Banten, Peluang Terbuang Orang Bali

Banten, Peluang Terbuang Orang Bali

Bali identik dengan banten, memang. Tak ada ritual keagamaan orang Hindu Bali yang tidak menggunakan banten. Ketaqwaan orang Bali, sehari-hari, diungkapkan dengan sesaji bernama banten. Banten itu bahasa religius orang Bali.

Mungkin itu sebabnya, dalam berbagai teks-teks tradisional, Bali juga dikenal dengan sebutan Gumi Banten. Konon, kata bali sama maknanya dengan banten. Karena itu, bantenbukan sekadar ciri, tapi juga jiwa Bali.

Banten senyatanya persembahan yang diambil dari seisi alam. Ada yang diambil dari tumbuh-tumbuhan, ada juga yang berasal dari beragam jenis satwa. Para penekun agama menafsirkan bantensebagai cerminan keikhlasan dan rasa terima kasih orang Bali ke hadapan Sang Pencipta. Ketika Yang Kuasa telah menganugerahkan limpahan karunia kepada umat manusia, saatnya manusia juga membalasnya dengan persembahan. Apa yang didapat dari alam, itu pula yang dipersembahkan kembali kepada Tuhan dalam wujud banten.

Begitu kuat dan pentingnya kehadiranbanten dalam kehidupan masyarakat Bali menyebabkan kebutuhan masyarakat Bali untuk keperluan sesaji itu begitu tinggi. Pada tahun 2002, majalah gumi Bali, Saradmencatat nilai ekonomi banten di Bali dalam setahun mencapai sedikitnya Rp 2,8 trilyun. 

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menyatakan pengeluaran untuk upacara adat di Bali termasuk kedua setelah konsumsi untuk perumahan. Berdasarkan survei BPS di 120 desa, persentase pengeluaran upacara adat di perkotaan naik dari 9,95 persen pada Maret 2011 menjadi 12,11 persen pada September 2014. Sementara di pedesaan rata-rata 12 persen pada bulan yang sama.

Itu mungkin sebabnya, sejak lama menggelinding wacana di kalangan para cerdik-cendekia Bali untuk menyederhanakan upacara keagamaan masyarakat Bali. Namun, tidak mudah mendorong penyederhanaan upacara keagamaan dalam masyarakat Bali. Selain karena kuatnya keyakinan tentang keikhlasan dalam berupacara, orang Bali juga percaya upacara sebagai pendorong perekonomian masyarakat Bali.

Idealnya memang seperti itu. Banten atau upacara keagamaan di Bali pada umumnya sesungguhnya bisa menjadi peluang ekonomi bagi masyarakat Bali. Bahkan, banten bisa menjadikan Bali mandiri secara ekonomi. Pasalnya, biaya yang dikeluarkan untuk bantenpada akhirnya kembali dinikmati masyarakat Bali, seperti tukang banten, petani, serta peternak.

Kenyataannya, peluang ekonomi nyata itu diabaikan orang Bali sendiri. Berbagai saranabanten tak lagi berasal dari tanah Bali. Separuh lebih bahan-bahan banten itu didatangkan dari luar Bali, seperti Jawa, Sulawesi dan Lombok. Sebabnya, tak banyak lagi tegalan dan sawah yang ditanami tanaman banten. Orang Bali yang mau melakoni kehidupan bertani, mengolah tanah untuk ditanami berbagai tanaman kebutuhan banten, makin menyusut.

Dulu, manakala kehidupan masyarakat Bali sepenuhnya agraris, banten menjadi cerminan utuh keikhlasan manusia Bali. Segala isi banten diambil dari kebun atau sawah sendiri pun dikerjakan dari cucuran peluh sendiri. Hanya sebagian kecil yang dibeli, terutama bahan-bahan yang tidak tersedia di kebun dan sawah.

Namun kini, manakala sektor pariwisata berkembang pesat, makin jarang terdengarbanten yang diambil dari hasil kebun dan sawah. Sudah umum bagi orang Bali kini, bantendibeli dari pasar atau tukang-tukang banten. Mereka yang berupacara tinggal mengeluarkan uang yang cukup, banten apa pun sudah bisa didapat. Bahkan, bagaimanabanten itu ditata di tempat upacara, sepenuhnya ditangani tukang banten. Sang pemilik hajatan hanya duduk manis, tinggal mencakupkan tangan memanjatkan doa.

Bali tak semata tergantung pasokan listrik dari Jawa, tapi kini upacara orang Bali juga tidak bisa mengabaikan Jawa dan Lombok. Kerap terjadi, harga-harga berbagai kebutuhan upacara orang Bali melonjak tajam saat orang Bali menyambut hari rayanya. Sebabnya bukan saja permintaan yang tinggi dari kalangan orang Bali sendiri, namun tak jarang karena pasokan dari Jawa terganggu karena banjir atau para pemasok atau distributor dari Jawa dan Lombok tidak bekerja karena saat yang sama juga merayakan hari suci keagamaannya.

Karena itu, mereka yang merindukan kemandirian ekonomi Bali tiada lelah mengingatkan agar Bali kembali pada kesahajaan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan upacara masyarakat Bali sendiri. Namun, masyarakat Bali telanjur memandang rendah pilihan hidup bercocok tanam. Tak semata karena citra kemiskinan yang begitu lekat, kenyataannya kehidupan bertani di Bali memang tidak bisa dijadikan andalan. Itu sebabnya, anak-anak Bali tak lagi punya mimpi menjadi petani.

Inilah ironi ekonomi Bali. Di satu sisi perekonomian masyarakat Bali didorong oleh konsumsi untuk kebutuhan upacara, di sisi lain petani yang sejatinya menjadi sumber pemenuhan kebutuhan bahan-bahan upacara, terpuruk nasibnya.

Karena itu, perlu kesungguhan hati untuk menata kembali perekonomian Bali agar cita-cita kemandirian itu bisa terwujud. Banten memendam potensi ekonomi luar biasa bagi masyarakat Bali. Pasalnya, sektor ini tidak pernah lekang oleh zaman. Selama bantenmasih menjadi kebutuhan primer masyarakat Bali, selama itu pula potensi ekonomi bantentetap hidup.

Bahkan, banten tidak pernah terpengaruh “iklim”. Jangankan dalam situasi ekonomi bagus, manakala situasi ekonomi sedang sulit, bahkan saat terjadi musibah pun, banten di Bali tetap dibutuhkan. Bandingkan dengan sektor pariwisata yang kerap diagung-agungkan, sedikit saja terjadi gejolak politik atau pun isu kesehatan dan lingkungan berembus, sektor ini oleng, limbung. Bali pun sudah merasakan hal itu manakala terjadi ledakan bom tahun 2002 dan 2005 silam.

Pada titik ini, peran pemerintah, terutama pemerintah Bali amat dibutuhkan. Sebagai pemegang kebijakan, pemerintah memiliki kekuatan mempengaruhi gerak kegiatan ekonomi di Bali agar lebih berpihak pada cita-cita kemandirian ekonomi masyarakat Bali. Caranya, tentu saja bukan semata dengan slogan atau program pemanis bibir gerakan kembali ke pertanian, tetapi kebijakan utuh menyeluruh, dari hulu hingga hilir yang merefleksikan kesungguhan menuju kemandirian ekonomi Bali dengan memanfaatkan potensi besar banten. (b.)


Ditayangkan sebelumnya dari situs balisaja
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait