Terancam Dikucilkan, Klian Pura Dalem Agung Keramas Masih Bingung Kesalahannya

Terancam Dikucilkan, Klian Pura Dalem Agung Keramas Masih Bingung Kesalahannya

Mengenakan pakaian adat madya, puluhan krama Desa Pekraman Keramas, mendatangi Kantor Camat Blahbatuh, Gianyar Selasa (1/12/2015). Kedatangan mereka bertujuan untuk mencari titik temu ihwal berbedanya persepsi mengenai awig-awig desa.

Polemik ini pun memicu sanksi adat berupa kanorayang makrama atau kasepekang atau dengan lain kata pengucilan.

"Dalam menjalankan awig dan pararem ini, terjadi selisih pemahaman yang dilakukan oleh seorang krama desa," ujar Bendesa Pakraman Keramas, Nyoman Puja Waisnawa, Selasa siang awak media.

Muspika Blahbatuh dan Majelis Alit Desa Pakrman (MADP)Blahbatuh juga turut dihadirkan. Mediasi pun berlangsung alot. Ada yang datang untuk mendukung prajuru desa, ada juga yang datang untuk mendukung krama yang menerima sanksi.

Hampir empat jam berlangsung, mediasi diakhiri dengan kesepakatan akan menggelar paruman desa berikutnya.
Masalah ini bermula saat satu warga Desa Pekraman Kramas, Ida Bagus Made Suarjana diberikan surat dengan Kop Desa Pakraman Keramas tertanggal 16 November 2015. Surat itu ditandatangani langsung oleh Bendesa setempat, I Nyoman Puja Waisnawa.

Dalam surat tersebut dinyatakan paruman yang dilakukan oleh Prajuru Adat Desa Pakraman Keramas memutuskan bahwa, Ida Bagus Made Suarjana sebagai penampung krama tamiu atau penduduk pendatang telah melanggar awig-awig dan pararem.

Ini karena dia menghalangi langkah pecalang saat memungut iuran adat berjumlah Rp 15.000 perorang terhadap dua penduduk pendatang asal Karangasem yang ditampungnya. Atas hal tersebut, Gus Suarjana pun dinyatakan bersalah karena corah (menghalangi) dan tidak menjalani swadarmaning dan sesana atau kewajiban sebagai krama desa.

Aksinya kemudian berimbas pada ancaman lima sanksi yakni, Ayahan Pinaka Panukun Sisipe (penebus kesalahan), Artha Danda (harta benda), Nunas Pengampura (meminta maaf), Penyagaskara (upacara pengembalian keharmonisan sekala-niskala), dan Kanorayang Makrama atau Kasepekang (pengucilan).

"Dari lima ancaman sanksi itu, baru diingatkan nomor 2,3 dan 4. Dari surat itu apabila selama dua minggu sejak tanggal 17 November 2015 sampai 2 Desember 2015 tidak dilakukan, maka sanksi berikutnya akan dilanjutkan pada Kanorayang melalui paruman," ujar Bendesa Keramas, I Nyoman Puja Waisnawa.

Jadi, besok adalah hari penentu di mana sanksi berikutnya bisa saja menyusul jika Ida Bagus Made Suarjana tidak tunduk pada hasil paruman tersebut.

Pemungutan penukun ayah-ayahan bagi penduduk pendatang sebagaimana diatur dalam awig-awig dan pararem setempat dilakukan sejak 1 Oktober 2015. Sebelum dilakukan pemungutan, prajuru Desa Adat Keramas dikabarkan telah berkordinasi dengan Perbekel Desa Keramas.

Saat itu disampaikan bahwa adat akan melakukan pemungutan penukun ayah-ayahan dari pendatang yang dilakukan oleh pecalang. Sementara untuk Dinas, jika ingin memungut Kipem bagi pendatang dipersilakan. Atau bisa dijadikan satu dengan petugas pecalang. Hanya saja dalam hal ini belum ada kepastian dari Dinas.

Atas surat yang dilayangkan prejuru desa, Ida Bagus Made Suarjana merasa tidak bersalah. Pria yang menjabat sebagai Klian Pura Dalem Agung Keramas ini teguh dengan pendiriannya. Dia bergeming tetap menolak sanksi yang diberikan oleh prajuru Desa Pekraman Keramas.

"Saya belum jelas kesalahnya di mana, tapi sudah diberikan sanksi. Justru sebenarnya saya yang harusnya merasa keberatan diberikan sanksi sebelum diadili secara jelas," ujarnya.

Jika kemungkinan terburuk berupa sanksi kesepekang dijatuhkan padanya, dia menilai itu hanya keputusan sepihak oleh para prejuru saja. Ia yakin, krama Desa Pekraman Keramas tidak sepakat dengan sanksi tersebut.

"Ini prejuru dan jajarannya yang nyepekang, bukan krama. Saya yakin krama tidak setuju dengan sanksi itu (pengucilan)," tandasnya.

Selain itu, dengan tegas dia membantah tudingan menghalangi ataupun menolak pungutan adat terhadap dua warga pendatang yang dia tampung. Dia hanya mempertanyakan landasan pemungutan tersebut. Alasannya, dia sudah memenuhi kewajiban administrasi dengan pembayaran KIPEM atas dua krama yang tinggal di tempatnya. MADP Blahbatuh pun menyerahkan sepenuhnya kepada adat.

Namun dari aspek Hak Asasi Manusia (HAM), diajurkan agar Desa Pekraman tidak mencantumkan sanksi kasepekang atau pengucilan. MADP menilai sanksi pengucilan bertentangan dengan hukum nasional dan internasional.

"Banyak pertimbanganya, mau tidak mau kita harus mengakomodasi hukum nasional dan internasional. Banyak tuntutan sekarang khususnya masalah HAM," ujar perwakilan MADP Blahbatuh, Tjokorda Gde Agung Surapta.(*)


Ditayangkan sebelumnya dari situs tribunnews
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait