Sejarah Kerajaan Bedahulu / Bedulu, Bali (Bagian 2)

Sejarah Kerajaan Bedahulu / Bedulu, Bali (Bagian 2)

Asal - Usul Bedahulu

 

Ratna Bhumi Banten yang sebagian besar diantaranya adalah keturunan sang Ratu Ugrasena leluluh Sanjayawamsa, kesatrya Kalingga. 

Gajah Mada

Keturunan belia sangat berani sehingga terus menduduki jabatan penting sebagai Panglima Perang sampai pemerintahan Gelgel dan bergelar Jlantik. Beliau terkenal sebagai Arya Ularan panglima Dulang Mangap (Pasukan inti Kerajaan Gelgel) yang menaklukkan Blambangan dan Jlantik Bogol terkenal sebagai pahlawan perang Pasuruhan. Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten adalah seorang penganut agama Budha yang taat terbukti pada tahun 1338 M beliau banyak mendirikan tempat tempat suci agama Budha. Dalam melaksanakan ibadah keagaman beliau sering melaksanakan persembahyangan di Pura Besakih dengan didampingi para Mentri dan pendeta Siwa-Budha. Keadaan yang berlangsung aman dan tentram tersebut tiba tiba terancam karena sikap dari Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Ratu Majapahit Tribhuwana Wijayatunggadewi, meskipun beliau adalah keturunan Majapahit. Alasan Beliau bersikap demikian karena Bali sudah dari dahulu dibawah lindungan kerajaan Daha. Hubungan antara Kerajaan Bali dan Kerajaan Daha sudah berlangsung sejak  pemerintahan Raja Putri Ganapriya Dharmapatni yang memerintah Bali tahun 989-1001M. Karena hubungan inilah maka Bali mengadakan perlawanan terhadap kerajaan Singhasari, tahun 1222 M , namun Bali baru dapat ditaklukkan pada tahun 1284 oleh Prabu Kertanegara. Selanjutnya karena runtuhnya kerajaan Singhasari oleh Jayakatwang tahun 1292 maka Bali kembali menjadi pengawasan Kerajaan Daha. Pada Tahun 1293 Kerajaan Daha mengalami keruntuhan karena serangan oleh Kerajaan Majapahit sehingga Bali langsung dikuasai oleh Raja Majapahit.

Keputusan Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten untuk menentang Majapahit tercetus dalam rapat dengan para menterinya dimana Keputusan tersebut akibat pengaruh dari Menteri Pertahanan (Senapati danda) yang bernama Ki Bima Sakti yang di Majapahit terkenal dengan nama Werkodara. Adapun politik pemerintah Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten sekarang sungguh sangat berbeda dibandingkan yang sudah sudah, bahkan beliau sekarang bersikap membangkang dan tidak menghiraukan perintah-perintah dari Majapahit. Karena sikap beliau tersebut maka beliau dijuluki Raja Bedahulu, “Beda” artinya berbeda (pendapat) dan “Hulu” berarti atasan. Tegasnya raja ini melepaskan diri dan tidak mau tunduk dibawah kekuasaan Majapahit sebagai atasan yang dulu mengangkatnya. Sikap dan prilaku Raja ini didengar oleh Ratu Majapahit karena itu Ratu Tribhuwana Tunggadewi menjadi marah besar sehingga beliau merencanakan untuk mengirim pasukan besar ke Bali dibawah pimpinan Patih Gajah Mada dan panglima Arya Damar (Adityawarman) Untuk lebih jelasnya bahwa Raja Bali diangkat oleh Singhasari dan Majapahit dapat diuraikan sebagai berikut :|

  • Setelah akhir pemerintahan Raja Kembar Mahasora dan Mahasori atau yang lebih dikenal dengan Raja Masula Masuli yang menjadi Raja Bali adalah Sri Hyang Ning Hyang Adidewa Lencana (tahun 1260 -1286 M). Pada masa pemerintahan raja ini, Bali diserang dan dikuasai oleh Kerajaan Singhasari dibawah kepemimpinan Raja Kertanagara. Raja Adi dewa Lancana kemudian ditangkap dan dibawa ke Singhasari tahun 1286 M. Sejak itulah Bali menjadi kekuasaan kerajaan Singhasari. Dengan dikuasainya Bali oleh Singhasari maka pengangkatan raja raja Bali selanjutnya dilakukan oleh Raja Singhasari. Namun Demikian karena Kerajaan Singhasari runtuh akibat Penyerangan dari Prabu Jayakatwang yang menyebabkan Prabu Kertanagara Gugur maka selanjutnya pengangkatan raja Bali dilakukan oleh Majapahit yang merupakan penerus dari kerajaan Singhasari. Raja Bali pertama yang diangkat oleh Prabu Kertanagara adalah Ki Kryan Demung yang berasal dari Jawa timur yang kemudian digantikan oleh putranya Ki Kebo Parud.

 

  • Berikutnya yang menjadi raja Bali adalah Sri Paduka Maharaja Batara Mahaguru (1324-1328 M). Beliau diangkat oleh Raja Majapahit yaitu Prabu Jayanegara/ Kalagemet. Yang menggantikan beliau adalah putranya sendiri yaitu Sri Tarunajaya dengan gelar Sri Walajaya Kertaningrat (1328-1337 M). Sesudah beliau meninggal dunia, maka digantikan oleh adiknya yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang berarti Raja yang berkuasa (1337-1343 M)


Mitos Tentang Raja Bedajul/bedulu

Suatu hari, Raja Sri Tapolung, Raja Bali Kuno terakhir, bertamasya ke daerah Batur diiringi patih Ki Pasung Grigis. Tiba di Panelokan, sang raja diuji oleh sang patih. “Paduka, jika paduka benar sakti dan dapat melepaskan jiwa dari raga, mohon tunjukkanlah pada hamba!” kata Ki Pasung Grigis. Permohonan Ki Pasung Grigis dikabulkan. Sang raja pun bersemadi. Beberapa saat kemudian, kepala sang raja lepas dari raganya. Kepala Sri Tapolung diceritakan melesat ke surga. Ki Pasung Grigis kini hanya menghadapi badan rajanya tanpa kepala. Setelah lewat tiga hari, kepala SriTapolung belum kembali juga. Ki Pasung Grigis mulai khawatir. Kebetulan saat itu ada seekor babi lewat. Babi itu pun dipenggal dan kepala babinya itu disatukan dengan raga Sri Tapolung. Tak dinyana, beberapa saat kemudian kepala Sri Tapolung kembali. Mengetahui kepalanya diganti dengan kepala babi, sang raja pun murka dan mengutuk orang-orang Bali Aga. Karena berkepala babi, sang raja kemudian dijuluki Bedahulu atau Bedamuka (beda kepala). Mitologi ini masih tertanam kuat di kalangan masyarakat Bali hingga kini. Mitos raja berkepala babi ini memang kerap diceritakan sebagai dongeng atau pun cerita dalam suatu pementasan drama tradisional. 

Penikmat teks kemudian menginterpretasikan cerita Raja Bedahulu ini secara lebih kritis. Cerita raja berkepala babi ini dipersepsikan sebagai simbolisasi dari sikap Raja Bali Kuno terakhir itu yang tidak mau mengakui supremasi kekuasaan Majapahit. Sang raja ingin menempatkan Bali sebagai kerajaan berdaulat dan merdeka, terbebas dari cengekeraman kekuasaan luar. Interpretasi ini kemudian didukung dengan hasil penelitian para sejarawan dan arkeolog.

Dalam sejumlah sumber-sumber Bali Kuno, Raja Sri Tapolung disebut-sebut sebagai raja yang kuat, bervisi, disegani dan dihormati rakyatnya. Raja ini diberi gelar sebagai Sri Asta Sura Ratna Bhumi Bhanten, penguasa Bali yang memiliki delapan kekuatan dewa. Sikap inilah yang dipandang Majapahit berbahaya bagi ambisi kerajaan itu menguasai Nusantara. Karenanya, Bali kemudian dijadikan target utama untuk ditundukkan. Melalui tipu muslihat sang patih Gajah Mada, Bali berhasil ditaklukkan. Penaklukan oleh Majapahit tidak serta merta membuat rakyat Bali Kuno mengakui kekuasaan Majapahit di Bali. Malah sebaliknya, gelombang perlawanan tiada surut di pulau mungil ini. Hingga akhirnya terjadi negosiasi politik antara penguasa Majapahit dengan orang-orang Bali Aga untuk memadamkan perlawanan. Namun, Majapahit tampaknya menyadari benar, kecintaan rakyat Bali terhadap rajanya yang terakhir masih sangat dalam.

Sisa peninggalan Kerajaan Bedulu

Tarian Tradisional

Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa (Wong Majapahit). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, Desa Tenganan Kec. Manggis Kabupaen Karangasem serta di desa-desa Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was, dan Padangbulia di Kabupaten Buleleng. Beberapa obyek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah pura Jero Agung, Samuan Tiga, Goa Gajah, dan Pura Bukit Sinunggal. Kawasan Bedahulu dan Pejeng di utara Gianyar tercatat dalam sejarah sebagai pusat pemerintahan sebelum jaman Majapahit sedangkan Samplangan di timur Gianyar adalah pusat pemerintahan saat awal kekuasaan Majapahit merangkul Bali. Goa Gajah baru ditemukan kembali pada tahun 1923. Walaupun Lwa Gajah dan Bedahulu, yang sekarang menjadi Goa Gajah dan Bedahulu, telah disebutkan di dalam kitab Nagarakertagama ditulis pada tahun 1365 M. Pada tahun 1954, ditemukan kembali kolam petirtaan di depan Goa yang kemudian disusul dengan pemugaran dan pemasangan kembali area-area pancuran yang semula terletak di depan Goa dalam keadaan tidak lengkap.

Kekunoan Pura Goa Gajah dapat dibagi menjadi dua bagian. Lokasi Pura Goa Gajah yang dikalangan penduduk setempat lebih dikenal dengan nama Pura Goa, terletak disebelah barat desa Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, kira-kira 27 Km dari Denpasar. Suatu kunjungan ke Pura inidapat dilakukan dengan mudah, karena letaknya hanya beberapa meter di bawah jalanraya menuju desa Tampaksiring. Sesungguhnya Pura ini dibangun di embah sungai Petanu, dengan panorama alam yang indah, disela-sela pohon-pohon nyiur dan sebuah sungai kecil bercampur dengan Sungai Petanu dibawahnya. 

Fasilitas Pura Goa Gajah sebagai peninggalan sejarah dan purbakala yang penting, kecuali berada di tepi jalan raya yang baik, juga mempunyai fasilitas-fasilitas pendukung yang memadai. Di sebelah barat pura terdapat Restaurant Petanu (Petanu, Food and Beverage) dan dari sini pengunjung dapat menyaksikan alam disebelah utaranya dengan air terjun, walaupun tidak terlalu besar. 

Tidak jauh dari restaurant ini, ke arah barat terdapat beberapa buah toko-toko souvenir yang baik. Di tepi jalan raya (di atas Pura Goa Gajah),telah dibangun sebuah Warung Telekomunikasi untuk komunikasi yang diperlukan. Ditempat parkir, terdapat juga warung-warung minuman dan souvenir serta toilet untuk umum, sedangkan di sebelah selatan Pura (di samping ceruk pertapaan) telah dibangun sebuah balai istirahat untuk berteduh, dengan toilet, sebuah kolam kecil dan sebuahtaman kecil. Disamping itu, kini sedang dibangun sebuah wantilan, di ujung tangga turunke halaman pura, untuk keperluan masyarakat dan pengunjung. 

Agak ke barat dari Wantilan ini, di balik pohon-pohon yang rindang terdapat sebuah toilet. Di sebelah selatan tempat parkir, terdapat dua buah restaurant. Sementara menikmati hidangan di restaurant ini, pengunjung dapat memandang ke selatan atau ke bawah (ke sebelah timur Pura), menikmati alam yang indah disertai desiran angin yang menyegarkan. Dewasa ini, Pura Goa Gajah semakin banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik dari nusantara maupun mancanegara.

Deskripsi Bagian utara terdiri dari sebuah Goa Alam yang dipahat berbentuk huruf “T”. Di dalam Goa ini terdapat sebuah arca Ganesa, yang dianggap sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan, fragmen-fragmen arca dan sebuah trilangga yang dikelilingi oleh delapan buah lingga kecil-kecil. Pada bagian dinding Goa, terdapat ceruk-ceruk pertapaan dan bagian muka Goa, kecuali dihiasi dengan pahatan yang menggambarkan sebuah hutan belantara dengan isinya, juga dilengkapi dengan sebuah kepala kala memakai subang.

Di dinding Goa terdapat juga prasasti singkat yang berbunyi “Kumon” dan“sahywangsa”, yang menurut tipe hurufnya diduga berasal dari abad 11 M. Di sebelah barat Goa, di dalam sebuah bangunan terdapat sebuah arca jongkok, Ganesa dan arca Men Brayut yang di dalam mitologi agama Budha dikenal sebagai Hariti, penyelamat anak-anak. Di depan Goa, kecuali arca penjaga, terdapat juga fragmen-fragmen bangunan yang tidak diketahui asal usulnya, seperti fragmen-fragmen bangunan yang sekarang tidak dikumpulkan di halaman pura di sebelah barat kolam petirtaan. Arca-arca pancuran yang sekarang telah berfungsi kembali di dalam kolam petirtaan yang dibagi menjadi tiga bagian, menurut gayanya diduga berasal dari abad 11 M. Sayang sekali arca pancuran yang terletak di kolam paling tengah, belum ditemukan hingga sekarang. Di sebelah kanan Goa, memang terdapat sebuah arca Pancuran Ganesa, tetapi ternyata tidak cocok dengan kolam yang paling tengah tadi.

Kehidupan Bali Kuno

Adapun bagian yang kedua dari Pura Goa Gajah ialah bagian sebelah Tenggara. Di sini terdapat dua buah arca Budha, yang sebuah tanpa kepala dan sebuah lagi masih cukup baik dengan gaya Jawa Tengah. Di sebelah utara arca ini, masih kelihatan melekat ditebing yaitu bagian kaki dari candi tebing yang bagian atasnya telah lama jatuh ke dalam sungai kecil. Di dalam sungai kecil ini terdapat relief stupa bercabang tiga, reruntuhan candi tebing dengan pahatan-pahatan yang indah. Di sebelah barat sungai kecil ini terdapat sebuah ceruk pertapaan. Berdasarkan temuan kepurbakalaan tersebut di atas, dapat diketahui, bahwa Pura Goa Gajah berasal dari abad 9 dan 11 M. Yang dahulu kala berfungsi sebagai tempat pertapaan Bhiksu Buddha dan Pendeta Siwa. Kekunoan ini juga menunjukkan penyatuan ajaran agama Buddha dan Siwa berlangsung dengan baik. Di seberang jalan raya di atas Pura Goa Gajah terdapat sebuah pura yang disebut pura Jempinis yang dalam ritual keagamaan masih mempunyai hubungan erat sekali denga Pura Goa Gajah. Di sini juga terdapat beberapa arca kuno dan fragmen - fragmen bangunan.

Bersambung....

Sebelumnya (bagian 1)....

 

 

 

sumber: sarubaligh.blogspot

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait