Sepenggal Kisah Masa Lalu

Sepenggal Kisah Masa Lalu

Malam datang beriring gemuruh hujan menimpa tanah pertiwi, yang seketika melenyapkan gemerlap bintang dalam selimut awan. Dingin dengan cepatnya merambah dan memeluk seluruh sudut kota baru, taman kota yang tertata rapi tampak sangat menikmati anugerah Tuhan kala itu. Tiang-tiang lampu jalan yang berdiri tegar dengan kokohnya, sama sekali tidak merasa risih dengan badai musiman yang menimpa.

Dari dalam jendela kamar yang tidak cukup besar, aku amati pemandangan itu dengan asyiknya, hingga tak terasa dingin pun mulai menggerogoti kulit hingga ke tulang. Ku benahi selimut hingga membungkus seluruh tubuhku, sambil menyeruput teh hangat yang beberapa menit lalu telah aku hidangkan di atas meja. Malam semakin larut, namun guyuran hujan masih enggan reda. Ibarat sepasang kekasih, Pertiwi yang selang beberapa bulan terakhir di sapu kekeringan tengah melepas kerinduan dengan titik hujan yang jatuh dari angkasa.

“Tok, tok, tok!” Suara ketukan pintu dari depan rumah terdengar hingga membuyarkan lamunan ku. Dalam hati bertanya. “Siapa gerangan selarut ini masih bertamu?” Nadaku dalam hati melontarkan pertanyaan kepada diri sendiri. “Tok, tok, tok, tok?” Suara ketukan itu kembali terdengar, namun kini ketukannya lebih pelan dari sebelumnya.

Ku tanggalkan selimut hingga hanya singlet berwarna putih yang nampak menutupi tubuh bagian atasku, serta celana tidur berwarna merah marun membungkus pinggang hingga ke mata kaki. Setelah ku nyalakan lampu di ruang tamu, ku pacu langkah kaki menuju sumber suara ketukan hendak membukakan pintu sekaligus memastikan siapa rupanya yang mengetuk pintu. Setibanya di sana, ku tarik gagang pintu yang kala itu sudah tidak terkunci.

“Waldi?” Sahutku dengan pelan, seolah bertanya kepada pria jangkung yang berada tepat di hadapanku. “Kamu kan harusnya sudah tiba di rumah?” tanyaku kembali kepada pria berlesung pipi itu, yang tidak lain adalah kekasihku sendiri. Petir kembali menyambar dengan dahsyatnya, hujan semakin deras ditambah angin yang berhembus semakin kencang, hingga membuat tubuh pria yang masih berdiri kaku di hadapanku itu menggigil kedinginan.

Melihat tubuhnya yang basah kuyup tidak membuatku berbasa-basi, hingga pada akhirnya ku putuskan untuk kembali ke kamar hendak memberinya selimut. Sebelum ku raih selimut yang berada di atas tempat tidur, telepon genggamku berdering, hal itu membuatku penasaran, hingga ku putuskan untuk menggapai handphone-ku terlebih dahulu. Mataku mulai terpaku ke layar telepon genggam milikku, sambil membaca pesan singkat yang dikirim Winda, dan sungguh hal itu membuatku sangat tidak percaya.

Setelah membaca pesan dari Winda, barulah aku terburu-buru menggapai selimut dan seketika bergegas kembali ke depan rumah, karena mungkin Waldi sudah semakin menggigil menungguku di luar sana, seperti itulah pengharapanku dalam hati sambil terus melaju hingga aku tiba di tempat pria pengisi hatiku berdiri tadi. Tapi, yang aku saksikan hanyalah jalan setapak serta tiang-tiang lampu yang tak hentinya ditimpa titik-titik hujan yang tak terhingga jumlahnya.

Darahku mengalir dengan cepat, sepertinya suhu malam itu sama sekali tidak dapat membekukannya hingga nadiku pun memburu dengan sigap, detak jantungku tak bekerja dengan normal, hingga akhirnya aku tersungkur ke lantai dengan posisi terduduk, dan tak lupa air mata mulai menghilir ruas pipiku sebelum akhirnya tersendat di dagu dan berlanjut menimpa lantai. “Apa engkau tahu, apa yang terjadi malam itu?” tanyanya kepadaku dengan nada pelan, yang tak lupa air mata sejak tadi menelusuri ruas pipinya sebelum mengakhiri ceritanya. “Jujur, aku sama sekali tidak memahami cerita yang baru saja kau paparkan!!” Jawabku dengan pelan seraya memberinya sapu tangan hendak menyuruhnya menghapus air mata yang tiada henti berlinang.

Setelah menghapus air matanya, ia menggapai telepon genggam dari dalam tasnya dan memberikannya kepadaku lalu berkata. “Itu adalah pesan yang dikirim oleh Winda malam itu, dan hingga sekarang masih aku simpan. Ku tancapkan pandanganku ke arah layar handphone miliknya yang berada dalam genggamanku, lalu kemudian dalam hati mulai ku baca pesan yang sudah terpapar di sana.

“Rati, kamu harus tegar ya, kamu harus kuat, dan kamu juga harus ikhlas, karena Waldi sudah meninggalkan kita semua, ia kecelakaan dan meninggal dalam perjalanan ke Rumah Sakit, yang ikhlas ya Rat.” Begitulah isi pesan yang terpapar di dalam sana. Tak terasa air mataku pun mulai berjatuhan. Sepoi angin pantai losari membuatku semakin memahami cerita Rati barusan.


Ditayangkan sebelumnya dari situs Asyaryf
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait