Sayap Sayap Patah (Bagian 2)

Sayap Sayap Patah (Bagian 2)

Tidak ada yang tahu bagaimana cara menghadapi gadis itu. Tidak ada yang tahu bagaimana cara mengobrol dengan gadis aneh macam alien itu. Orang-orang bertanya mengapa wanita itu masih bertahan. Diberi duit berapa oleh keluarga gadis itu? Belasan psikolog, atau mungkin yang benar psikiater atau apalah, mungkin psi-psi yang lain tidak ada yang benar-benar memahami gadis itu. Tidak ada yang mengerti. Tidak ada yang berani bertahan untuk sekadar menjadi pendengar tiap gadis itu berceloteh tentang segala hal meski diiming-imingi gunung emas.

Papanya, mamanya, adik-adiknya, calon papa dan mama mertuanya tidak pernah tahu mengapa wanita berusia dua puluh lima tahun itu masih bertahan dengan pekerjaannya saat ini. Tunangannya hanya tahu jika pekerjaannya saat ini membuat ia bahagia, tapi tidak pernah tahu apa alasannya sehingga ia bahagia. Dua bulan lalu wanita berusia dua puluh lima tahun bertengkar hebat dengan papanya.

“Meninggalkan pekerjaan lama kamu. Jarang berada di rumah. Jarang main ke rumah tunanganmu. Kamu ini sebentar lagi menikah, tapi kenapa seolah kamu masa bodoh?”
“Maaf, Pa. Saya sibuk. Kalau ada waktu tentu saya bakal main ke rumah dia.”
“Apa sih yang kamu cari? Kalau tahu begini, lebih baik dulu kamu masuk jurusan psikologi, bukan desain interior.”
“Saya mencari kebahagiaan.”
“Kamu ngomong apa sih sebenarnya? Sebentar lagi kamu akan menikah. Tapi kamu justru masa bodoh dengan pernikahan kamu. Alasan kamu sebenarnya bukan gadis itu kan, tapi kakaknya?”

“Saya tidak mencintai laki-laki lain. Termasuk kakaknya.”
“Lalu kenapa kamu masih bertahan dengan pekerjaan kamu?”
“Karena gadis itu membutuhkan saya.”
“Jangan sampai gara-gara gadis itu pernikahan kamu batal.” Papanya menarik napas, “bukan masalah pernikahan itu. Tapi Papa takut kalau kamu jatuh cinta dengan kakaknya. Dengan siapa pun kamu menikah dan kapan pun kamu menikah, itu bukan masalah. Namun tidak dengan laki-laki itu, tidak dengan kakak gadis itu.”

“Saya tidak mencintai laki-laki lain. Sekali pun saya mencintai kakaknya, apa alasan Papa tidak menyetujui saya menikah dengan dia?” Pria berusia setengah abad itu menarik napas panjang. “Karena tujuan menikah adalah membangun rumah tangga senormal mungkin. Bukan menjadi pengasuh bagi gadis itu.”
“Jadi, jika keadaan gadis itu normal-normal saja, dan jika saya jatuh cinta dengan kakaknya, Papa akan merestui hubungan kami?” Laki-laki berusia setengah abad hanya diam dan membuang muka.

“Bahkan jika tunangan saya dan saya jadi menikah, saya tidak akan pernah meninggalkan gadis itu. Dia butuh saya. Meninggalkan gadis itu sama saja membunuhnya. Saya yakin Papa bakal malu kalau sampai anak Papa menjadi seorang pembunuh.” Sejak saat itu wanita berusia dua puluh lima tahun memilih untuk meninggalkan rumah. Menyendiri beberapa saat hingga hubungan di antara ia dan papanya membaik.

GADIS berusia lima belas tahun tidak pernah merasakan belaian seorang ibu. Tidak pernah merasakan gendongan seorang ayah. Kakaknya seperti amuba yang berubah-ubah. Kadang menjadi ibu, kadang menjadi ayah, kadang menjadi kakak. Ia hanya ingin sahabat yang mau mendengarkan segala ocehannya. Kakaknya tidak bisa selalu hadir untuk mendengarkannya, meski selalu mau mendengarkannya. Hanya wanita itu yang mau menjadi sahabatnya, setelah kakaknya. Ia hanya mau wanita itu. Di kamarnya tertempel kertas-kertas putih penuh dengan gambar buatannya. Gambar dirinya, ayah, ibu, dan kakaknya. Gambar dirinya, ayah, ibu, kakaknya, dan wanita itu. Gambar dirinya dan wanita itu. Gambar dirinya, kakaknya, dan wanita itu. Ia mau wanita itu.

Empat bulan setelah wanita berusia dua puluh lima tahun pergi dari rumah, mamanya menghubunginya, memohonnya untuk pulang. Papanya sakit, merindukan anak sulungnya. Maka ketika anak dan bapak itu dipertemukan, inilah wasiat terakhir dari si bapak. “Papa ingin melihat kamu menikah. Setelah menikah tolong rawat dan sayangi suami kamu seperti Mama yang merawat dan meyayangi Papa. Jangan pergi dari rumah, suami kamu butuh kamu. Papa ingin melihat kamu bahagia, menikah dengan laki-laki yang kamu cintai, hidup normal seperti orang lain. Tolonglah, Papa cuma mau itu.”

Wanita itu tahu gambar-gambar yang ada di dinding kamar gadis berusia lima belas tahun. Tak perlu gadis itu menjelaskannya dengan kata-kata. Tak perlu wanita itu bertanya apa pun tentang arti dari gambar-gambar buatan gadis berusia lima belas tahun. Wanita itu paham. Wanita itu mengerti. Maka setelah wasiat itu diberkan. Wanita berusia dua puluh lima tahun hanya bisa mengucapkan selamat tinggal pada gadis berusia lima belas tahun lewat kakak lelaki gadis itu. Undangan pernikahan dan sebuah buku berisi notasi-notasi instrumental menjadi surat perpisahan. Ijab-kabul dilakukan dengan deraian ari mata. Orang-orang yang menyaksikan ikut menangis. Semua terharu. Namun orang-orang tidak pernah tahu bila air mata wanita itu bukanlah air mata yang ke luar akibat rasa gembira yang membuncah dalam dada yang kepalang untuk menampung semua itu.

Kini tiap pukul sembilan pagi tidak ada lagi suara dentingan piano yang memainkan musik Moolight Sonata maupun Fur Elise. Tidak ada lagi ritual menangkap kupu-kupu dan menyebutkan nama-nama bunga. Tidak ada lagi dua orang perempuan yang berbaring di atas padang rumput, kemudian salah satunya akan berlari untuk menangkap belalang. Kini, tiap pagi hingga sore yang ada adalah teriakan-teriakan yang mirip dengan lolongan serigala.

Kini yang ada adalah seorang gadis yang terus menjambak rambut dan membanting barang-barang di sekitarnya. Yang ada adalah seorang anak manusia berusia lima belas tahun yang terus memukul-mukul kepalanya ke dinding sambil menyebut satu nama yang selalu sama. Teriakan-teriakan di tiap pagi hingga sore semakin meyakinkan orang-orang bahwa gadis itu berbeda dan aneh. Kedua tangan yang menjambak rambut dan membanting barang-barang semakin meyakinkan bahwa gadis itu tidak seharusnya dimasukkan dalam komunitas orang normal. Kepala yang selalu dipukul-pukulkan ke dinding itu membuktikan pada orang-orang bahwa ia tidak sama dengan yang lainnya.

Orang-orang tidak pernah tahu bila gadis itu sama normalnya dengan orang lain yang mengaku normal. Karena mereka tidak pernah mendengar tentang mimpi-mimpi indahnya. Mereka tidak pernah mendengar permainan piano Moonlight Sonata dan Fur Elise-nya. Mereka tidak pernah tahu bahwa ia bisa jadi lebih cerdas dari seorang profesor. Gadis itu sama normalnya dengan orang-orang yang mengaku normal. Karena ia punya mimpi-mimpi indah seperti orang-orang yang mengaku normal. Karena ia tahu bagaimana rasanya sakit hati seperti orang-orang yang mengaku bisa sakit hati. Karena ia tahu bagaimana rasanya terlukai. Karena ia tahu betapa kejamnya dunia. Dan karena ia tahu bagaimana rasanya kehilangan cinta sejati.


Ditayangkan sebelumnya dari situs imarosyi
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait