Cinta bersemi di (bus) Primkopol

Cinta bersemi di (bus) Primkopol

Pagi itu langit menangis tak terlalu deras. Sungguh aku sudah sangat gelisah saat melihat jam tangan yang ku pakai. Jam tujuh kurang dua puluh menit. Astaga! Mana hujan, busnya lama lagi. Iya, aku berangkat sekolah setiap hari naik bus tapi ini bukan angkot, kayak bus tapi lebih kecilan lagi. Semua ini gara-gara tadi malem aku ngelembur tugas bahasa Indonesia yang seabrek itu. Parahnya belum selesai juga. Tadi malem malah chattingan sama temen. Huft salahku juga sih bukan salah orang lain. Soalnya juga, Ibu udah ngingetin aku kalau jangan sampe malem-malem belajarnya, aku sih iyain aja orang lebih banyak chatting-annya daripada belajarnya.

Lagi enak-enaknya flashback kejadian tadi malem ada bus warna cokelat, nyelonong refleks tanganku menyetopnya karena udah siang juga. Di sisi bus itu tertulis PRIMKOPOL warnanya putih dan itu membuat semua orang yang melihatnya langsung tertancap di benak mereka itulah yang yang namanya bus primkopol 2 pintu. Ugh! penumpangnya udah anak berandalan semua soalnya bisa dilihat dari muka-mukanya yang.. ya gitu deh. Tas berat, nggak ada tempat duduk lagi Issh! Nyebelin bangett.

Kalau lagi di dalem bus itu jadi terjadilah pandang-pandangan antar penumpang gitu, jadi tanpa sengaja aku ngelihat temen SD-ku juga di situ tapi dia cowok, dan perlu kalian ketahui dia bukan termasuk anak berandalan ya! Dia anak baik-baik kok. Kami sempat bertabrakan pandang beberapa saat. Aku hanya bisa tersenyum kecil, dia namanya Rivo. Aku bisa ngelihat saltingnya Rivo dan itu jadi buat aku ingin ketawa sekenceng-kencengnya. Soalnya apa? Setelah aku tersenyum dia itu juga bales senyum aku, habis itu langsung garuk-garuk kaki nggak jelas gitu. Dia juga berdiri tapi jaraknya sama aku itu, kalau aku ada di deket pintu terus dia itu di belakang aku, tapi kepisah sama dua orang bapak-ibu. Akhirnya sampe juga di sekolah, aku tengok lagi jam tangan weeeitt jam tujuh kurang 10 gila! Ini rekor berangkat tersiangku.

“Wuuiih.. Mbak-mbak kok berangkatnya pagi banget ya? Patut deh ditulis rekor muri,” ejek Nana menirukan gaya bicara Bu Mimi guru bahasa Indonesia yang mengajar kelasku.
“Kamvret lo!”
“Eh, makanya jadi anak tuh kayak gue berangkatnya pagi terus,”
“Eleh lo juga baru nyampe kan?”
“Iya sih, tapi kan masih duluan gue nyampenya, wleee,” aku tidak menanggapi ocehan Nana.
Kringgg… kriiinggg… kringggg.
“Apes banget da ahh,”

“Udah selesai ngerjain tugasnya Ra?”
“Yang mana?”
“Bahasa Indonesia lah itu loh yang seabrek itu,”
“Oh, baru setengah,”
“Kapan lo itu Na, bisa tepat waktu ngumpulin tugas,” gumam Nana.
“Mirror please!” teriakku di depan muka Nana.
“Lah ya biasa aja dong, mirror-mirror emang pemberontak suka mirror?”
“Itu terror bloon,” Tawa kami meledak. Hahaha.

Wiiih udah jam 2 aja, pulang nyok. Aku memasang tampang seperti bajak laut menemukan harta karun. Berseri-seri?
“Heh kayak belum pernah pulang aja lo!”
“Biarin SSG dong, rumahku surgakuuu,” seruku sambil meninggalkan Nana.
“Lah main ninggal aja tuh bocah,” dumel Nana.

Nunggu bus. Sekitar 5 menitan aku nunggu bus. Walaupun yang muncul lebih dari satu aku ingin aja nunggu yang pintu dua, karena di saat itu yang lewat PRIMKOPOL aku langsung gerak cepat menyetop. Tak disangka-sangka aku barengan lagi sama Rivo. Rivo sama aku itu seumuran cuma lebih tuaan dia tiga bulan. Rivo juga kelas 9 sama kayak aku tapi dia sekolahnya di sekolah swasta. Kebetulan juga dia duduk sendiri, tanpa ragu aku langsung mendaratkan bokongku tepat di samping Revo.

-Author’s POV
Nara bergegas saat bus berpintu dua, warna cokrlat itu berhenti. Nana tanpa ragu duduk di sebelah Rivo, karena memang kosong. Mungkin Nara tidak tahu kalau saat itu ada jantung seseorang yang berdetak lebih cepat 2 kali dari biasanya. Terjadi percakapan setelah itu, walaupun hanya sebentar. Terlihat keringat Rivo yang bercucuran di pelipisnya.

“Biasa aja, jangan keringetan gitu kalau gue ajak ngomong Vo, grogi ya?” tanya Nara dengan nada bercanda.
“Eh, ap..apaan, nggak kok!” elak Rivo. Sebenarnya pernyataan Nara tadi cukup membuat Rivo tertohok, tapi sebisa mungkin ia mengendalikan dirinya. Nara merogoh saku baju seragamnya lalu, “Nih gue ada tisu, lo lap sendiri ya, entar kalau gue elapin nanti kayak sinetron yang abis peristiwa saling ngelap terus tatap-tatapan terus langsung jadian deh,” Rivo hanya mengangguk sambil menerima tisu.

“Gue turun duluan ya?”
“Oh iya, hati-hati,” balasku.

Seminggu kemudian. Jeng-jeng. Pasti pada nggak percaya kalau sekarang Rivo udah jadi pacarnya Nara. Jadi sehabis naik bus barengan beberapa kali, Rivo nyari-nyari info tentang nomor hp-nya si Nara dan dapatlah ia. Awalnya pedekate dulu dan alhamdulillahnya Nara juga jomblo jadi dengan mengucap bismillah Rivo memutuskan mengajak Nara untuk berpacaran. Terkejutlah Nara, tapi entah siapa yang menuntun jari-jarinya untuk membalas pesan dari Rivo yang berisi ajakan itu dengan kalimat yang simple dan tegas ‘YA’. Hari-hari sekolah Rivo dan Nara lalui bersama setiap pagi saat berangkat sekolah naik bus PRIMKOPOL. Bus ini seolah-olah jadi saksi bisu percintaan dua remaja ini. Nara dan Rivo sedang menikmati masa-masa manisnya cinta. Rivo menyanyikan lagu Everything I do milik Bryan Adams kepada Nara pada suatu hari saat berkomunikasi via telepon.

“Aku punya lagu buat kamu Ra,”
“Mana coba aku dengerin,” Terdengar Rivo menghela napas dan mulai bernyanyi.
“Look into my eyes, You will see, what you mean to me. Search your heart, search your soul, And when you find me there, you will search no more
Don’t tell me is not worth trying for, You can tell me is not worth dying for. You know it’s true, Everything I do, I do it for you..” nyanyian berakhir dari seberang sana. Nara termangu akan suara yang baru saja ia dengar, sungguh merdu. Nara terkesima dengan lagu itu. Cukup lama Nara terdiam, hingga..

“Sayang?”
“Sayang gimana suara aku?”
“Jelek ya? Kok kamu diem?”
“Sayaaaaangg,”
Dalem sayang
“Eh, iya, nggak-nggak suara kamu bagus kok,”
“Beneran nih?”
“Iya sayang,”
“I love you sayang Rara,”
“I love you too yayang Vovo,”

Paginya Nara senyam-senyum sendiri di kelas. Nana teman semejanya lantas heran dengan ekspresi Nara yang sedari tadi senyum-senyum nggak jelas.
“Nih bocah kesambet ya?”
“Wooii Ra sadar, istighfar!”
Nara menatap datar Nana, dikiranya temannya ini kesambet beneran apa?
“Na, gue pinjem leppi lo bentar aja ya?”
“Apa sih yang nggak buat neng Nara yang sedang jatuh cinta,”
“Makasih Nana sahabatku yang baik, cantik, dan menarik,”
“Capee deh, malah jadi penjilat lo? Mau buat apaan sih?”
“Mau download lagu Everything I Do, mumpung di sekolah gratis Wi-fi kan?” ucap Nara sambil nyengir kuda. Nana hanya menganggukkan kepala lalu berkutat lagi dengan dunianya sendiri. Tidur.

Tanggal 15 ini udah sebulan Nara pacaran sama Rivo. Sejauh ini nggak ada rintangan yang berarti untuk pasangan muda ini. Bahkan keduanya sering berangkat sekolah bersama-sama, tentunya naik bus PRIMKOPOL. Mereka duduk bersebelahan kadang juga tangan Rivo berani menyentuh tangan Nara walau sebentar. Mungkin Rivo masih punya malu untuk sekedar bersentuhan tangan di dalam bus. Maklum banyak temen-temen yang satu sekolah sama Nara dan Rivo yang juga naik bus PRIMKOPOL. Mereka masih punya rasa malu pemirsa.

Beberapa hari kemudian Nara dan Rivo naik bus yang sama beda tempat duduk doang. Nara bersebelahan sama Rendi temen sekelasnya dan malah bincang-bincang, sedangkan Rivo Nara biarkan begitu saja tanpa disapa. Entahlah, Nara merasa tidak mood untuk berdekatan dengan Rivo. Setelah insiden itu Nara dan Rivo tidak sering sms-an lagi. Pada suatu malam minggu Rivo dengan tegasnya menuliskan kalau ia ingin putus dengan Nara dengan tambahan ia dan Nara tetep harus berteman yang apabila Nara membutuhkan sesuatu, Rivo selalu siap 24 jam. Shit! Nara shock, kaget, mau nangis tapi nggak bisa, mau ngadu sama orangtua takutnya malah dimarahin. Nara cuma bisa mengumpat sebanyak yang ia bisa sampai dirasa hatinya telah puas. Keesokan paginya. Nara berjalan gontai memasuki kelas, Nana heran dengan sikap sahabatnya itu.

“Heh, Mrs. Rivo kenapa jalanya nggak semangat gitu?”
Nara masih diam sambil meletakkan tasnya di kursi. “Rivo mutusin gue,”
“Apaa? Loh kok bisa, kapan, gimana ceritanya, serius Ra? Ah kok bisa sih?”
“Enggak tahu Na, arrrrgghh!!!”

Nana bingung mau nenangin Nara dengan cara apa. Setaunya kalau ada orang lagi sedih didiemin dulu, kalau udah tenang baru ditanya-tanya.
“Hiih masa aku yang diputusin kenapa bukan aku yang mutusin sih?”
“Hufft sabar aja deh Ra, kan seharusnya emang gitu, laki-laki yang nembak laki-laki juga yang mutus,”
“Nggak bahagia juga selama ini, selama satu bulan lebih ini pacaran nggak ada kesan yang mendalam,”
“Tuh kan, kalau gitu mungkin itu jalan yang terbaik buat lo Ra, udah nggak apa-apa jadi jomblo stok masih banyak kan,”

“Stok apaan?” tanya Nara nyolot.
“Ya elah ya stok cowok lah, heh enakan tuh jadi jomblo kayak gue nggak ada yang perlu dikhawatirin, bebas deket sama siapa aja, hemat pulsa, hemat uang, belajar nggak ada yang ganggu, pokoknya bebas deh,” tutur Nana panjang lebar. “Gitu ya?”
“Iyalah sekarang Nara yang cantik senyum dong!”

Dengan sedikit terpaksa Nara tersenyum. Kalau dipikir-pikir jadi jomblo itu emang enak, soalnya bebas akan semua hal. Jadi, kesimpulannya adalah kalau jatuh cinta jangan di bus, karena apa? Karena bus itu catnya gampang rusak jadi rasa cinta pun cepat terkikis.


Ditayangkan sebelumnya dari situs Syafira Nurulita
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait