Reuni Akbar Kaum Nasionalis Bali : "Menggaungkan Nasionalisme Ditengah Pragmatisme"

Reuni Akbar Kaum Nasionalis Bali : "Menggaungkan Nasionalisme Ditengah Pragmatisme"

Masyarakat Indonesia saat ini mengalami degradasi semangat nasionalisme. Sebagai bukti, yaitu maraknya aksi bentrok antar kelompok yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Aksi terorisme menjadi salah satu bukti nyata, dimana kepentingan kelompok mengalahkan semangat nasionalisme. Bahkan dalam aksi terorisme terdapat keinginan untuk menganti Pancasila dengan ideology lain. Penilaian tersebut disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Denpasar Ida Bagus Dedy Adiwinata dalam keteranganya di Denpasar (18/3/200\16)

Menurut Dedy, semangat nasionalisme cenderung terabaikan karena sifat pragmatism dan kepentingan sesaat. Masih melekat dalam ingatan adanya kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama yang melarang mengucapkan selamat hari raya buat agama lain. Namun dalam kenyataanya tidak ada yang menyingkapi dan cenderung melakukan pembiaran. Kondisi ini menjadi bukti bahwa toleransi dan nilai-nilai nasionalisme sudah diabaikan. "Kita Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama, dengan mengedepankan nilai nasionalisme kita bersatu menjadi satu negara yang berdaulat" ujar Dedy Adiwinata

Modal terbesar Negara dalam pembangunan pada dasarnya bersumber kepada kesadaran warga negaranya. Setelah bergantinya orde baru yang terkenal dengan asas tunggalnya, berbagai ideologi terus berkompetisi menunjukkan pamor. Satu sisi, fokus yang ditunjukkan oleh kebijakan pemerintah dalam menarik konsep pembangunan hari ini lebih cenderung berakar kepada ideologi Kapital yang identik dengan kekuatan pasar. Di sisi lain, tidak sedikit yang menawarkan gagasan-gagasan agama. "Diantara pertempuran gagasan yang ada, nasionalisme oleh beberapa kalangan dinyatakan mengalami kepudaran" tegas Dedy Adiwinata

Dedy menyampaikan jika menengok pandangan Bung Karno, pada dasarnya bangunan Indonesia merdeka berasal dari apa yang disebut "Samen Bundeling van Alle Revolutionaire Krachten". Kekuatan Indonesia merdeka ada dalam tiga kekuatan yang berbeda, yaitu Nasionalisme, Agama dan Marxisme. Ketiga kekuatan ini memiliki taktis yang berbeda, tapi mengarah kepada watak kolektif dan tujuan yang sama, yaitu Perikemanusiaan yang adil. Dalam tujuan yang sama inilah konsep nation building didirikan. Dimana Pancasila menjadi kontrak sosial bagi pembangunan Indonesia merdeka. Walaupun kenyatannya kini, kekuatan marxisme sudah hilang digantikan kekuatan kapitalisme, yang identik dengan kelahiran kaum individualis.

Dedy menambahkan gaung nasionalisme kini hanya dikumandangkan oleh kaum nasionalis semata. Salah satu kaum nasionalis yang ada hingga saat ini adalah GMNI. Tepat 23 maret nanti, GMNI menjadi organisasi mahasiswa beraliran nasionalisme pertama yang menapaki usia 62 Tahun. Dalam usia tersebut, GMNI senantiasa menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya kaum nasionalis. Dengan kesadaran nasional, menerima bahwa kekuatan-kekuatan lain yang ada juga tetap eksis dan harus diperhatikan sebagai kekuatan pembangunan, menjadi ajaran terpenting dari nasionalisme ala Indonesia. Nasionalisme ala Indonesia yang menurut Bung Karno bukan "Djinggo Nasionalisme", tapi sosio nasionalisme. Nasionalisme yang mencari keselamatan umat manusia.

Dalam menyempurnakan bakti nasional GMNI, pergerakan pembangunan harus terus dikonsepsikan. Membangun konsepsi nasional tidaklah harus saling memaksakan kehendak, mengingat adanya kekuatan lain, yang juga bagian dari kekuatan pembangunan Indonesia, yaitu pihak agama dan pihak potensial lainnya. Selama masih ada dalam koridor tujuan awal mencapai perikemanusian yang adil dan makmur, semua kekuatan adalah kekuatan nasional.  Sekali lagi, musyawarah mufakat adalah cara yang paling sempurna untuk tabiat khas nasionalisme ala Indonesia ini.

Untuk melahirkan konsepsi-konsepsi berwatak nasional yang berkesinambangan, pertemuan kembali kaum nasionalis GMNI yang kental dengan jiwa marhaenisme adalah suatu kebutuhan. Untuk alasan ini, memperhatikan romantisme sejarah pergerakan GMNI di Bali, menjadi hal yang selalu harus dijadikan pedoman. Karena, pergerakan nasional tanpa romantik, dapat dipastikan akan kehilangan spiritnya. Karena kitab suci bagi kaum nasionalis adalah sejarah itu sendiri. Hukum sejarah adalah hukum yang menjadi das sollen bagi kaum nasional.

Untuk mewadahi pertemuan kembali kaum nasionalis GMNI, maka DPC GMNI Denpasar bersama-sama DPD Persatuan Alumni GMNI Bali menyelenggarakan Sarasehan dengan tema "Merangkai Kronik Pergerakan GMNI di Bali, dan Memantapkan Gerakan dalam Membangun Daerah" . Pertemuan akbar ini merupakan pertemuan keempat, dimana sebelumnya pernah dilakukan pada tahun 1994, 2001, dan 2010.

Pertemuan akbar kaum nasionalis ini akan digelar pada 20 maret 2016, pukul 16.00 Wita di gedung Yayasan Panti Marhaenis,  jalan Banteng 1 Denpasar. Pertemuan akbar ini dimaksudkan untuk membangun spirit Kader baru GMNI. "Pertemuan keempat ini semacam forum komunikasi antar generasi GMNI. Diharapkan dengan kegiatan ini, dapat memberikan sepirit baru bagi generasi GMNI di Bali sekarang ini, sehingga kedepanntya dapat terus melahirkan kader-kader pejuang pemikir dan pemikir pejuang GMNI yang kuat dalam mental, ideology, unggul dalam intelektual yang mampu menggaungkan ide nasionalisme dari pulau dewata ini"

Ketua DPD Persatuan Alumni GMNI Bali I Dewa Kade Wiarsa Rakasandi berharap acara ini menjadi ajang kebangkitan kaum nasionalis, sekaligus kebangkitan GMNI. "Nasionalisme harus dikuatkan, melalui kegiatan ini semoga dapat memberikan energi baru bagi pergerakan kaum nasionalis, dan menjadi momentum kebangkitan GMNI kembali" kata Rakasandi

Alumni GMNI 1962, Widminarko menyambut baik kegiatan tersebut, dan berkenan menjadi narasumber. Selain itu, sarasehan ini juga dalam rangka menghimpun informasi, data dan dokumen untuk penerbitan buku tentang sejarah perjuangan GMNI di Bali. "Belajar dari kiprah GMNI berarti belajar tentang konsistensi terhadap nasionalisme Indonesia, yang selalu mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan sempit, kepentingan suku, agama dan kepentingan golongan dan kedaerahan. Nasionalisme menjadi parameter pertama dan utama dalam memecahkan tiap problem dalam menghadapi tantangan bangsa ini" Ungkap Widminarko, tokoh wartawan senior di Bali itu


Ditayangkan sebelumnya dari situs Redaksi
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait