Sayap Sayap Patah

Sayap Sayap Patah

Tidak ada yang tahu mengapa wanita berusia dua puluh lima tahun itu memilih pekerjaannya saat ini. Barangkali orang lain akan masa bodoh dengan hal itu, tapi orang-orang terdekatnya mempertanyakan hal tersebut tanpa pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Seorang sarjana desain interior menjadi seorang psikolog, piskiater, atau apalah namanya, psi-psi yang lain mungkin lebih tepatnya. Yang jelas, menjadi seseorang yang menangani masalah kejiwaan. Ia tidak terlalu mempedulikan sebutan pekerjaannya saat ini.

Wanita itu lebih memilih diam. Karena orang-orang juga tidak akan pernah mengerti meski ia menjelaskannya. Ketidakmengertian yang sama dengan ketidakmengertiannya terhadap orang-orang yang masa bodoh terhadap gadis berusia lima belas tahun yang setahun belakangan dekat dengannya. Mengapa mereka semua masa bodoh? Mengapa gadis itu mesti dikucilkan? Apa yang aneh dari gadis itu? Pertanyaan-pertanyaan itu sampai sekarang tidak pernah terjawab. Maka ia pun tidak perlu menjawab pertanyaan orang-orang yang mempertanyakan keputusannya untuk menjadi psikolog atau psikiater atau psi-psi yang lainnya.

Gadis itu, yang setahun terakhir dekat dengannya, berbeda. Bukan aneh. Ia istimewa. Dalam dirinya terdapat jiwa anak berusia lima tahun. Namun jika kalian mengenalnya lebih jauh, di balik jiwa kanak-kanaknya itu, isi otaknya bisa melampaui remaja seusianya. Orang dewasa yang lebih tua darinya malah. Profesor pun bisa kalah. Namun orang-orang tidak tahu, atau barangkali, oh bukan barangkali lagi, tapi lebih tepatnya tidak pernah mau tahu akan gadis itu. Mereka hanya melihat dari luar dan mengambil keputusan.

Gadis itu kelainan. Gadis itu idiot. Gadis itu autis. Gadis itu autis bukan idiot, karena autis dan idiot berbeda. Gadis itu pokoknya aneh. Masa bodoh dengan istilah idiot atau autis. Pokoknya aneh. Gadis itu sindrom mental.

Orang-orang tidak pernah tahu bahwa gadis itu sesungguhnya sama normalnya dengan orang-orang yang mengaku normal. Gadis itu sama sehatnya dengan orang-orang yang mengaku sehat. Gadis itu sama warasnya dengan orang-orang yang mengaku waras. Tiap jam sembilan pagi ia akan duduk di depan piano elektrik. Meletakkan jemari-jemarinya di atas tuts-tuts putih dengan urutan yang benar, seperti halnya orang-orang normal yang bisa bermain piano. Memainkan Moonlight Sonata dan Fur Elise-nya Beethoven. Ia tidak akan berhenti sebelum mengantuk. Karena ia berkata bahwa ingin menjadi pianis hebat.

Tiap sore ia akan berkeliling halaman rumahnya yang seluas setengah kali lapangan sepak bola. Menangkap kupu-kupu di taman bunga. Memasukkan kupu-kupu ke dalam stoples. Menyimpan stoples itu dalam lemari berisi puluhan kupu-kupu. Ia berkata ingin memiliki ribuan kupu-kupu agar suatu hari ia bisa terbang keliling dunia dibawa oleh kupu-kupu piaraannya. Kemudian bertanya pada wanita itu: berapa beban yang dapat dibawa tiap kupu-kupu?

Lalu menghitung layaknya Albert Einstein yang tengah berusaha menemukan hukum relativitas. “Aku butuh lebih dari seribu kupu-kupu. Aku akan mengumpulkan kupu-kupu yang banyak. Oh, tapi aku ingin kakak juga ikut. Jadi aku harus mengumpulkan kupu-kupu lebih banyak.” Ucap gadis berusia lima belas tahun sambil membentangkan kedua tangannya, merasa bahwa dirinya adalah kupu-kupu.

Di taman bunga ia akan memberitahu nama-nama bunga yang tumbuh di sana satu per satu kepada wanita berusia dua puluh lima tahun. Kemudian ia akan mengamati kelopak-kelopak dan daun-daun bunga itu. Melihatnya dari balik lup. Bergaya seperti ilmuwan hebat. Setelah lelah ia akan mengajak wanita itu ke padang rumput. Merebahkan badan di sana sambil menatap langit. Bertanya pada wanita itu mengapa awan-awan bergerak. Bertanya mengapa bumi yang katanya bergerak tapi ia tidak merasakan pergerakan itu. Bertanya dari apakah awan itu tercipta. Bertanya apakah awan bisa disentuh dan bagaimana tekstur awan: lembutkah, kasarkah atau barangkali seperti air.

Jika ada belalang yang hinggap di tubuhnya, gadis itu akan segera bangun. Menangkapnya. Jika lepas akan mengejarnya. Berlari-lari, seolah-olah rasa lelahnya telah hilang begitu saja. Berlari dan terus berlari. Membiarkan angin mengusap wajahnya, membelai rambut hitamnya yang panjang. Membiarkan rumput-rumput menggelitik telapak kakinya yang tak beralas. Lalu membawa belalang pada wanita itu sambil tersenyum kegirangan dan tetap berlari. Kemudian bertanya mengapa belalang bentuknya seperti itu. Mengapa belalang melompat-lompat padahal punya sayap. Mengapa belalang tidak menghisap madu seperti kupu-kupu. Bisakah belalang kawin dengan kupu-kupu. Bertanya dan terus bertanya, lupa dengan rasa lelahnya, padahal ia lelah.

Nanti ketika gadis berusia lima belas tahun itu ingat bahwa sebenarnya ia lelah, ia dan wanita berusia dua puluh lima tahun akan masuk ke rumah. Gadis itu lantas menyimpan ‘hasil perburuannya’ ke dalam stoples. Menyimpan stoples tersebut dalam lemari pakaiannya (Tidak ada lemari kosong yang tersisa di rumahnya. Satu-satunya yang bisa digunakan untuk menyimpan stoples-stoples berisi belalang adalah lemari pakaiannya).

Di padang rumput gadis itu terus berceloteh, mernceritakan semua mimpi-mimpi indahnya. Ia ingin menjadi ilmuwan seperti ayahnya yang enam belas tahun lalu meninggal dalam kecelakaan pesawat, saat ia masih berada dalam kandungan. Ia ingin menjadi musisi sehebat ibunya yang meninggal setahun setelah kematian ayahnya (Tidak kuat menahan rindu pada kekasih yang meninggalkannya). Ia ingin menjadi pengusaha sukses seperti kakaknya. Ia juga ingin menjadi desainer interior seperti wanita itu karena menurutnya itu sangat menarik. Ia ingin menjadi semua yang ia inginkan.

“Kalau kuliah, pengin ngambil banyaaakk jurusan. Musik, desain interior, fisika, kimia, biologi, ekonomi, arekologi, sejarah. Pokoknya semua yang meeeeenariiik dan keren-keren.”

Wanita itu tersenyum lebar. Gadis itu sama normalnya dengan manusia normal lainnya. Memiliki mimpi-mimpi yang begitu indah. Gadis itu punya tujuan hidup yang jelas. Namun agaknya gadis itu tidak memahami bahwa hidup tidak seindah mimpi-mimpinya. Gadis itu tidak mengerti bahwa dunia terlalu jahat dan tidak adil. Bahkan saat ini pun dunia tengah Tidak adil kepada dirinya, tapi gadis itu tidak menyadarinya. Hanya bahagia yang ia rasakan. Mestinya ia ke luar dari zona nyamannya. Agaknya orang-orang betul jika ia tidak normal. Namun ia tetap normal. Ah, Tidak. Barangkali ia setengah normal.

 

Bersambung...


Ditayangkan sebelumnya dari situs imarosyi
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait