Pembentukan Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia Provinsi Bali "Gabeng".

Pembentukan Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia Provinsi Bali "Gabeng".

Pembentukan Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia Provinsi Bali dituding "gabeng" atau tidak jelas. Tudingan tersebut menyusul tidak adanya kejelasan terkait pengesahan dari Gubernur   Bali. "rancangan organisasi sudah ada, sampai bagannya ada, tinggal SK (surat keputusan) Gubernur Bali" kata Tim Ahli Pengusul Warisan Budaya Dunia Provinsi Bali Prof. Dr. I Wayan Windia, MS saat ditemui di Denpasar pada Kamis siang (28/07/2016).

Menurut Windia, harusnya Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia Provinsi Bali segera dibentuk sebagai bagian dari komitmen saat mengajukan Subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia. Kenyataanya hingga saat ini keseriusan untuk menindaklanjuti komitmen tidak ada kepastian. Padahal pembentukan badan pengelola merupakan hal yang penting karena memiliki tugas untuk merancang aturan terkait pengelolaan warisan budaya dunia yang ada di Bali.  

Windia menyampaikan kemungkinan terdapat beberapa kendala terkait penetapan pembentukan badan pengelola tersebut. Beberapa alasan diantaranya adalah masalah anggaran karena operasional badan pengelola tersebut membutuhkan anggaran. Alasan berikutnya adalah kebutuhan akan kantor atau tempat bagi operasional badan pengelola.

Windia menegaskan Bali sangat membutuhkan badan pengelola warisan budaya dunia, khususnya subak. Seharusnya badan pengelola tersebut bukan hanya ditetapkan dalam sebuah surat keputusan gubernur saja, namun akan lebih baik jika ditetapkan dan dibuat dalam peraturan daerah. “harusnya dibuat perda, dulu sebelum Subak ditetapkan sebagai warisan budaya dunia sudah ada yang namanya Badan pengelola Warisan BUdaya Bali, tetapi hanya berlaku satu tahun” tutur Windia yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

Windia mengakui tahun lalu sempat diminta oleh DPRD Bali untuk kembali membuat kajian terkait pembentukan Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia Provinsi Bali. Namun permintaan tersebut menjadi aneh karena sebelumnya sudah ada kajian, bahkan sampai pembentukan rancangan organisasi badan pengelola. “apanya yang dikaji lagi, sudah ada dan tidak perlu kajian lagi. Langsung laksanakan janji-janji saat pengusulan ke UNESCO” tegas Windia.

Windia mengingatkan bahwa Bali bias saja mendapatkan peringatan dari UNESCO atau bahkan pencabutan stastus warisan budaya dunia karena kerusakan yang terjadi akibat belum terbentuknya badan pengelola. Seperti Jatiluwih yang sudah masuk dalam status lampu kuning, dimana sesuai janji ke UNESCO tidak ada alih fungsi lahan terhadap lahan subak. “sekarang terjadi alih fungsi lahan, ada restoran dan parkir dengan mengubah lahan sawah, kalau tidak merubah sawah, bagus” ujar Windia.

Sebelumnya setelah menunggu hampir 12 tahun, akhirnya pada sidang Komite Warisan Dunia Ke-36 Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan kawasan Jatiluwih Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan, Pura Taman Ayun Mengwi, Kabupaten Badung, daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dan Pura Ulundanu Batur, Kabupaten Bangli, sebagai satu kesatuan dalam penetapan Warisan Budaya Dunia. Warisan Budaya Dunia, selain menyangkut lahan pertanian Subak juga terdapat beberapa tempat suci (Pura), tiga buah danau yang meliputi Danau Buyan (Tabanan), Danau Tamblingan (Buleleng) dan Danau Batur (Bangli)  (CC-Red


Ditayangkan sebelumnya dari situs redaksi
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait