KPID Bali : Ortu Berperan Penting Saat Mendampingi Anak Menonton TV

KPID Bali : Ortu Berperan Penting Saat Mendampingi Anak Menonton TV

Komisioner KPID Bali I Nengah Muliarta menyatakan peran orang tua (ortu) sangat penting saat mendampingi anak menonton siaran televisi (TV). Orang tua harus mampu memilah dan memilih siaran televisi yang ramah anak. Hal tersebut disampaikan Muliarta saat Diskusi Publik Hukum Kejahatan Seksual dengan tema “Peran Lembaga Penyiaran Dalam Memerangi Kejahatan Seksual terhadap Anak” di kantor DPD RI Bali di Renon, Sabtu (2/7/2016).

Menurut Muliarta, anak cenderung meniru apa yang disaksikan melalui layar kaca. Pada beberapa kasus apa yang ditiru anak menyebabkan anak terjerumus dalam kasus hukum, termasuk menjadi pelaku dari kejahatan seksual terhadap temannya. Harus disadari peran yang diambil TV tidak lagi sebatas menjadi sarana untuk mendapatkan hiburan, namun telah mengambil hak asuh dan hak mendidik. Sebagai contoh kasus dimana televisi telah menjadi ibu asuh bagi anak-anak dalam sebuah keluarga. Anak-anak diberikan keleluasaan untuk menonton TV agar orang tua dapat melakukan aktivitas atau pekerjaan rumah tangga. “Terkadang orang tua membiarkan anak menonton TV dengan alasan agar anak tidak rewel dan menangis, tanpa mempertimbangkan siaran TV yang ditonton anak” kata Muliarta yang mantan reporter VOA tersebut.

Muliarta menyampaikan Jika dicermati maka dapat dijumpai bahwa masih banyak tayangan yang tidak mendidik serta cenderung menonjolkan hiburan semata. Contoh kasus dapat kita lihat dimana masih banyak tayangan kartun yang menyajikan kekerasan. Sering juga dalam film kartun dipertontonkan adegan salah satu tokoh yang berulangkali dibunuh tetap hidup kembali. Bagi seorang anak tentu tidak mengerti bahwa aksi-aksi dalam film kartun hanya imajinasi. Celakanya aksi tokoh kartun tersebut ditiru oleh anak-anak tanpa berpikir dampak yang ditimbulkan. Parahnya juga selama ini persepsi pekerja di lembaga penyiaran dan masyarakat di Indonesia bahwa film kartun adalah film untuk anak-anak. Belum lagi film tersebut kemudian mendapatkan tanda lulus sensor dari lembaga sensor film sehingga seakan-akan layak untuk disiarkan melalui TV. Padahal bila ditinjau dari sudut pandang Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran diberikan batasan bahwa isi siaran tidak boleh berisikan unsur kekerasan. Dalam upaya mengurangi unsur kekerasan dalam sebuah tayangan TV maka TV sebagai lembaga penyiaran memiliki kewajiban untuk melakukan sensor internal. Jika selama ini masih banyak tayangan kekerasan dalam siaran TV maka dapat disimpulkan sensor internal di lembaga penyiaran masih lemah.

Muliarta memaparkan jika melihat Undang-Undang penyiaran lebih jauh terutama dalam pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khususnya, yaitu anak-anak dan remaja dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau menyebutkan klasiffikasi khalayak sesuai isi siaran. Tayangan yang mendidik, informatif dan berkualitas sangat dibutuhkan dalam upaya perlindungan terhadap anak-anak. Dalam upaya menghasilkan siaran yang ramah anak maka kualitas pengelola lembaga penyiaran, baik dari reporter, redaktur hingga pemilik media harus memiliki persepsi yang sama terhadap upaya perlindungan terhadap anak. Tanpa adanya perspektif perlindungan anak dari pengelola lembaga penyiaran sangat tidak mungkin menghasilkan siaran yang ramah anak. Lembaga penyiaran juga memiliki tugas membangun kesadaran perlindungan anak melalui program siarannya. Program siaran tersebut dalam bentuk berita ataupun tayangan yang berperseptif perlindungan anak.

Muliarta menegaskan prilaku anak yang meniru apa yang ditayangkan televisi pada dasarnya bukanlah semata-mata kesalahan lembaga penyiaran. Tayangan televisi saat ini cukup beragam, tetapi lembaga penyiaran telah memberikan klasifikasi dalam setiap siaran. Klasifikasi siaran dapat dilihat dengan memperhatikan kode atau tanda dalam layar TV. Tanda tersebut berupa tanda R dalam lingkaran yang berarti tayangan khusus Remaja atau tanda BO dalam lingkaran yang berarti ketika anak menonton tayangan tersebut perlu bimbingan orang tua. Kenyataannya sangat jarang orang tua yang memperhatikan tanda dalam layar TV. Sebagian besar dengan alasan kesibukan, orang tua justru membiarkan anak menonton siaran televisi yang tidak sesuai dengan klasifikasinya. Kebiasaan buruk lainnya adalah prilaku orang tua yang menempatkan televisi di ruang tidur. Penempatan TV dalam kamar atau ruang tidur menyebabkan anak sering ikut menonton apa yang ditotonkan orang tua, padahal siaran tersebut khusus untuk kalangan dewasa. Dalam kondisi tersebut bukan siaran televisi yang tidak baik, tetapi anak menonton siaran yang tidak sesuai dengan usia dan kebutuhannya.

Muliarta menambahkan kewajiban orang tua untuk mendampingi anak saat menonton TV sangat jarang dapat dipraktekkan. Orang tua juga akan lebih mudah menyalahkan stasiun TV dengan menuding tidak mampu menyajikan siaran yang mendidik dan ramah anak. Pada sisi lain, pemahaman pekerja penyiaran juga perlu ditingkankan agar tetap mengedepankan perlindungan anak dalam mengemas siaran. Sedangkan pada sisi yang lain peran akademisi dan pemerintah dalam melakukan literasi media terkait cara memilih siaran TV dan menonton TV yang baik juga masih minim. Pada posisi ini diperlukan kesadaran bersama dalam upaya melindungi anak dari dampak buruk siaran TV. Perlu pemahaman bersama dalam menyiapkan dan mengemas siaran TV yang berkualitas dan mendidik bagi penerus bangsa. Perlu juga pemahaman dari orang tua terkait acara favorit anak dan membantu anak dalam memilih tontonan yang sesuai.

Sedangkan Anggota DPD RI asal Bali Gede Pasek Suardika, SH, MH dalam paparannya menyampaikan kejahatan seksual terhadap anak, baik anak sebagai pelaku maupun korban bukan hanya akibat siaran televisi. Kejahatan seksual terhadap anak juga terjadi karena kita sebagai bangsa yang masih munafik dan tidak realistis. Buktinya banyak aturan tetapi tidak menyelesaikan masalah, justru nambah aturan jumlah korban juga bertambah. “bagaimana melarang anak menonton TV, tetapi pada akhirnya anak dapat mendapatkanya melalui internet melalui youtube” tegas Pasek Suardika.

Menurut Pasek Suardika, keberadaan hukum sampai saat ini tidak mampu menyelesaikan masalah. Sebagai contoh batasan usia anak dalam berbagai produk aturan hokum yang ada tidak sama. Ada yang member batasan umur anak sampai 17 tahun dan ada juga yang memakai batasan 18 tahun. Kenyataanya dilapangan anak usia 17 tahun sudah bergaya sangat dewasa dan prilakunya seperti orang dewasa.

Pasek Suardika menceritakan kalau dulu keluarga akan berkumpul saat menonton televisi, namun dalam perkembanganya sekarang saluran televisi beragam. Kesukaan anggota keluarga terhadap program acara juga berbeda-beda, sehingga dengan alasan demokrasi menonton siaran maka satu keluarga bisa memiliki 2 atau 3 televisi. Akibatnya akibat kesukaan program siaran yang berbeda anggota keluarga sulit untuk berkumpul karena menonton televisi di kamar masing-masing. “kedepan mungkin siaran TV akan menjadi pengantar tidur, karena banyak yang beralih dan membuka youtube” ujar Pasek Suardika.

Pasek menegaskan munculnya kasus kejahatan seksual terhadap anak jangan hanya dilihat dari dampak siaran televisi. Harus juga dilihat dari angka putus sekolah yang terjadi pada anak-anak tingkat SD dan SMP. Sebagai contoh masih banyaknya angka putus sekolah di Kabupaten Karangasem. Angka putus sekolah ini menjadi ironi di wilayah Bali yang katanya pariwisata internasional. “karena putus sekolah mereka akhirnya menjadi korban phedofilia, apalagi dengan berkembangnya pariwisata banyak villa yang muncul sampai ke daerah terpencil” papar Pasek Suardika.

Sementara Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Dr. IB Surya Darmajaya, SH, MH mengatakan jika dilihat dari perspektif hukum pidana dan kriminologi anak cenderung belajar dari apa yang ditayangkan oleh televisi. Mereka juga terjebak dan belajar tentang apa yang dilakukan temannya.

Menurut Darmajaya, kejahatan seksual yang dilakukan anak juga sangat dipengaruhi oleh lemahnya ikatan kekeluargaan dalam keluarga. Anak melakukan kejahatan karena jarang berkumpul dengan keluarga, sehingga cenderung anak lebih percaya kepada temannya daripada kepada orangtuanya. “kedekatan anak dan orang tua harus tetap dijaga” ujar Surya Darmajaya.

Darmajaya menambahkan factor lainnya yang menyebabkan anak terlibat dalam kejahatan seksual anak adalah akibat lemahnya ikatan social. Anak kurang terlibat dalam kegiatan social dan justru lebih sering berkumpul dengan tujuan negative. (mul)


Ditayangkan sebelumnya dari situs redaksi
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait