Istana Tampak Siring

Istana Tampak Siring

Istana Tampak Siring yang terletak di Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali, merupakan satu-satunya Istana Kepresidenan yang dibangun setelah Indonesia Merdeka. Kelima istana lainnya merupakan bangunan yang telah berdiri sejak jaman kolonialisme Belanda, antara lain Istana Negara dan Istana Merdeka (Jakarta), Istana Bogor (Bogor), Istana Cipanas (Cipanas), serta Gedung Agung (Yogyakarta). Istana Tampak Siring biasanya digunakan oleh presiden untuk beristirahat, melakukan rapat kerja, serta melakukan perundingan luar negeri. Pada tanggal 27 April 2007, misalnya, Istana Tampak Siring menjadi saksi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.

Nama Tampak Siring berasal dari dua buah kata dalam bahasa Bali, yaitutampak dan siring yang berarti: “telapak” dan “miring”. Penamaan tersebut berkaitan erat dengan legenda masyarakat setempat tentang Raja Mayadenawa. Raja ini dikenal pandai dan sakti mandraguna. Namun, karena kelancangannya mengangkat diri sebagai dewa yang harus disembah oleh rakyatnya, maka Betara Indra mengutus bala tentara untuk menyerang Raja Mayadenawa. Serangan ini membuat Mayadenawa melarikan diri ke dalam hutan. Untuk menyamarkan jejaknya, Mayadenawa sengaja berjalan dengan cara memiringkan telapak kakinya.

Namun sayang, usaha Mayadenawa untuk mengelabui bala tentara Betara Indra gagal, jejaknya akhirnya diketahui. Dengan sisa-sisa kesaktiannya, Raja Mayadenawa mencoba melawan dengan menciptakan mata air beracun yang dapat membunuh para pengejarnya. Untuk menanggulangi akibat buruk dari mata air beracun itu, Betara Indra menciptakan sumber mata air penawarnya, yaitu Tirta Empul (air suci). Wilayah pelarian Raja Mayadenawa itulah yang kini dikenal sebagai Tampak Siring.

Istana Tampak Siring dibangun oleh seorang arsitek bernama R.M. Soedarsono atas prakarsa Presiden Soekarno. Pembangunan istana kepresidenan ini terbagi ke dalam dua masa, yaitu tahun 1957 dan 1963. Pada tahun 1957, di kompleks ini dibangun Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira. Sementara pada tahun 1963, pembangunan tahap kedua merampungkan dua gedung utama lainnya, yaitu Wisma Negara dan Wisma Bima, serta satu Gedung Serba Guna (gedung konferensi).

Istana Tampak Siring dibangun di areal berbukit dengan ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut (DPL). Para pelancong yang mengunjungi tempat ini dapat menyaksikan riwayat dan fungsi gedung bersejarah yang pernah digunakan oleh para presiden Republik Indonesia. Pada Wisma Merdeka yang memiliki luas 1.200 m2, misalnya, pengunjung dapat melihat Ruang Tidur I dan Ruang Tidur II Presiden, Ruang Tidur Keluarga, Ruang Tamu, serta Ruang Kerja dengan penataan yang demikian indah. Di gedung ini wisatawan juga dapat melihat hiasan-hiasan berupa patung serta lukisan-lukisan pilihan.

Sementara di Wisma Negara, para turis dapat menyaksikan sebuah bangunan dengan luas sekitar 1.476 m2 yang merupakan bangunan untuk menjamu para tamu negara. Antara Wisma Merdeka dan Wisma Negara terdapat celah sedalam + 15 meter yang memisahkan dua wisma tersebut. Oleh sebab itu, dibangunlah sebuah jembatan sepanjang 40 meter dengan lebar 1,5 meter untuk menghubungkan dua wisma itu. Para tamu negara biasanya akan diantar melalui jembatan ini untuk menuju Wisma Negara, sehingga jembatan ini juga dikenal dengan nama Jembatan Persahabatan. Para tamu kehormatan yang pernah melewati jembatan ini antara lain, Kaisar Hirihito dari Jepang, Presiden Tito dari Yugoslavia, Ho Chi Minh dari Vietnam, serta Ratu Juliana dari Nederland.

Wisma Yudhistira merupakan tempat menginap rombongan kepresidenan maupun rombongan tamu negara. Wisma yang terletak di tengah kompleks Istana Tampak Siring ini memiliki luas sekitar 1.825 m2. Sedangkan Wisma Bima dengan luas bangunan sekitar 2.000 m2 biasanya digunakan sebagai tempat istirahat para pengawal presiden maupun pengawal tamu negara. Gedung lain yang tak kalah penting adalah Gedung Konferensi. Gedung ini sengaja dibangun untuk keperluan rapat kabinet, jamuan makan malam tamu kenegaraan, serta konferensi-konferensi penting, seperti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV yang diselenggarakan pada tanggal 7—8 Oktober 2003 silam.

Masih dalam kawasan istana ini, para turis juga dapat menikmati obyek wisata lainnya yang cukup terkenal di Pulau Bali, yaitu Pura Tampak Siring yang berada tepat di bawah Istana Tampak Siring. Pura ini juga dikenal dengan nama Pura Tirta Empul karena di pura ini terdapat sumber mata air suci (“tirta empul”). Di tempat ini, para turis dapat melakukan meditasi maupun meraup berkah dengan cara mandi di kolam khusus yang dialiri oleh air dari Tirta Empul. Mata air yang disakralkan ini konon sudah digunakan untuk penyucian dan pengobatan sejak seribu tahun yang lalu.

Istana Tampak Siring terletak di  Desa Tampak Siring,  Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali, Indonesia.

Kompleks Istana Tampak Siring dan Pura Tirta Empul berada kurang-lebih 40 kilometer dari Kota Denpasar. Dari Ibu Kota Propinsi Bali ini, wisatawan dapat menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum (taksi). Namun, apabila menginginkan tamasya yang praktis, para turis dapat menyewa jasa biro perjalanan (travel agent) yang terdapat di Kota Denpasar.

Para pelancong yang memerlukan penginapan dapat menyewa hotel maupun resort di sekitar Tampak Siring. Bagi mereka yang hobi belanja maupun penikmat kuliner juga dapat memuaskan hasratnya di kios-kios suvenir dan warung makan yang banyak tersedia di kawasan ini


Ditayangkan sebelumnya dari situs wisatabali2010
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait