miliki, pecalang perlahan-perlahan masuk ke ranah-ranah yang sebelumnya diatur negara. Fungsi keamanan yang dulu dimonopoli kepolisian, mulai bergeser ke arah koordinasi antara polisi dan pecalang. Di satu sisi, hal ini menunjukan perkembangan positif terkait meningkatnya keamanan di Bali. Namun, hal ini membuat ladang keamanan menjadi wilayah yang rawan, perebutan lahan penghidupan antara polisi dan pecalang.

Hal inilah yang mengkhawatirkan Wayan P. Windia (2004), seorang ahli hukum adat di Bali. Bagi Windia, ketiadaan aturan yang mampu memberikan kejelasan sejauh mana fungsi dan wewenang pecalang telah mendorong setiap desa memberdayakan satuan pengamanannya dalam kerangka aturan yang mengikat di masing-masing desa (awig-awig desa pekraman), sebagaimana yang terjadi hari ini. Itulah mengapa bagi Windia, mutlak dibutuhkan peraturan yang mengatur sepak terjang pecalang. Lebih lanjut, hal tersebut dapat diinisiasi dengan mengembangkan organisasi pecalang sedesa pekraman di Bali, sehingga seluruh pecalang di Bali dapat diatur guna meningkatkan koordinasi dan menghindari carut marut dalam pelaksanaan tugasnya.  Windia menandaskan bahwa semua langkah ini perlu diambil agar mencegah pecalang tunduk kepada pemodal. Indikasi ini ia temukan, misalnya, dalam melihat sepak terjang pecalang ketika menjaga keamanan artis yang datang ke Bali. Ia pun menambahkan bahwa terdapat kasus seorang warga yang dikucilkan dan ditindak oleh desa pekramannya, melalui pecalang, karena tidak memilih calon pasangan tertentu dalam Pemilukada. Terulangnya kejadian ironis inilah yang ingin dihindarkan dalam melihat posisi pecalang kedepannya.

Padahal di dalam wacana tentang pecalang tersembunyi wacana kekerasan yang jauh dari imajinasi publik tentang Bali. Sejarah kekerasan Bali tersimpan rapi dengan selubung wacana pariwisata yang selama ini menjadi sumber ekonomi utama. Pecalang adalah wajah bagi kekerasan yang hadir dalam masyarakat Bali. Pada beberapa kasus kriminal misalnya, kehadiran pecalang memungkinkan masyarakat mengambil tindakan main hakim sendiri.[iii]Pengeroyokan, perkelahian antar desa, atau tindakan-tindakan kriminal lainnya berlindung dalam kedok ‘kasus adat’ sehingga negara mesti menyerahkannya pada pecalang yang memiliki yurisdiksi atas kasus-kasus tersebut.

Tugas Pecalang sebagai penjaga rasa aman masyarakat Bali saat melakukan ritual, memberikan kesan bahwa pecalang adalah unik dan tradisional. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa adat dan sejarah pecalang memang telah ada dari dulu, atau memang diada-adakan untuk menguatkan latar sejarah kemunculan pecalang. Seperti yang ditegaskan Santikarma (2003), untuk memberikan gambaran awal tentang pecalang:

‘Lepas dari ketiadaan konsensus mengenai sejarah pecalang, semua orang yang saya ajak bicara sepakat dengan gagasan  yang sering muncul di media massa atau keluar dari mulut pejabat bahwa pecalang adalah sesuatu yang tradisional. Walaupun mereka sadar bahwa tidak pernah ada yang disebut pecalang di desa mereka sebelumnya, mereka mampu meyakinkan seolah-olah pecalang bagian dari warisan kuno yang baru saja digali. Dengan memakai wacana tradisional Bali, pecalang mampu menghapuskan dengan sukses ke-modern-an mereka. Dengan memakai predikat penjaga tradisi, sekaligus mereka menjadi penjaga tradisional.’

(Santikarma, 2003)

Sosok pecalang ini menjadi baru sekaligus klasik. Dengan mendasarkan dirinya pada akar tradisi masyarakat Bali, pecalang hadir sejalan dengan usaha membangkitkan kembali pariwisata di Bali. Satgas Pecalang muncul dimana-mana, lebih-lebih setelah diatur dalam peraturan daerah yang memberikan dasar hukum bagi pembentukannya. Perlahan tapi pasti, pecalang mulai ambil bagian dalam kehidupan di Bali.

 

Pecalang: Penanda Kosong?[iv]

Dalam pecalang melekat fungsi kekuasaan melalui adat sebagai simbol yang memberikan legitimasi atas tindak koersif yang selama ini dimonopoli negara. Memeriksa, menjaga ketertiban, dan memberikan sanksi tidak lagi semata-mata tugas negara. Dalam ruang-ruang sosial, pecalang hadir menandai kembalinya desa adat yang selama ini nyaris tenggelam oleh kebijakan pembangunan Orde Baru. Pecalang adalah jawaban masyarakat dalam arena pertarungan kekuasaan yang dilakukan masyarakat untuk merebut sumber-sumber dari negara, akibat dari wacana pembangunan yang dulunya meminggirkan mereka dan hanya memakmurkan segelintir elit saja.

Dalam kesehariannya, praktik pecalang dapat mengambil beragam bentuk. Sebagai penjaga lalu lintas saat upacara adat, misalnya, Pecalang bertugas memastikan agar wisatawan yang sembarangan—berpakaian atau berperilaku buruk—tidak diperbolehkan untuk memasuki pura, dan menjaga sabung ayam yang diselenggarakan sebagai bagian dari upacara. Mereka juga bertindak sebagai penjaga pada hari raya Nyepi. Mereka berpatroli di jalan untuk memastikan bahwa setiap orang—Hindu atau bukan—mematikan lampu dan tidak keluar ke jalanan.

Dalam perbincangan ringan dengan seorang teman, seorang pecalang mengatakan bahwa saat itu ia baru pulang dari razia kartu identitas. Ia dan rekan-rekannya menggerebek rumah atau kost-kostan yang dihuni oleh kaum pendatang, meminta penduduk untuk menunjukan kartu identitas, atau kartu identitas penduduk musiman (KIPEM). Apabila tidak bisa menunjukan salah satu identitas diri, maka yang bersangkutan akan digelandang ke bale banjar, untuk dicatat dan kemudian diberi sangsi. Sangsi yang diberikan bermacam-macam, mulai dari denda sejumlah uang, hingga membersihkan areal bale banjar. Dalam wilayah lain seperti Sanur, ada indikasi banyak anggota pecalang bertindak sebagai penjaga untuk tempat pelacuran di Semawang.

Interaksi langsung saya dengan pecalang di desa asal saya bermula ketika seorang laki-laki tegap datang mengetuk pintu rumah. Status keluarga saya yang baru pindah saat itu telah menjadikan saya warga pendatang, sehingga saya wajib membayar iuran sebesar Rp. 30.000,- setiap bulannya. Dengan iuran ini, kata laki-laki tersebut, saya bisa langsung mengurus surat pindah, kepindahan kartu keluarga, dan kartu identitas dengan alamat baru. Keluarga saya diterima menjadi klian banjar dan warga desa setempat, dengan kewajiban yang mengikat sebagai warga banjar dan desa, ditambah kewajiban membayar iuran.

Sementara kehadiran pecalang di Bali paralel dengan musim semu kelompok-kelompok milisi di daerah-daerah lain di Indonesia, kasus Bali menyajikan beberapa perbedaan penting. Alih-alih mendapat citra buruk dalam pers nasional dan internasional, sebagaimana kelompok ‘keamanan’ militan lainnya, terutama mereka yang mempergunakan agama untuk melegitimasi diri mereka sendiri, pecalang justru menuai pujian. Pecalang seringkali mendapat kepercayaan untuk terlibat dalam konferensi Internasional yang diselenggarakan di Bali.

Ketika Bali menjadi tuan rumah KTT ASEAN dan East Asian Summit pada November 2011, pecalang pun turut hadir mengamankan. Secara signifikan momen ini menandai kebangkitan Bali setelah menjadi target sasaran serangan bom pada tahun 2002 dan 2005 silam. Tanpa mengesampingkan peran serta seluruh elemen yang terlibat di dalam penyelenggaraan perhelatan internasional ini, kali ini kehadiran masyarakat desa adat dapat dipastikan melalui manifestasinya dalam pecalang.


Ditayangkan sebelumnya dari situs indoprogress
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait