Generasi Millenial Sebagai Pemegang Hak Suara Cukup Besar

Generasi Millenial Sebagai Pemegang Hak Suara Cukup Besar

Generasi millenial dipastikan mengambil porsi besar sebagai pemegang hak suara dalam pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden-Wakil Presiden, 17 April 2019. Bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis setidaknya 40% pemilih dalam Pemilu 2019 berasal dari generasi millenial.

Menyikapi itu, sejumlah ancang-ancang telah dipasang partai politik (parpol) untuk menjaring suara pemilih millenial. Salah satunya strategi yang diterapkan Partai Demokrat.

Ketua DPD Partai Demokrat Bali, Made Mudarta menyampaikan, pihaknya telah memetakan potensi pemilih dari sisi usia dimasing-masing wilayah. Dari pemetaan itu didapatkan hasil bahwa besaran pemilih pemula diangka 30% lebih, danswing voter mencapai 38,5%. Menurutnya untuk menjaring potensi itu, partai bintang mercy ini memasang caleg muda disemua tingkatan diproporsi 45%.

"Biasanya swing voter ini biasanya mengikuti tren ya, dalam rangka menentukan pilihannya. Arusnya kemana, yang aktif mengikuti sosial media, berita-berita terkini, begitu juga lebih melihat kepada dimana anak muda itu lebih banyak. Karena dariswing voter itu jumlah mayoritas itu memang kaum millenial ya. Kalau di Bali angkanya pemilih pemula, kamu millenial ini kisaran 30 persen ya. Angka cukup besar ya,"katanya kepada RRI di Denpasar, Sabtu (2/2/2019).

"Oleh karenanya, Demokrat menyampaikan proyek percontohan kepada kaum millenial adalah kami, Demokrat adalah partai yang secara khusus mengusung tema berpolitik bersih, cerdas, santun. Santun kita garis bawahi ya. Karena politik santun itu adalah politik sesuai dengan adat, budaya Indonesia," imbuhnya.

Strategi yang pihaknya usung sesuai jargon politik bersih, cerdas, santun dijabarkan melalui ajakan memilih calon legislatif (caleg) yang berkualitas dengan rekam jejak tanpa cela. Bahkan dengan berani politisi muda asal Kabupaten Jembrana ini mengimbau generasi millenial untuk tidak memilih caleg berlatar belakang preman, penjudi, dan pemabuk.

"Mayoritas barangkali msyarakat itu melihat partai politik, bahkan mayoritas yang terpilih itu mereka tergolong preman ya, anak jalanan yang suka mabuk, yang suka kumpul di posko apalagi sekarang rezim demokrasi langsung. Dimana mereka yang dikenal oleh rakyatlah yang dipilih. Nah tentu bagi mereka generasi kita yang dicalegkan tentunya mereka yang suka bergaul, suka metajen (judi sabung ayam, red), main judi interaksinya lebih banyak dengan masyarakat ya. Begitu juga yang tergolong dengan disebut preman, pakai tato dan lain sebagainya, suka ngobrol di poskamling, suka minum, suka mabuk, justru ini yang kebanyakan terpilih," tegasnya.

"Ini tantangan tersendiri bagi kita. Demokrat sendiri tidak memilih mereka kelompok ini sebagai caleg. Karena kami ingin mendorong mereka yang terpilih itu betul-betul bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah pemilihnya, menjalankan fungsi legilasinya," tambah Mudarta.

Ditanya dampak pencalonan mantan narapidana kasus korupsi terhadap elektabilitas parpol bersangkutan, Mudarta menyebut hal itu tergantung kepada pilihan konstituen. Ia tidak menutup mata, caleg berkualitas dan bersih kalah saing dengan politisi mantan koruptor yang notabena cacat dimata hukum. Alasannya caleg bermasalah lebih berani mengeluarkan uang ketimbang calon legislatif yang memiliki idealisme.

"Karena pemilu langsung, syarat dikenal itu sangat penting. Masyarakat parameternya disini yang utama. Ada mereka tokoh-tokoh yang bersih, yang tidak pernah korupi, visinya juga bagus, tetapi ketika tidak dikenal masyarakat, suaranya akan kurang. Dan terkadang ada yang menyandang status mantan terpidana kasus korupsi, tetapi lebih dikenal, dicintai masyarakat, dan mereka juga lebih berani memberikan bantuan kepada masyarakat, justru ini yang berpotensi terpilih. Inilah memang tantangan berat bagi kita," pungkasnya.

 

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait