Perempuan Bali Kini Berhak Dapat Warisan, Begini Perhitungannya

Perempuan Bali Kini Berhak Dapat Warisan, Begini Perhitungannya

Hukum waris dalam adat Bali kini memasuki era baru. Jika selama ini perempuan tidak berhak atas warisan dari orang tuanya, kini perempuan Bali memiliki setengah dari hak waris yang diberikan kepada saudara laki-lakinya. Ketentuan mengenai hak waris perempuan Bali ini merupakan hasil Pesamuhan Agung III yang digelar pada 15 Oktober 2010, yang dituangkan dalam Keputusan Pesamuhan Agung MUDP Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, telah diatur ketentuan baru terkait hak ahli waris bagi kaum perempuan (predana). Keputusan ini kini terus disosialisasikan ke desa-desa pakraman di seluruh Bali agar ditindaklanjuti dengan mengadopsinya ke dalam awig-awigatau pararem.

Dalam Keputusan Pesamuhan Agung MUDP Bali itu disebutkan ahli waris yang kawin ke luar dan berstatus pradana atau tidak berada di rumah --dalam istilah Bali disebut ninggal kadaton terbatas--, berhak atas sepertiga dari warisan gunakaya (hasil kerja/harta gono gini) orang tuanya, setelah dikurangi sepertiga untuk duwe tengah atau untuk perawatan orang tua. Dengan kata lain, perempuan mendapat setengah dari harta warisangunakaya yang diterima oleh saudara laki-lakinya yang berstatus purusa.

Namun, ahli waris yang dikategorikan ninggal kadaton penuh atau pindah agama, tidak berhak sama sekali atas harta warisan, tetapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orang tuanya.

Sebelum adanya keputusan Pesamuhan Agung MUDP Bali, yang berlaku adalah nilai-nilai dalam hukum agama yang dalam konteks kapurusa bahwa harta warisan dilanjutkan kepada ahli waris laki-laki, sedangkan perempuan hanya mendapatkan pemberian yang disebut harta bawaan (tatadan) yang pemberiannya tergantung kepada kedudukan ahli waris laki-laki.

Mengenai harta tetamian (harta pusaka atau leluhur), tetap melekat pada purusa atau pihak laki-laki karena dalam Hindu dia yang mempuyai kewajiban material dan immaterial dalam keluarga.

Pakar hukum adat Bali yang juga Nayaka MUDP Provinsi Bali, Wayan P. Windia menyatakan Keputusan Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) pada 2010 yang bisa menjadi rujukan penyelesaian perkara soal waris menurut hukum adat Bali. “Hakim dan pihak bersengketa disarankan mengutamakan keputusan MUDP dari pada rujukan lain yang sebelumnya berlaku,” tambahnya.

Keputusan baru ini lebih memberikan keadilan pada perempuan karena memberikan kepastian tentang kedudukan istri dan anak terhadap warisan saat berumahtangga dan jika bercerai.

Pewarisan, menurut hukum adat Bali, sejatinya tak hanya membagi harta warisan tapi mengandung arti pelesatarian dan pengurusan kewajiban pewaris. Pihak perempuan yang berhak atas warisan adalah yang menikah dengan status ninggal kedaton terbatas, perempuan yang melangsungkan pernikahan biasa (bukan pindah agama), laki-laki yangnyentana, dan anak angkat.

Demikian juga jika dalam kasus perceraian, disepakati pihak laki atau perempuan dapat kembali ke rumah remajanya dengan hak dan kewajiban yang sama. Keduanya berhak atas pembagian harta bersama dengan prinsip bagi rata. Anak bisa diasuh pihak ibu tanpa memutuskan ubungan hukum dan kekeluargaan dari pihak ayah.

“Aturan ini lebih baik dibanding aturan pewarisan lain seperti Paswara 1900 pada zaman kolonial dan awig-awig desa pekraman lainnya yang tak mengatur secara jelas hal ini,” kata Windia.

Ketentuan hak waris perempuan Bali yang telah diputuskan dalam Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) diharapkan dapat segera diatur dalam pararematau kesepakatan bersama di setiap desa adat. Para bendesa (kepala desa adat) dapat segera memasukkan ketentuan ini dalam pararem dan awig-awig (ketentuan tertulis).

Sejatinya, pembagian hak waris yang sama sejak lama sudah diberlakukan di desa Bali Aga, Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Desa kuno ini menganut sistem pewarisan parental. Baik anak laki-laki maupun perempuan mendapatkan hak waris yang sama. Tak ada pembedaan. 

Warisan diberikan dengan sistem pembagian yang adil. Warisan dibagi setelah dipotong biaya upacara orangtuanya yang meninggal. Sementara rumah yang ditinggalkan akan menjadi hak dari anak yang terkecil. Yang diwarisi itu bukan saja harta benda. Kalau orangtuanya itu memiliki utang, mereka juga harus menanggungnya. (b.)


Ditayangkan sebelumnya dari situs bali saja
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait