10 Fakta Tentang Bali Yang Jarang Terungkap

10 Fakta Tentang Bali Yang Jarang Terungkap

Bali memang sudah sangat terkenal, bahkan sampai ke mancanegara. Panoramanya yang indah, budayanya yang menggugah dan karakter penduduknya yang ramah adalah gambaran umum yang mewakili Bali. Di balik popularitasnya, mungkin ada banyak hal tentang Bali yang jarang terungkap, sehingga jarang diketahui oleh publik, termasuk oleh masyarakat Bali itu sendiri. Dan itu wajar. Berikut adalah 10 fakta tentang Bali yang jarang terungkap:

Gambaran Umum Tentang Bali

Bali membentang dari ujung Barat hingga ujung Timur sepanjang kurang-lebih 153 kilometer dan dari Utara ke Selatan sepanjang kurang-lebih 112 km. Menurut data dari BPS Bali per 2012, pulau yang memiliki luas wilayah 5,780.06 kilometer persegi ini dihuni oleh 4.22 juta jiwa, dengan kepadatan rata-rata 730 jiwa per satu kilometer persegi.

Dari total 4.22 juta penduduk, 89% suku Bali, 7% suku Jawa, 1% disebut Bali Aga, dan 1% suku Madura. Dan ada sekitar 30 ribu orang warga negara asing (WNA) yang menetap di Bali hingga akhir 2012. Dalam hal agama/kepercayaan yang dianut, 92.29% penduduk Bali adalah penganut Hindu, 5.69% Muslim, 1.38% Katolik dan Kristen, serta 0.64% penganut Budha.

Ada 3 macam bahasa yang digunakan di Bali. Penggunaan Bahasa Bali lebih banyak mendominasi di wilayah-wilayah pedesaan dan pinggiran. Di perkotaan (seperti Denpasar) dan daerah wisata (seperti Kuta, Seminyak, dan Nusa Dua) penduduknya lebih banyak menggunakan Bahasa Indonessia. Bahasa asing yang banyak digunakan, terutama di kawasan wisata, adalah Bahasa Inggris, disusul dengan Jepang, Perancis, Spanyol dan Italia.

Mata pencaharian penduduk Bali saat ini mayoritas berhubungan dengan sektor pariwisata, dagang, pertanian/perkebunan, pengerajin, pekerja seni dan pegawai pemerintah. Bali juga dikenal sebagai pulau dimana penduduknya sangat kuat memegang adat/tradisi, seni dan budaya.

 

1. Sejak Kapan Bali Dihuni?

Bali diperkirakan telah dihuni sejak tahun 2000 Sebelum Masehi oleh golongan atau ras Austronesia, orang-orang yang bermigrasi dari daratan India dan Cina. Sebuah prasasti batu yang menunjukan tahun itu ditemukan di Desa Cekik, Jembrana (Bali Barat).

Dari budaya dan bahasa yang digunakan pada saat itu, para ahli purbakala dan antropolog berkesimpulan bahwa orang Bali memiliki kedekatan dengan orang-orang yang menghuni wilayah lainnya di Asia Tenggara dan Asia Timur Jauh seperti: orang Indonesia lainnya, orang Malaysia, Singapura dan Filipina. (Ref: Taylor (2003), hal. 12 dan Lonely Planet, 1999)

 

2. Sejak Kapan Nama Bali Digunakan?

Nama “Bali Dwipa” (=Pulau Bali) disebutkan di beberapa prasasti dan plakat, salahsatunya prasasti Blanjong yang ditulis oleh Sri Kesari Warmadewa tahun 914 dan menyebutkan kata “Walidwipa” yang artinya “Pulau Bali”.

Disebutkan juga bahwa pada masa inilah sistim pengairan tradisional “Subak” mulai diterapkan di Bali. Saat ini subak telah diakui sebagai salahsatu “Warisan Budaya” dunia (world’s heritage) oleh UNESCO, badan PBB yang membidangi pendidikan dan kebudayaan. (Ref: “Cultural Landscape of Bali Province”, UNESCO, 2012)

 

3. Kapan Orang Barat Datang ke Bali Untuk Pertamakalinya?

Kedatangan orang barat (asing) ke Bali untuk pertamakalinya diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Dewa Agung tahun 1585 saat mana sebuah kapal laut berbendera Portugis mendarat di Bukit.

Pada tahun 1597 seorang penjelajah Belanda bernamaCornelis de Houtman tiba di Bali, yang kemudian berlanjut menjadi penjajahan Hindia Belanda dengan VOC-nya (1602) di seluruh wilayah Nusantara.

Kendali politik dan ekonomi Belanda terhadap Bali dimulai sejak 1840, masuk mulai dari wilayah Utara (sekarang Buleleng) menuju ke daerah Selatan dimana perang saudara antara kerajaan-kerajaan di Bali Selatan sedang berkecamuk. (Ref: “Bali Chronicles”, Willard A. Hanna, 2004; Vickers, 1995)

 

4. Sejak Kapan Bali Menjadi Destinasi Wisata Internasional?

Meskipun kunjungan orang asing ke Bali sudah terjadi sejak 1585, pariwisata belum terjadi pada saat itu. Kedatangan mereka semata-mata untuk berdagang yang berlanjut menjadi kolonialisme atau penjajahan—mulai dari jaman portugis dilanjutkan dengan Belanda dan Jepang.

Hingga antropolog Margaret Mead-Gregory Bateson, 2 orang seniman Miguel Covarrubias-Walter Spies, dan seorang musikus Colin McPhee mempublikasikan karya-karyanya yang menggambarkan tentang Bali sebagai “pesona estetika dari tanah yang berdamai dengan dirinya sendiri dan alam” di tahun 1930-an.

Publikasi merekalah yang pertamakali membuat wisatawan internasional tergugah dan penasaran ingin melihat Pulau Bali.

Sejak saat itu Bali dikunjungi oleh wisatawan internasional. Sejak saat itu Bali menggeliat menjadi destinasi wisata yang selalu dibanjiri turis setiap tahunnya. (Ref: “Indonesian destinies”, Theodore Friend, Harvard University Press, 2003)

 

5. Tragedi Terbesar di Bali

Sebelum moncer seperti saat ini, Bali pernah melewati masa-masa suramnya, saat mana ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal dan terbunuh oleh peristiwa tragis yang dicatat oleh sejarah.

Tragedi pertama terjadi di tahun 1963 ketika gunung tertinggi di Bali, yakni Gunung Agung, memuntahkan lahar panas dan lahar diingin yang abunya menyebar dari ujung Timur hingga Barat pulau.

Disamping kehilangan rumah, mereka juga kehilangan lahan garapan. Kondisi itu membuat ribuan penduduk Karangasem terpaksa mengungsi ke kabupaten-kabupaten lain, bahkan hingga ke luar Pulau.

Di masa pemerintahan Orde Baru, penduduk Bali yang kehilangan tempat tinggal dan lahan ditransmigrasikan ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Sejak saat itu orang Bali yang aslinya bukan tipe perantau banyak yang mulai hidup di luar Bali, utamanya di daerah-daerah transmigrasi.

Hanya 2 tahun berselang, di 1965 pemberontakan G30S/PKI yang meletus di Jakarta merembet dan menimbulkan bencana kemanusiaan hingga ke Bali.

Perseteruan dua masa pertai politik paling berpengaruh di Indonesia, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), pada saat itu, berubah menjadi gesekan horizontal yang berujung pada pebantaian massal di pihak PKI di seluruh Indonesia.

Dari total 500,000 jiwa korban yang diperkirakan, ada setidaknya 80,000 jiwa korban jatuh di Bali. Sebuah bencana kemanusiaan yang sampai saat ini masih meninggalkan tarumatis mendalam di kalangan masyarakat Bali. Jumlah 80,000 jiwa korban pembantaian massal di Bali setara dengan 5% total penduduk Bali pada saat itu. (Ref: Ricklefs, p. 289)

 

6. Fauna Bali Bukan Hanya Jalak Bali

Setidaknya sampai awal abad ke-20, fauna yang hidup di pulau Bali bukan hanya “Jalak Bali”, melainkan bermacam-macam, termasuk mamalia besar seperti Banteng, Macan Tutul dan Macan Kumbang.

Sampai saat ini Banteng Bali masih ada, namun bukan jenis liar, melainkan jenis banteng jinak yang dijadikan hewan peliharaan oleh masyarakat Bali yang sebagiannya masih bertani.

Macan Kumbang dan Macan Tutul kini telah punah. Menurut “IUCN Red List of Threatened Species” sisa macan terakhir tertembak di tahun 1937. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa spesies jenis lainnya masih ada hingga tahun 1940-1950-an. (Ref: “Red List of Threatened Species”, IUCN, IUCN, 2010)

 

7. Bali Selatan Akan Alami Kelangkaan Air

Karena semaraknya aktivitas pariwisata, dimana penyedotan air bawah tanah dilakukan secara massif oleh hotel-hotel yang terkonsentrasi di wilah selatan Pulau Bali, dua buah laporan masing-masing “Desperately Seeking Survival” oleh Majalah Time (2002) dan “Govt to build water catchment at Petanu River” oleh The Jakarta Post (2011) menyebutkan bahwa sebanyak 200 (dari total 400) sungai telah mengalami kekeringan di daerah Bali Selatan.

Laporan itu menyebutkan bahwa Bali Selatan akan mengalami kekurangan air bersih hingga 2500 liter per detik di tahun 2015. Untuk mengantisipasi keadaan itu, pemerintah pusat akan membangun “penampung air” dan “fasilitas pemrosesan” di Tukad (Sungai) Petanu, Gianyar. Rencananya, debit air berkapasitas 300 liter per detik akan dikanalkan ke Denpasar, Badung dan Gianyar di tahun 2013. (Ref: “Govt to build water catchment at Petanu River”, The Jakarta Post, 17 September 2011; “Desperately Seeking Survival”, Time Magazine 25 November 2002)

 

8. Bali dalam Cemooh dan Pujian

Pasca peristiwa meledaknya bom di tahun 2002, banyak negara yang mengeluarkan surat peringatan bagi warga negaranya untuk berhati-hati bila berwisata atau berkunjung ke Bali (travel warning). Bahkan AS sempat mengeluarkan “travel ban” yang samasekali melarang warganya berkunjung ke Bali.

AS baru membuka peringatannya di tahun 2008. Di susul oleh Australia yang menurunkan derajat peringatannya dari “tinggi” menjadi “sedang”.

Peringatan terbaru adalah rilis laporan pemerintah Australia Barat, pertengahan Maret 2013, yang sekaligus mengingatkan warganya untuk berhati-hati terhadap risiko terinfeksi penyakit menular saat berkunjung. Namun Jumat (6/4/2013), Menlu Australia Bob Carr sendiri sudah menyaksikan sendiri bagaimana keadaan Bali yang sesungguhnya dan berjanji akan meyakinkan warganya bahwa Bali aman.

Hal yang paling mencoreng pariwisata Bali belakangan ini adalah dipublikasikannya 4 video oleh warga Belanda (konon wartawan) pada awal April 2013, yang membongkar kebobrokan oknum polisi lalulintas dan petugas bea cukai penerima suap; kecurangan oleh pegawai money changer; dan penipuan oleh seorang guide penjual paket tour.

Meski ada sisi buruk yang harus diakui, Bali juga memiliki sisi baik yang banyak memperoleh pujian dan penghargaan bergengsi dari berbagai pihak. Beberapa diantaranya adalah:

  • Penghargaan “Best Island” dari Travel and Leisure di tahun 2010 – Penghargaan ini diperoleh karena Bali dianggap memiliki obyek wisata yang sangat lengkap (pantai, gunung, desa, museum, kesenian, budaya, dan kesadaran masyarakatnya untuk bersikap ramah terhadap wisatawan).
  • Penghargaan “World’s Best Islands” dari BBC di tahun 2011 – Bali dinilai sebagai Pulau terbaik di dunia, peringkat ke-2 setelah Yunani.
  • Berbagai macam predikat terbaik/terindah/favorit yang disematkan oleh portal-portal travel internasional.

Kunjungan ke Bali di tahun 2012 mencapai 2.88 juta wisatawan asing (melampaui target yang semula 2.8 juta) dan 5 juta wisatawan domestik. Diperkirakan Bali akan menerima sekitar 3.1 juta wisatawan asing untuk 2013 ini. (Ref: Berbagai Sumber)

 

9. Kaja-dan-Kelod Tidak Sama Dengan Selatan-dan-Utara

Bahasa yang paling banyak digunakan di Bali adalah bahasa daerah Bali. Namun di wilayah perkotaan dan kawasan wisata yang lebih banyak digunakan dalah Bahasa Indonesia. Terkadang menggunakan campuran bahasa ‘Bali-Indonesia’ atau ‘bahasa Indonesia berdialek Bali.’

Penduduk yang banyak beraktivitas di kawasan wisata, banyak pula yang bisa berbahasa asing dengan sangat baik.

Mereka yang baru tinggal di Bali beberapa bulan, kata dalam bahasa Bali paling penting yang harus dikuasai adalah kata-kata penunjuk arah, yakni “Utara, Selatan, Barat dan Timur.” Mengapa?

Karena ketika bertanya mengenai lokasi atau tempat tertentu, penduduk Bali (pada umumnya) memberikan petunjuk arah mata angin, yakni “Utara, Selatan, Barat dan Timur” sebagai patokan, tidak menggunakan kata “sebelah kanan, kiri, depan atau belakang”.

Ketika ditanya “Dimana lokasi Restoran ABC?” misalnya, penduduk Bali akan menjawab “Di sebelah Utaranya Hotel X” atau “Jalan Buni Sari sebelah Selatan”, tidak akan menjawab dengan “Di sebelah kanannya Hotel X” atau “Jalan Buni Sari sebelah kanan.”

Kata penunjuk arah yang sering membingungkan orang luar Bali adalah “Utara” dan “Selatan”—terutama ketika bertemu dengan orang dari wilayah Utara (Kabupaten Buleleng) dan orang dari wilayah Selatan pulau Bali (Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, Tabanan).

Yang banyak diketahui oleh publik (termasuk orang luar Bali) kata “Selatan” bahasa Balinya adalah “Kaja” dan kata “Utara” bahasa Balinya “Kelod.” Pehaman ini salah. Yang benar, “Kaja” artinya “Hulu” (atau Kepala) dan “Kelod” adalah “Hilir” (atau kaki).

Bingung? Jangan. Yang dipakai patokan sebagai “Hulu” oleh orang Bali pada umumnya adalah letak Gunung atau dataran tinggi, dalam hal ini adalah Gunung Batukaru yang berlokasi di Tabanan. Sedangkan yang dianggap “Hilir” adalah letak pantai/laut/pesisir.

Sehingga jika bertemu dengan orang Bali Utara (Buleleng/Singaraja), yang mereka sebut “Kaja” adalah “Selatan” karena letak Gunung Batukaru berada di sebelah selatan Kabupaten Buleleng. Sedangkan bagi orang Bali Selatan (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan), yang disebut “Kaja” adalah “Utara” karena Gunung Batukaru terletak di sebelah Utara daerahnya. Demikian juga sebaliknya.

 

10. Kesenian Sakral Tidak Sama dengan Kesenian Pertunjukan

Bali terkenal dengan spiritualitas dan keseniannya. Di masa lampau setiap aktivitas yang dilakukan oleh orang Bali adalah wujud dari ‘Bhakti’ atau ‘Yadnya’ atau ‘Ngayah’ (pengabdian tulus) kepada Sang Pencipta.

Terlebih-lebih kesenian. Semua bentuk kesenian yang dijalankan orang Bali adalah ‘bhakti’. Menari adalah bhakti. Membuat patung dan ukiran adalah bhakti. Megegitaan (menyanyikan lagu suci) adalah bhakti. Mekekawin (membaca lontar berbahasa ‘Kawi’) adalah bhakti. Megambel (memainkan gambelan) adalah bhakti.

Dari sekian banyak jenis kesenian itu, beberapa diantaranya ada yang bersifat sakral sehingga hanya boleh dilakukan di hari dan kesempatan tertentu saja (biasanya odalan atau ritual khusus) dan ada juga yang boleh dilakukan di hari-hari biasa meskipun sedang tidak ada ritual tertentu.

Semenjak Bali menjadi daerah tujuan wisata, banyak aktivitas berkesenian yang tadinya didedikasikan untuk ‘Ngayah/berbakti/Mengabdi’ pelan-pelan dipertontonkan/ dipertunjukan di depan wisatawan dengan maksud menghibur dan dibayar (dikomersialisasikan).

Melihat begitu massifnya kesenian Bali yang dikomersialisasikan, banyak yang mengkhawatirkan kesakralan kesenian Bali menjadi tidak terjaga.

Namun rupanya kekhawatiran itu telah diantisipasi dengan baik, yakni dengan cara membedakan antara kesenian yang digelar untuk maksud ‘yadnya’ dengan yang digelar untuk maksud pertunjukan (komersial).

Pembedaan dilakukan dengan cara menghilangkan bagian-bagian tertentu dari kesenian tersebut ketika digelar untuk maksud pertunjukan. Tari Barong (Barong Dance) misalnya, ketika digelar untuk maksud pertunjukan/atraksi wisata, maka ada bagian-bagian dari ritual tari barong itu yang dihilangkan. Sementara ketika digelar untuk maksud upacara maka harus sesuai dengan aslinya.

 

Sumber : Popbali.com

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait