Apakah Siwaratri dan Lubdaka Masih Relevan di Abad 21?

Apakah Siwaratri dan Lubdaka Masih Relevan di Abad 21?

Apa yang kita (orang Hindu Indonesia) ingat ketika mendengar kata “Siwaratri”? Paling lumrah adalah cerita Lubdaka, sebuah kisah perjalanan unik seorang pemburu bernama Lubdaka yang memperoleh kesadaran (baca: pencerahan) spiritual, bahkan menerima anugrah pengampunan dosa dari Tuhan Yang Mahakuasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa. Namun, oleh cendikiawan modern di abad-21 sekarang ini, kisah Lubdaka dan istilah “Malam Peleburan Dosa” untuk Brata Maha Siwaratri dalam berbagai Purana, mulai dipandang bias. Bahkan ada kecenderungan kisah Lubdaka dinilai sudah tidak relevan lagi. Benarkah demikian?

Dharma dan Adharma di abad-21

Banyak orang baik, tak sedikit juga yang jahat. Ada yang benar, tak sedikit pula yang bersalah. Perbuatan baik dan benar dalam Hindu disebut ‘dharma.’ Sedangkan perbuatan jahat dan salah disebut ‘adharma.’ Lalu, bagaimana membedakannya?

Tidak mudah. Terlebih-lebih di abad-21 yang disebut jaman ‘Kaliyuga’ sekarang ini, dimana logika bisa dibolak-balik dengan mudahnya.

  • Selalu ada yang memandang kebaikan dan kebenaran sebagai suatu keburukan dan kesalahan.
  • Selalu ada yang mencibir bahkan mencaci ketika kebaikan dan kebenaran coba ditegakkan.
  • Selalu ada logika untuk membenar-benarkan sesuatu yang salah
  • Selalau ada upaya untuk menyamarkan suatu kejahatan sehingga nampak sebagai suatu kebaikan

Hari-hari kita di abad-21 sekarang ini dipenuhi oleh PRO-dan-KONTRA, dimana kebenaran dan kebaikan dipandang relative sesuai dengan kepentingan.

Saat nonton Wayang Kulit yang menceritakan Epos Mahabharata, dahulu, semua orang bisa melihat dengan jelas pihak mana yang ‘dharma’ (disebut “wayang tengawan/kanan”) dan pihak mana yang ‘adharma’ (disebut “wayang kebot/kiri”). Tokoh-tokoh kanan pengemban dharma disanjung dan menjadi idola. Sedangkan tokoh-tokoh kiri pelaku adharma dicaci dan menjadi bahan olok-olokan

Di abad-21 sekarang ini, hal seperti demikian sudah tidak ada lagi.

Yang agak ironis, orang mulai menemukan (atau mungkin mencar-cari) hal-hal buruk pada sosok pengemban dharma seperti Yudhistira (dibilang lemah atau bodoh), Bhima (dibilang bar-bar), Arjuna (dibilang playboy), bahkan sosok Basudewa Krisna yang merupakan awatara Wisnu sekalipun (dibilang licik dan tegaan).

Sebaliknya orang mulai melihat (atau mencari-cari) sisi baik para tokoh pelaku adharma seperti Duryodhana (dibilang gentleman), bahkan tokoh Shakuni pun dipuji dan menjadi idola, katanya lucu dan cerdas. Dan secara umum, keluarga Khurawa yang hancur dalam perang Bharata Yudha dipandang sebagai korban konspirasi.

Sebagai penganut Hindu, membedakan mana dharma dan adharma adalah yang terpenting guna mewujudkan tujuan utama kita yakni ‘Mokshartam Jagadhita’. Namun di sisi lainnya, membedakan mana dharma dan mana adharma menjadi tidak mudah di abad-21 sekarang ini dimana nilai-nilai dharma-dan-adharma beserta takarannya mulai bergeser.

Pertanyaannya: Apa yang bisa kita lakukan agar selalu dalam kondisi sadar thus bisa membedakan dharma dari adharma, di tengah-tengah logika yang terbolak-balik?

Siwaratri: Waktunya Memohon Kesadaran

Dalam kehidupan sehari-hari, kesadaran membuat kita selalu mampu membedakan:

  • mana perbuatan dharma (=kebenaran) yang mengantarkan kita pada jalan kemuliaan; dan
  • mana perbuatan adharma (=ketidakbenaran) yang mengantarkan kita pada jalan dosa.

Sebaliknya, ketidaksadaran membuat kita buta atau gelap, sehingga tidak mampu lagi membedakan keduanya.

Dalam Bhagavadgita III-42 dinyatakan, seseorang akan memiliki alam pikiran jernih/cerah apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi-atau-alam kesadaran (sering disebut “citta”.)

  • Citta/budhi (baca: kesadaran) mengendalikan Manah (baca: pikiran); dan
  • Manah menguasai Indria (baca: nafsu).

Untuk mempu mengendalikan nafsu, sehingga mampu membedakan mana perilaku dharma dan mana adharma, maka harus diupayakan agar citta/budhi selalu dalam kondisi terang/cerah. Masalahnya (baca: tantangannya), menjaga citta/budhi agar selalu dalam kesadaran, tidak mudah. Tidak semua orang mampu melakukannya. Untungnya, ada Siwaratri.

Hari ini, Senin (19/01/2015), disebut “Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha” yang dalam Wariga atau kalender Bali disebut “Pangelong Ping 14 Tilem Kepitu” (=sehari sebelum bulan mati yang jatuh pada bulan Ketujuh), yang tiada lain adalah payogan manifestasi Tuhan dalam wujud Dewa Siwa, sehingga disebut “Siwaratri” (=Malam Siwa).

Pada hari ini kita umat Hindu di Bali dan Indonesia pada umumnya melaksanakan Brata Siwaratri, yakni laku disertai yadnya tertentu yang ditujukan khusus kehadapan Dewa Siwa—manifestasi Tuhan sebagai ‘pemralina’ (pelebur kegelapan sekaligus pemurni)—seraya memohon kepada beliau agar senantiasa diberikan kesadaran (dalam spiritual popular sering disebut “kecerahan”) thus terbebas dari kegelapan (awidya) yang menyelimuti citta/budhi kita.

Sehingga tujuan utama dari pelaksanaan Brata Siwaratri yang kita laksanakan hari ini adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa agar senantiasa diberikan kesadaran citta/budhi dan kejernihan pikiran.

Bagaimana teknis pelaksanaan Brata Siwaratri, khususnya di Bali?

Sebelum ke teknis pelaksanaan Siwaratri ada 2 pertanyaan kritis yang lumrah muncul dalam setiap event Siwaratri seperti sekarang, yakni:

1. Apakah tepat jika Malam Siwartari disebut “malam peleburan/penebusan dosa”?
2. Apakah kisah Lubdaka masih relevan sekarang ini?

Keutamaan Siwaratri dan Penghapusan Dosa

Melaksanakan Brata Siwaratri sangatlah penting (utama) bagi kita umat Hindu. Brata yang kita (Hindu Indonesia) laksanakan hari ini, di India disebut Maha Siwaratri yang dilaksanakan setiap hari ke-14 paruh gelap antara Bulan Magha dan Palguna (=Pangelong Ping 14 Sasih Kepitu).

Begitu utamanya hingga Maha Rsi Wasistha menyebut Brata Siwaratri sebagai satu-satunya sarana untuk mencapai Siwa Loka. Kepada seorang Raja bernama Dilipa, dalam “Padma Purana,” Rsi Wasistha menjelaskan:

“Dengarkanlah Paduka, saya akan menjelaskan kepada Anda tentang Brata Malam Siwa yang sangat utama, satu-satunya sarana untuk mencapai Siwaloka. Hari keempat belas paruh gelap bulan Magha atau Palguna, patut diketahui sebagai Malam Siwa (=Siwaratri), yang menghapuskan segala papa (red: kegelapan yang menyelimuti citta/budhi). Anugerah itu, paduka, tidak didapatkan dengan tapa, dana, japa, semadhi, tidak juga dengan upacara dan sebagainya. Brata Malam Siwa paduka, adalah yang paling utama diantara segala brata, bagai Meru diantara Gunung, Matahari diantara segala yang bercahaya, Pertapa diantara mahluk berkaki dua, dan Kapila diantara mahluk berkaki empat, Gayatri diantara mantra, Amerta diantara segala yang cair, Wisnu diantara laki-laki dan Arundhati diantara wanita”.

Selain Rsi Wasistha, keutamaan Maha Siwaratri juga disabdakan oleh Dewa Siwa sendiri seperti digambarkan dalam kakawin “Siwaratri Kalpa.” Berikut adalah sabda Siwa menurut Siwaratri Kalpa:

”Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci, pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka, tetapi dengan pahala Brata Siwaratri ini, semua Pataka itu lenyap. Seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan Brata Sivaratri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Siwaratri) yang Aku sabdakan ini” (~Siwaratri kalpa, 37, 7-8)

Lalu, dimana ada kalimat yang menyebutkan penghapusan dosa? Mungkin ada yang berpikir demikian.

Jika disimak dengan baik, sabda beliau jelas menyebutkan:

“Dengan pahala Brata Siwaratri ini, maka semua Pataka itu lenyap”

Nah, yang disebut “Pataka” disini adalah buah dari perbuatan dosa dan kegelapan/kepapaan.

Hal yang sama juga diungkapkan dalam berbagai sumber lain terkait Siwaratri. Misalnya, pada Epos Mahabarata, persisnya pada Santi Parwa, yakni ketika Bhisma sedang berbaring menunggu kematian di atas anak-anak panahnya Arjuna. Sambil menunggu Uttarayana Bhisma memberikan wejangan Dharma kepada lima Putra Pandu dengan cara menceritakan ritual Maha Siwaratri yang selalu digelar oleh raja Citrabhanu, raja Jambudwipa dari dinasti Ikswaku.

Diceritakan oleh Bhisma, Raja Citrabhanu bersama istrinya sedang melakukan upawasa pada hari Maha Siwaratri. Seorang Rsi bernama Astawakra bertanya:

“Wahai sang raja, mengapa kalian berdua melakukan upavasa pada hari ini?”

Sang raja yang dianugerahi ingatan akan punarbhawa sebelumnya menjelaskan kepada sang Rsi:

“Dalam kehidupanku terdahulu aku adalah seorang pemburu di Waranasi yang bernama Suswara. Kebiasaanku adalah membunuh dan menjual burung-burung dan binatang lainnya. Suatu hari aku berburu ke hutan, aku menangkap seekor kijang, namun hari keburu gelap. Aku tidak bisa pulang, kijang itu kuikat di sebatang pohon. Lalu aku naik sebatang pohon bilwa. Karena aku lapar dan haus, aku tidak dapat tidur. Aku teringat anak istriku yang malang di rumah, menungguku pulang dengan rasa lapar dan gelisah. Untuk melewatkan malam aku memetik daun bilwa dan menjatuhkannya ke tanah.”

Kelanjutan ceritanya identik dengan kisah Lubdaka di Indonesia (kecuali tanpa dikejar-kejar oleh harimau buas). Termasuk Penghapusan dosa.

Penulis tahu, ada banyak pihak (termasuk cendikiawan Hindu di abad-21 ini) yang menilai istilah “Malam Peleburan/Penghapusan Dosa” untuk Siwaratri adalah tidak tepat, karena bisa mengaburkan konsep “Karmapala dan Punarbawa” dan bisa disalahpersepsikan lalu digunakan sebagai celah untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari dharma.

Anak sulung saya (Mahasiswa Fakultas Teknik PTN di Bali), juga menilai istilah “peleburan dosa” untuk Siwaratri sebagai sesuatu yang berpotensi disalahpersepsikan. Khususnya cerita Lubdaka, anak saya menilai sudah “ boring.”

Kisah Lubdaka Boring: Adakah Yang Lain?

Mengenai kisah Lubdaka yang “boring”, berikut adalah isi percakapan singkat (dan tidak menarik)antara saya (disebut “Ayah”) dan anak sulung saya (disebut “Anak”) yang bisa digolongkan sebagai generasi Abad-21:

Ayah: “Boring gimana?”

Anak: “Ya bosen aja. Dari aku SD sampai kuliah, cerita Lubdaka kan begitu aja. Memangnya tidak ada kisah lain?”

Sebenarnya ada beberapa kisah lain (baik dalam Itihasa atau Purana) yang mengungkapkan kisah terkait Siwaratri. Namun, entah mengapa semuanya menceritakan kisah masa lalu kehidupan seorang pendosa yang akhirnya sadar dan memperoleh pengampunan dosa. Bahkan ada beberapa yang polanya sama, yaitu kehidupan seorang pemburu, mirip seperti kisah Lubdaka.

“Siwa Purana” pada bagian “Jnana Samhita” misalnya, memuat dialog antara seseorang bernama Suta dan beberapa orang Rsi. Dalam percakapan tersebut dikisahkanlah seorang pendosa yang kejam bernama Rurudruha. Sang pendosa menjadi sadar akan dosa-dosa yang telah diperbuat setelah melakukan brata Siwaratri. Setelah tersadar lalu ia tinggalkan semua perbuatan dosanya, lalu dengan mantap berjalan di jalan dharma.

Lalu “Skanda Purana” bagian “Kedarakanda” yang memuat percakapan antara seseorang bernama Lomasa dengan Para Rsi, juga menuturkan kisah seorang pemburu yang identik dengan kisah pemburu dalam Santi Parwa (Mahabarata), yang menurut penulis adalah sumber asli yang digunakan untuk menyusun kisah Lubdaka di Indonesia.

Berikutnya adalah “Garuda Purana” bagian “Acarakanda” yang memuat petunjuk Siwa (Mahadewa) kepada Parwati (Saktinya Siwa) mengenai Brata apa yang terpenting. Dalam purana ini, Siwa menceritakan pentingnya pelaksanaan Maha Siwaratri, dengan menggunakan sarana kisah perjalanan hidup seseorang raja bernama Sudarasenaka. Oleh Siwa diceritakan (kepada Parwati), raja Sudarasenaka pergi berburu ke hutan. Urutan cerita inipun identik dengan yang dimuat dalam Santi Parwa (Mahabharata) dan Lubdaka (versi Indonesia).

Terakhir, “Padma Purana” bagian “Uttarakanda”—dimana Rsi Wasistha mengungkapkan pentingnya pelaksanaan Brata Siwaratri—juga memuat kisah seorang pemburu bernama Nisadha. Dikisahkan, berkat Brata Siwaratri yang dilaksanakan, Nisadha berhasil mencapai Siwa Loka.

Dari berbagai sumber yang ada, sekalilagi, hampir semuanya mengungkapkan pentingnya pelaksanaan Brata Siwaratri dengan menggunakan latarbelakang kisah kehidupan pendosa yang kemudian menjadi sadar dan memperoleh pengampunan dosa. Sekalilagi, idem ditto dengan kisah Lubdaka yang kita kenal di Indonesia.

Jadi, dengan berat hati saya sampaikan kepada anak saya bahwa, tidak ada kisah lain yang bisa disampaikan selain versi “pendosa yang kemudian sadar dan memperoleh pengampunan dosa” seperti Lubdaka.

Yang membuat saya tak habis pikir terhadap pandangan anak saya, kenapa kisah Lubdaka dirasa membosankan? Meskipun kisah Lubdaka sesungguhnya mungkin saduran dari kisah-kisah aslinya di India, tetap saja penting untuk kita (umat Hindu) pahami sebagai inspirasi sekaligus tuntunan hidup terkait Siwaratri.

(Lanjutan percakapan saya dengan anak)

Anak: Nah itu Yah. Jika dikatakan sebagai inspirasi, apakah kisah Lubdaka dan kisah-kisah serupa itu masih relevan di masa sekarang sehingga bisa menginspirasi? Dan jika dikatakan sebagai tuntunan, apakah kisah Lubdaka applicable untuk kondisi saat ini?

Ayah: Kenapa tidak relevan? Kenapa tidak applicable?

Anak: Mana ada yang berburu di jaman sekarang. Jangankan hewan buruan atau harimau, hutanpun sudah habis dibabat. Lalu apanya yang menginspirasi? Berburunya? Manjat pohonnya? Begadang sambil metik daun ‘Bila’-nya? Apa yang bisa dijadikan panduan untuk aplikasi di masa sekarang?

Menanggapi pertanyaan anak saya itu, maka saya paparkan bagaimana relevansi kisah Lubdaka dengan kehidupan di Abad-21 sekarang ini, seperti bagian di bawah ini.

Relevansi Siwaratri dan Kisah Lubdaka di Abad-21

Dengan pengetahuan dan pemahaman yang serba terbatas, dan dengan segala kerendahan hati, saya berpendapat: Disamping menginspirasi thus bisa dijadikan tuntunan hidup oleh penganut Hindu di jaman manapun, jauh lebih penting lagi kisah Lubdaka juga menjadi panduan utama dalam menjalankan Brata Siwaratri secara benar.

Mari kita kupas kisah Lubdaka. Singkat saja. Mudah-mudahan relevansinya dengan kehidupan masa kini bisa terlihat dengan jelas.

 

1. Berburu

Lubdaka menghidupi diri sendiri dan anak istrinya dengan cara berburu binatang di hutan. Disamping dikonsumsi bersama anak dan istrinya sendiri, daging hasil buruannya juga dijual dan uangnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Upaya Lubdaka untuk bisa survive adalah wajar; semua yang bernyawa butuh makan, bahkan tumbuh-tumbuhan sekalipun. Namun cara yang ditempuh Lubdaka tergolong adharma yakni memburu dan membunuhi bintang (=himsa karma).

Seseorang di abad-21 menghidupi diri-sendiri dan keluarga dengan cara menjadi petani, nelayan, pedagang, pegawai negeri, pegawai swasta, manager, direktur, pejabat, politisi, konsultan, debt-collector, calo, pelayan café, preman, penipu, pelacur, penyelundup, pengedar narkoba, pencopet, jambret, bahkan pembunuh bayaran.

Apapun profesi yang kita jalani di abad-21 ini, sekalilagi apapun, sebagian kecilnya berupa upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar mempertahankan hidup (makan & minum secukupnya), sedangkan sebagian besarnya justru berupa PERBURUAN keinginan-ambisi-kepuasan-dan-kesenangan. Anda-saya-dan-yang lainnya, disadari-atau-tidak, sedikit-atau-banyak, setiap hari melakukan perburuan.

Diantara semua aktivitas perburuan yang kita lakukan sehari-hari di abad-21, ada saja yang—entah disadari atau tidak—tergolong himsa. Ingat, yang disebut himsa tidak hanya membunuh, melainkan juga menyakiti perasaan orang lain.

Jangan karena membeli daging kiloan di pasar lalu yakin tidak sedang melakukan himsa. Rumah potong hewan (jagal) ada untuk memenuhi kebutuhan kita akan daging. Andai tidak ada yang membutuhkan daging, maka penjagalan hewan tidak akan pernah terjadi.

“Jangan engkau gunakan tubuh pemberian Tuhan untuk membunuh ciptaan-ciptaan Tuhan, baik manusia, maupun hewan atau apa pun.” ~Ayur Weda

Dalam Mahabharata, Anusasanika Parwa, dijelaskan:

“Pembeli daging melakukan Himsa (kekerasan) dengan kekayaannya; yang memakan daging tersebut melakukannya karena dia menikmati rasanya; yang membunuh melakukan himsa (kekerasan) dengan secara langsung mengikat dan menyembelihnya. Karena itu, terdapat 3 bentuk pembunuhan:

(a) Orang yang membawa dan mengirimkannya;

(b) Orang yang memotong-motong dagingnya; dan

(c) Orang yang membeli, menjual, atau memasak dan memakan daging tersebut –mereka semua dikenali sebagai pemakan daging.”

Sedikit-atau-banyak, langsung-atau-tak langsung, setiap hari kita melakukan tindakan himsa.

Manusiawi? Tentu saja. Selama masih hidup di alam material ini, kita semua dalam kondisi awidya, tidak ada yang benar-benar tanpa dosa. Jadi, tak hanya Lubdaka seorang, kita yang hidup di abad-21 pun juga dalam kegelapan budhi/citta. Melalui Brata Siwaratri kita mohon kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa agar dibebaskan dari kegelapan dan dianugrahi kesadaran budhi/citta thus kejernihan pikiran.

 

2. Kondisi Kritis dan Pencerahan

Dalam perburuannya, suatu ketika, Lubdaka menemui kesulitan yang tidak mampu ia pecahkan. Lubdaka dikejar harimau buas, hingga terpaksa menginap di atas pohon ‘Bila’. Lubdaka mengalami kebuntuan; tak ada yang bisa ia lakukan selain memanjat pohon (Bila). Lebih apesnya lagi hari sudah mulai gelap, jika turun dia khawatir dimangsa harimau atau hewan buas lainnya. Tidak saja buntu, Lubdaka benar-benar dalam kondisi kritis. Dalam kondisi buntu dan kritis, disamping mengkhawatirkan keselamatan nyawanya sendiri (takut mati), Lubdaka juga mengkhawatirkan anak-istrinya yang sedang menunggu di rumah.

Agar tidak sampai jatuh karena ketiduran, Lubdaka melewatkan waktu dengan cara memetiki daun Bila dan menjatuhkannya satu persatu. Perjalanan (spiritual) seseorang tak bisa ditebak. Secara tak terduga ternyata di bawah dahan pohon Bila dimana Lubdaka nangkring sejak petang terdapat sebuah telaga dengan Linggam Dewa Siwa di tengah-tengahnya. Akibatnya, setiap lembar daun Bila yang dijatuhkan oleh Lubdaka tepat mengenai Linggam Dewa Siwa.

Perbuatan Lubdaka menjatuhi Linggam Siwa dengan daun Bila secara terus menerus—sejak petang hingga tengah malam—mirip seperti mengguyuri Linggam Siwa dengan kembang yang, dalam kondisi terbatas, bisa disetarakan dengan ‘Japa’ (chanting), yakni menyebut dan memuja nama Siwa secara terus menerus.

Dewa Siwa dikenal sebagai “Yang Maha Pengasih dan Penyayang,” yakni manifestasi Tuhan yang menyayangi dan mengasihi ciptaanNYA tanpa pandang bulu. Syaratnya cuma: Tulus dan Penuh Pengabdian. Jangankan seorang Pinandita yang beryadnya untukNYA, bahkan permohonan seorang papa yang diselimuti kegelapan (hati) pun akan memperoleh anugrahNYA asalkan dilakukan dengan penuh rasa pengabdian dan ketulusan. Terlebih-lebih pada saat “Malam Siwa” (Siwaratri).

Dalam kisah ini, Lubdaka (seorang pelaku himsa), hanya karena menjapa Siwa secara tak sengaja, hanya dengan guyuran daun Bila sebanyak 108 kali, pun dianugrahi kecerahan atau kesadaran jiwa. Apa wujud kesadaran itu? Lubdaka yang semula hanya mengkhawatirkan hidupnya (terancam dimangsa harimau) dan kondisi anak-istrinya, sejak tengah malam berubah menjadi sadar akan perbuatan dosanya selama ini. Separuh malam yang ia lalui berubah menjadi “perenungan dosa.” Itu sebabnya Siwaratri sering juga disebut sebagai “malam perenungan dosa.” Setelah menerima anugrah pencerahan, Lubdakanpun bertekad untuk menyudahi kebiasaannya berburu dan untuk selanjutnya akan mengasihi mahluk ciptaan Tuhan lainnya, termasuk hewan yang biasanya ia buru, dan mantap di jalan Dharma. Lubdaka memperoleh anugerah kecerahan dari Sang Hyang Siwa.

Dalam perburuan kita di abad-21 ini, seringkali kita dihadapkan pada kesulitan yang tak terpecahkan—buntu. Konflik pekerjaan/profesi yang tak terpecahkan misalnya, atau tak mampu melunasi hutang yang menumpuk. Disamping kesulitan-demi-kesulitan, suatu ketika akan ada masanya dihadapkan pada kondisi kritis. Misalnya: disamping tak mampu melunasi hutang juga dibebani penyakit berat (stroke misalnya), kritis.

Dalam kondisi buntu dan kritis, apa yang terlintas dalam pikiran?

  • Pertama, mengkhawatirkan nyawa diri-sendiri; takut akan kematian. Siapa—di abad 21 ini—yang tidak takut menghadapi maut? Saya yakin tidak ada.
  • Kedua, mengkhawatirkan anak-istri dan orang-orang terkasih; bagaimana nasib mereka nanti setelah ditinggal mati.

Setiap masa kritis, sama seperti yang dihadapi oleh Lubdaka, selalu diikuti oleh dua kemungkinan keadaan:

  • Terperosok ke dalam kubangan dosa yang lebih gelap lagi; ATAU
  • Mengalami pencerahan, tersadar, bangkit dan meninggalkan kubangan dosa, seperti Lubdaka.

Masalahnya, kematian adalah ketakutan terbesar manusia (manapun di era manapun) dan secara tidak langsung menjadi sumber dari kegelapan budhi/citta manusia. Takut mati dan mengkhawatirkan orang-orang yang dikasihi seringkali menjadi pemicu utama tindakan nekat bahkan bagi orang yang mulanya baik sekalipun; tak peduli salah-atau-benar, jahat-atau-baik, himsa-atau-ahimsa, apapun akan dilakukan asal bisa terhindar dari kematian. Padahal, pada kenyataannya, tak ada satu orangpun yang mampu—dengan cara apapun—menghindar (apalagi menyelamatkan orang-orang yang dikasihinya) dari ancaman kematian.

Lalu, apa yang diajarkan oleh kisah Lubdaka kepada kita para penghuni abad-21?

Pertama, jika tak mau terperosok dan celaka, dalam kondisi kritis JANGAN BANYAK BERGERAK. Sebagai gantinya, diamlah, berkontemplasilah. Diam dan merenung adalah CARA SATU-SATUNYA untuk memberi kesempatan Jiwa (Atman) suci—yang bersemayam dalam diri kita—memancarkan cahayanya dan menerangi budhi/citta kita, sehingga beroleh kesadaran dan jalan yang terang; mampu membedakan mana jalan dharma dan mana adharma

Kedua, kendalikan indria (=nafsu, ambisi, keinginan berlebih). Disamping dorongan biologis, rasa ingin makan dan minum—apalagi secara berlebihan—adalah wujud dari dorongan indria yang paling dasar dan halus. Rasa ingin makan/minum adalah cikal-bakalnya semua indria. Awalnya hanya terdorong oleh rasa ingin makan/minum hari ini. Setelah dipenuhi, ego membesar, muncul lah rasa takut tidak makan besok, lusa, satu bulan, satu tahu bahkan hingga tujuh turunan—maka jadilah pengumpul harta yang tamak dan menggunakan segala cara untuk memenuhi keinginan itu. Menahan lapar/dahaga (upawasa) adalah cara paling dasar dalam melatih diri agar mampu mengendalikan indria. Secara biologis, perut kosong mengurangi produksi kalori/panas dan mengurangi kerja tubuh. Berkurangnya panas menimbulkan rasa sejuk thus dan berkurangnya kerja tubuh membawa otak memasuki gelombang tetha. Ini adalah kondisi yang dibutuhkan oleh Jiwa (atman) untuk bisa menyinari budhi/citta thus pikiran.

Ketiga, tidak perlu sampai monabrata sehari-hari, cukup kendalikan ucapan dan tutur-kata. Ucapan harus benar dan jujur, tidak menyakiti perasaan orang lain, usahakan menyejukkan, memberi pengetahuan/pemahaman, menggugah hati orang lain untuk menjadi sadar, dan tak kalah pentingnya adalah bermanfaat. Selain itu, sebaiknya tidak berbicara. Secara biologis, citta/budhi tidak berfungsi maksimal sebagai filter ketika fokus otak digunakan untuk berbicara. Untuk mengoptimalkan citta/budhi, kurangi berbicara.

Keempat, tetap percaya dan yakin akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang. Wujudnya, japa (sebut) lah nama Tuhan Yang Maha Esa—dalam manifestasinya Sang Hyang Siwa—sebanyak 108 kali dalam konteks Siwaratri—dan mohon lah agar dibebaskan dari kegelapan serta diberikan kesadaran pikiran sehingga mampu membedakan mana jalan dharma dan mana adharma. Tidak hanya dalam kondisi kritis saja; lakukanlah setiap saat, sebanyak dan sesering mungkin. Niscaya akan dianugrahi kecerahan dan kesadaran.

Kelima, jagra yang artinya melek atau terjaga. Bukan berarti begadang setiap hari, melainkan selalu sadar, sehingga selalu mampu membedakan mana perilaku dharma dan mana adharma. Lalu bangkit dan tinggalkanlah perbuatan salah yang pernah dilakukan selama ini, apapun itu, seberapapun ukurannya, kemungkinan besar ada. Anggap saja ada.

Keenam, jangan pernah mengulangi kesalahan; tetap berada di jalan dharma untuk selamanya, hingga tujuan Moksartham Jagadhita tercapai.

Itulah yang saya sampaikan kepada anak sulung saya kemarin, tentang Siwaratri, Kisah Lubdaka dan relevansi dengan kehidupan kita di abad-21.

(Lanjutan percakapan saya dengan anak)

Anak: Khusus mengenai Maha Siwaratri sebagai “malam perenungan dosa, pembangkit kesadaran dan peleburan dosa,” seperti yang dialami oleh Lubdaka, masalahnya di abad-21 ini kan tidak semua orang menjadi pendosa besar yang tidak tahu mana salah mana benar. Sebagian besar dari kita sekarang ini telah belajar membedakan dharma dan adharma, tahu tattwa, susila dan upacara. Apakah Maha Siwratri masih dibutuhkan?

Ayah: Tidak semua orang pendosa. Betul. Artinya, ADA juga pendosa seperti Lubdaka, bukan? Copet, Jambret, Pencuri, Perampok, Pelacur, Pengedar Narkoba, Koruptor, dlsb, mereka semua masih punya kesempatan untuk sadar dan kembali ke jalan dharma. Caranya? Laksanakan Bratha Siwaratri!

Anak: Apakah dengan melaksanakan bratha Siwaratri terus kita, terlebih-lebih pendosa, akan terbebas dari pataka seperti yang disampaikan dalam Siwa Purana?

Ayah: Menurut Ayah, IYA!, Ayah Percaya itu.

Anak: Ya secara kerohanian aku juga percaya yah. Cuma, apakah tidak mengaburkan konsep Karmapala dan Punarbawa?

Mari kita masuk ke dalam topik teknis pelaksanaan Brata Siwaratri dan Maha Siwaratri.

Teknis Pelaksanaan Siwaratri

Apakah Siwa Purana yang menyebutkan “dengan pahala Brata Maha Siwaratri (red: yang kita laksanakan mala mini) maka semua Pataka (red: pahala dosa dan papa) sebanyak dan sebesar apapun, akan lenyap (red; terhapus)” tidak mengaburkan konsep Karmapala dan Punarbawa?

Entah orang lain, menurut saya tidak. Yang membuat itu terkesan bertentangan dengan konsep Karmapala dan Punarbawa adalah persepsi sempit kita yang mengasumsikan semua orang akan “sukses” menjalankan Brata Maha Siwaratri. Pada kenyataannya:

  • Berapa orang yang berupawasa?
  • Berapa orang yang bermona brata?
  • Berapa orang yang me-jagra secara benar selama menjalankan brata?

Dan, jangan lupa, kisah Lubdaka dan (kisah-kisah lain dalam semua Purana) jelas mengisyaratkan bahwa, penghapusan Pataka hanya terjadi setelah mengalami kesadaran (pencerahan) dan mampu tetap konsisten di jalan dharma setelah menjalankan Brata Maha Siwaratri. BUKAN langsung “syuuuuuutttt” masuk Siwa Loka begitu selesai menjalankan Brata Maha Siwaratri. Nah,

  • Berapa orang yang mengalami kesadaran (pencerahan) Budhi/citta dan Manah? Dan—yang tak kalah pentingnya…
  • Berapa orang yang mampu terus sadar dan konsisten berada di jalan dharma setelah menjalankan brata Maha Siwaratri?

Oleh sebab itu Brata Siwaratri mestinya rutin dilaksanakan:

1. SETIAP TAHUN (Wariga/Caka), yakni setiap Pengelong ke-14 Sasih Kepitu (=sehari menjelang Tilem Sasih Kepitu), yang—disamping dimaksudkan untuk memohon agar selalu diberik kesadaran—juga dimaksudkan agar diampuni segala dosa dan dihapuskan segala pataka yang pernah dialami. TIDAK ADA SALAHNYA memohon pengampunan dosa dalam Brata Siwaratri, bahkan setiap hari. Bukankah dalam tiap Tri Sandya yang kita panjatkan 3x sehari selalu menyampaikan “Om Papa Ham Papa Karma Ham” lalu “Om Kesama swamam” dan terakhir “Om Kesantawiya Kayika Dosa, Om Kesantawiya Wacika Mama, Om Kesantawiya Manasa Dosa”?

2. SETIAP BULAN (Wariga/Caka), yakni pada Pengelong ke-14 (=sehari menjelang Tilem) di semua sasih, yang dimaksudkan untuk memohon kepada Sang Hyang Siwa agar dibebaskan dari kegelapan yang menyelimuti budhi/citta, sehingga mampu membedakan mana jalan dharma yang sebaiknya kita ikuti dan mana jalan adharma yang seharusnya kita hindari.

Pelaksanaan Brata Siwaratri setiap bulannya (setiap Pangelong Ping 14 di semua sasih) bisa dipandang sebagai bentuk upaya “follow up” dari brata Maha Siwaratri yang dilaksanakan setiap tahun, sekaligus ‘alarm’ bulanan agar selalu ingat untuk konsisten berada di jalan Dharma.

Adapun teknis pelaksanaan Brata Siwaratri di Bali adalah sebagai berikut (disadur dari Babad Bali):

  • Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
  • Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu.

Brata Siwaratri terdiri dari:

(a) Utama, melaksanakan:

  • Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
  • Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
  • Jagra (berjaga, tidak tidur) dan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa.

(b) Madhya, melaksanakan:

  • Upawasa.
  • Jagra.

(c) Nista, hanya melaksanakan:

  • Jagra.

Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:

1. Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin.

2. Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.

3. Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya.

4. Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:

  • Sang Hyang Siwa.
  • Dewa Samodaya.

5. Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarâtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.

Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upowasa dan jagra.

Upawasa berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam). Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih. Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam). Perlu diingat bahwa yang disebut jagra dalam hal ini tidak sekedar begadang, tapi juga fokuskan niat-dan-tujuan untuk semata-mata memuja dan mengabdi kepada Sang Hyang Siwa dan sebut nama beliau secara terus menerus.

Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.

Summary

Tak peduli apapun profesi seseorang, hidup di era manapun, sedikit banyaknya pernah berbuat dosa, termasuk himsa karma, langsung atau tak langsung, ringan atau berat. Oleh sebab itu, brata Siwaratri dan Maha Siwaratri, tentu saja, selalu relevan di jaman manapun.

Istilah “malam peleburan dosa” untuk Brata Siwaratri (Malam Siwa), samasekali TIDAK BIAS apalagi bertentangan dengan konsep Karmapala dan Punarbawa, sepanjang dipahami bahwa anugrah penghapusan pataka (=pahala dosa) hanya akan diterima setelah seseorang mengalami kesadaran (pencerahan) budhi/citta secara permanent thus selalu berada di jalan Dharma; bukan tiba-tiba masuk ke alam Siwa Loka begitu selesai melaksanakan Brata Siwaratri.

Demikian juga dengan kisah Lubdaka dan kisah-kisah sumbernya yang terdapat di dalam berbagai Purana. Selalu relevan di era manapun, termasuk di abad-21 sekarang ini.

Dari alur ceritanya, kisah Lubdaka (yang bersumber dari kisah-kisah di berbagai Purana yang ada) nampaknya memang dimaksudkan untuk menginspirasi mereka yang sedang berada di jalan yang salah (adharma)—seperti yang telah disebutkan di atas—agar mereka punya keberanian sekaligus keyakinan untuk meninggalkan perbuatannya selama ini.

Kisah Lubdaka memberi kita gambaran bahwa, jangankan yang selama ini telah berusaha agar selalu berada di jalan dharma (menjalankan tattwa, susila dan upacara), bahkan seorang pendosa seperti Lubdaka pun masih punya kesempatan untuk sadar dan terbebas dari kegelapan. Betapa banyak dan beratpun kesalahan yang pernah kita buat, TIDAK ADA KATA TERLAMBAT UNTUK SADAR DAN KEMBALI KE JALAN DHARMA!

Mari, semeton Hindu semua, kita laksanakan Brata Siwaratri dengan sebaik-baiknya, secara rutin, dan untuk selanjutnya (setelah Siwaratri) jaga agar Budhi/Citta selalu dalam kondisi sadar, sehingga bisa terus konsisten berada di jalan Dharma. Caranya? Kontemplasi, kendalikan indria, kendalikan ucapan, ingat (dan sebut) nama Tuhan, jaga kesadaran, jangan ulangi kesalahan. selalu berada di jalan dharma. Singkatnya, aplikasikan brata Siwaratri ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kesungguhan dan ketulusan, semoga bisa. Awignam Astu.


Ditayangkan sebelumnya dari situs posbali
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait