Pura Dalem Balingkang Bukti Akulturasi Tionghoa dan Bali, Keyakinan pada Ratu Subandar

Pura Dalem Balingkang Bukti Akulturasi Tionghoa dan Bali, Keyakinan pada Ratu Subandar

Warga Tionghoa bersukacita merayakan Tahun Baru Imlek 2567/2016, hari ini Senin (8/2/2016).

Di Bali, perayaan Imlek bukan sesuatu yang baru lagi, bahkan sudah menjadi bagian dan berakulturasi dengan kebudayaan Bali.

Akulturasi antara warga etnis Tiongoa dengan Bali sudah terjadi sejak ratusan abad lalu.

Tak hanya budaya, perpaduan antara warga Tionghoa dan Bali juga terjadi dalam kehidupan beragama.

Ini dibuktikan dengan banyaknya pura di Bali dengan sentuhan Tionghoa.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Bali, Hendra Ariska Wasita.

“Yang umum besar adalah di Kintamani, yang mana juga asal Pura Dalem Balingkang, sebagai pura Hindu Tionghoa pertama. Hampir semua pura di Kintamani yang saya datangi, selalu ada pelinggih untuk Ratu Subandar dan pelinggih Tionghoa, yakni Dewi Kwan Im,” ujar Hendra.

Tak ada data akurat yang menyebutkan tahun berapa Pura Dalem Balingkang dibangun.

Berdasarkan lontar pun tidak ada data pasti.

Namun diperkirakan pura yang terletak di Desa Pakraman Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, ini sudah ada dari antara abad ke 9-11.

“Pura ini dibangun jauh sebelum zaman Majapahit, yakni di zaman Sri Raja Jayapangus yang memimpin Kerajaan Balingkang. Ada banyak versi legendanya, salah satunya cerita yakni kapal dari negeri China, yakni yang ditumpangi Kang Cing Wie dan keluarganya yang terdampar di perairan Bali. Ada yang bilang di Singaraja, Sanur, Tabanan, beda-beda versi,” ujarnya.

Dari sana, keluarga Kang Cing Wie dibawa ke hadapan Raja Jayapangus. Di sanalah kemudian Raja Jayapangus jatuh cinta dan mengawini Kang Cing Wie.

Cerita mengenai Kang Cing Wie adalah keturunan raja di China pun belum diketahui.

Namun yang bisa dipastikan, bahwa pada saat kedatangannya itulah pernak-pernik ritual Budha, seperti Kwan Im mulai ada.

“Hampir semua pura di Bali punya peninggalan berbau Tionghoa dan Buddhis. Buktinya di Pura Besakih, ada altar pemujaan khusus untuk Ratu Subandar, begitu juga dengan di Batur. Ratu Subandar itulah kira-kira yang menyimbolkan Puteri Kang Cing Wie,” tambahnya.

Orang Bali sendiri dikatakan Hendra mengakui Ratu Subandar ini adalah keturunan Tionghoa, namun secara rupa wajah memang dihilangkan.

Sehingga masyarakat sampai sekarang tidak mengetahui wujudnya seperti apa.

Ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa ada pertengkaran antara Dewi Danu, Permaisuri dari Jayapangus, dengan Putri Kang Cing Wie, yang kemudian mewariskan Barong Landung.

Sosok hitam bertaring dan giginya tonggos dan rambut seperti ijuk melambangkan Raja Jayapangus sebelum mengenal peradaban.

Sementara satunya lagi, sosok putih nongnong dan sipit, tipikal China melambangkan Kang Cing Wie.

“Barong Landung ini dilegendakan dan disembah dan ajaibnya di beberapa pura yang asli menyembah Barong Landung ini bisa beranak pinak. Dan yang tidak percaya ini berbuah dan melakukan pelanggaran bisa kualat dan sudah kejadian banyak. Ini kepercayaan Bali,” ujar Hendra, yang sangat fasih berbahasa Bali.

Tak hanya itu, warisan lainnya adalah uang kepeng atau pis bolong yang ditinggalkan hingga sekarang sebagai sarana spiritual untuk upacara leluhur saat meninggal.

Ada juga warisan kremasi yang diduga sebagai latar belakang tradisi ngaben.

“Kang Cing Wie meminta, setelah meninggal dikremasi. Nah itulah turunnya upacara ngaben. Dia meminta perwakilan barang-barang dimasukkan dalam satu wadah, bersama abu kremasinya dilarung ke laut. Karena laut mempertemukan daratan di dunia, dan Kang Cing Wie bisa kembali ke kampung halamannya dengan laut,” ujarnya.
Seiring perkembangan zaman, untuk jumlah etnis Tionghoa di Bali sendiri terus bertambah, namun secara angka tidak bisa disebutkan oleh pria kelahiran Klungkung ini.

Bahkan di Biro Pusat Statistik pun dikatakannya tidak ada data tersebut, hal ini dikarenakan banyaknya pembauran, dan jika dihitung dengan pendatang jumlahnya sangat banyak.

“Waktu kepemimpinan Gubernur Dewa Beratha membentuk Forum Komunikasi Paguyuban Etnis Nusantara saat Bom Bali I, dari sana diurut bahwa jumlah terbanyak adalah masyarakat Bali dan yang kedua terbesar adalah etnis Tionghoa,” ujar Hendra.

“Sementara untuk di Indonesia, jumlah etnis Tionghoa berdasarkan populasi menjadi ketiga terbesar setelah Jawa dan Sunda. Bedanya etnis Tionghoa terpencar di berbagai daerah di Bali,” ujarnya.


Ditayangkan sebelumnya dari situs tribunbali
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait