Guru Besar Unud Konsisten Tolak Reklamasi Teluk Benoa

Guru Besar Unud Konsisten Tolak Reklamasi Teluk Benoa

 Denpasar, Salah satu Guru Besar Universitas Udayana yang juga Ketua Program Doktor S3 Pariwisata Universitas Udayana Prof. Dr. Komang Gede Bendesa, M.A.D.E menegaskan sikapnya tetap menolak reklamasi Teluk Benoa. Dia mempertanyakan sikap pemerintah yang terkesan ngotot mendukung reklamasi teluk benoa. Kondisi ini berlawanan dengan fakta-fakta hasil penelitian Unud reklamasi tidak cocok untuk keberlanjutan pariwisata Bali. “Kami selaku orang Unud menolak reklamasi Teluk Benoa, karena ini akan berubah wajah Bali. Kami khawatirkan Bali tidak akan lagi menarik setelah reklamasi,” tandas Prof. Bendesa saat menutup presentasinya pada International Tourism Conference: “Promoting Cultural & Heritage Tourism” di Kampus Universitas Udayana, Jumat (2/9) kemaren.  

Mantan Dekan FEB Unud ini mengatakan pemerintah di Bali cendrung mengatakan bahwa Bali mesti berubah jika ingin mendatangkan banyak wisatawan dimana pariwisata Bali tidak semata-mata mengandalkan budaya dan alam, tetapi juga atraksi buatan (man-made tourism). “Pemerintah mestnya menyadari pembangunan man-made tourism di Bali nggak berjalan lancar karena minim dukungan masyarakat. Buktinya, Garuda Wisnu Kencana mangkrak selama 20 tahun, sekarang lagi menginginkan reklamasi Teluk Benoa yang sudah tidak cocok dengan pariwisata budaya Bali,” tegas Prof. Bendesa. Ditambahkan, pemerintah selalu berhipotesa kalau Teluk Benoa berhasil maka akan menguntungkan Bali secara ekonomi, masyarakat akan lebih sejahtera, 200.000 lebih pengangguran akan berkurang.

Sejatinya, kata mantan Wakil Rektor 1 Unud, tidak ada hubungan langsung antara reklamasi dengan pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Alasannya, bekerja disektor pariwisata harus memenuhi persyaratan kompetensi tertentu sementara orang miskin dan pengangguran karena keterbatasan secara ekonomi mereka tidak melanjutkan pendidikan sesuai kualifikasi yg dibutuhkan sektor pariwisata.

Prof. Bendesa menegaskan perubahan pariwisata budaya Bali menjadi man-made tourism sebagai perubahan yang tidak diinginkan masyarakat Bali. Karenanya, Prof. Bendesa, tetap optimis kalau kunjungan wisatawan ke Bali tetap meningkat tanpa harus mereklamasi Teluk Benoa. Syaratnya, pemerintah harus taat pada roh pengembangan pariwisata di Bali yakni pariwisata budaya berdasarkan Tri Hita Karana (THK). Filosofi THK, katanya, mengisyaratkan pembangunan Bali berdasarkan asas keseimbangan dan harmoni.

Untuk keseimbangan pembangunan, katanya, pemerintah harus mendistribusikan investasi sektor pariwisata dari Bali Selatan ke kawasan lain seperti Buleleng, Bangli, Karangasem dan Klungkung. Saran lain, pemerintah Bali mesti menginvestasikan sedikit pendapatannya, untuk pengolahan air bersih mengatasi kekurangan ketersediaan air bersih di Bali. “Misalnya, debit air Tukad Unda diolah hingga layak dikonsumsi didistribusikan ke Gianyar, Denpasar, Badung dan yang lainnya,” Kata Prof Bendesa. Sesuai makalah tentang kajian carrying capacity Pulau Bali, Prof. Bendesa menyatakan Bali sudah krisis air hampir disemua kabupaten kecuali Kabupaten Bali. Terkait isu kemacetan yang menjadi keluhan wisatawan,  Prof. Bendesa mengakui untuk kawasan Kuta, Tanah Lot dan Nusa Dua sudah sangat krodit, namun kawasan lain di Bali keluhan kemacetan tidak begitu banyak. Jadi, penyebaran wisatawan agar tidak menumpuk di Bali selatan menjadi keharusan.

Sementara itu, Prof. Dr. Nyoman Darma Putra mempresentasikan perkembangan pariwisata budaya Bali selama satu abad. Dipaparkan, ada sanjungan dan juga kritik terhadap pengembangan pariwisata budaya Bali. Sementara itu, salah satu makalah yang dipresentasikan I Made Sarjana, SP., M.Sc terkait perkembangan Desa Wisata Guliang Kangin yang dikembangkan atas inisiatif masyarakat setempat. Upaya masyarakat ini sebagai langkah mewujudkan keseimbangan dalam pembangunan pariwisata Bali sesuai saran Prof. Bendesa. “Dalam tataran konsep pengembangan 24 Desa Wisata di Kabupaten Bangli sangat tepat, sekarang bagaimana mewujudkannya sehingga 24 desa wisata itu benar-benar hidup,” katanya. (*) 


Ditayangkan sebelumnya dari situs redaksi
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait