Begini Kronologi Perang Puputan Klungkung 28 April 1908

Begini Kronologi Perang Puputan Klungkung 28 April 1908

Peristiwa heroik-tragik Puputan Klungkung kembali dikenang masyarakat Bumi Serombotan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan yang juga dirangkaian perayaan hari jadi ke-23 Kota Smarapura itu dikemas dalam sebuah hajatan bertajuk festival. Namanya, Festival Smarapura. Karena ini kegiatan mengenang sebuah peristiwa patriotik, tentu saja spirit perjuangan membela Tanah Air tetap dikumandangkan. Bagaimana detik-detik peristiwa yang menjadi tonggak jatuhnya Bali secara total ke tangan Belanda itu?

Catatan Belanda maupun penulis tradisional Bali mengenai perang Puputan Klungkung tidak sebanyak perang Puputan Badung. Hal ini boleh jadi dikarenakan begitu singkatnya perang Puputan Klungkung. Hanya dalam satu hari serangan terorganisir Belanda, Klungkung sudah dinyatakan jatuh. Namun, prolog perang sudah dimulai dua minggu sebelumnya. Berikut kronologi perang Puputan Klungkung yang disarikan dari buku Sejarah Klungkung: Dari Smarapura Sampai Puputan (Pemkab Dati II Klungkung, 1983).

16 April

Bermula dari patroli keamanan Belanda di wilayah Klungkung pada 13—16 April 1908. Patroli ini sudah ditolak Raja Klungkung karena dianggap melanggar kedaulatan Kerajaan Klungkung. Belanda berdalih patrol ini untuk memeriksa dan mengamankan tempat-tempat penjualan candu sebagai konsekuensi monopoli perdagangan candu yang dipegang Belanda. Kerabat Raja, Cokorda Gelgel yang berada di barisan penentang ini, mempersiapkan suatu penyerangan terhadap patroli Belanda. Benar saja, serangan terhadap patroli Belanda terjadi di Gelgel. Serangan mendadak ini membuat Belanda menderita kekalahan; 10 orang serdadu gugur termasuk Letnan Haremaker, salah seorang pemimpin serdadu Belanda. Di pihak Gelgel kehilangan 12 prajurit termasuk IB Putu Gledeg.

17 April 1908

Belanda melakukan serangan balasan terhadap Gelgel. Untuk mendapat dukungan pasukan, Belanda mengirim pasukan dari Karangasem dengan masuk dari arah Satria pada 16 April 1908 malam. Laskar Klungkung memberikan perlawanan sengit hingga mengakibatkan tiga orang pasukan Belanda tewas dan lima orang luka-luka. Pada 17 April 1908 pagi, pasukan Belanda mulai menyerang Gelgel. Raja Klungkung sempat berusaha mencegah pertumpahan darah ini dengan mengirim saudara raja, Cokorda Raka Pugog untuk berdamai dengan Belanda dan menekan Cokorda Gelgel agar tidak melakukan perlawanan. Namun, usaha ini gagal. Cokorda Gelgel tetap pada pendiriannya dan Belanda malah berbalik mencurigai Cokorda Raga Pugog. Perang tak terhindarkan di Gelgel. Dalam perang inilah digunakan meriam pusaka kerajaan I Bangke Bahi. Namun, perang di Gelgel ini berakhir dengan kekalahan Gelgel. Bahkan, Cokorda Raga Pugog ikut gugur dalam pertempuran ini. Bantuan pasukan yang dikirim Raja Klungkung di bawah pimpinan Ida Bagus Jumpung juga tak mampu memukul pasukan Belanda. Malah, Ida Bagus Jumpung ikut gugur dalam pertempuran. Cokorda Gelgel bersama sisa pasukan mundur ke Klungkung. Pada malam hari, laskar Gelgel menyerang perkemahan pasukan Belanda yang mengakibatkan banyak serdadu Belanda luka-luka. Belanda memutuskan mundur ke Gianyar. Residen Bali-Lombok, F.A. Liefrinck tiba di Jumpai dengan membawa empat buah kapal perang sebagai alat intimidasi. Residen mengultimatum raja dan pembesar Kerajaan Klungkung menyerah tanpa syarat hingga 22 April 1908.

21 April 1908

Klungkung kini jelas-jelas dalam posisi perang dengan Belanda. Ekspedisi khusus pun dikirimkan Belanda dari Batavia. Raja dan rakyat Klungkung diultimatum untuk menyerah hingga 22 April 1908. Raja Klungkung tentu saja menolak tudingan Belanda itu. Mulai 21 April 1908, Belanda memborbardir istana Smarapura, Gelgel, dan Satria dengan tembakan meriam selama enam hari berturut-turut.

27 April 1908

Ekspedisi khusus dari Batavia tiba dengan kapal perang dan persenjataan lengkap  di perairan  Jumpai pada 27 April 1908 malam. Dari atas kapal, Belanda kembali memberi ultimatum agar sampai tengah hari, Raja Klungkung menyerah tanpa syarat. Raja Klungkung menjawab ultimatum itu dan meminta penundaan waktu lima hari  untuk berunding dengan para pejabat tinggi kerajaan. Belanda menolak permintaan itu dan Klungkung terus ditembaki meriam dari atas kapal.

28 April 1908

Perang pun dimulai. Karena persenjataan tidak seimbang, Belanda bisa menguasai Kusamba dan Jumpai, meskipun rakyat di kedua desa itu melakukan perlawanan sengit. Perlahan, pasukan Belanda pun merangsek menuju Klungkung. Istana Smarapura terkepung. Cokorda Gelgel dan Dewa Agung Gde Semarabawa gugur dalam menghadapi serdadu Belanda di benteng selatan. Kabar inilah yang mendorong Dewa Agung Istri Muter bersama putra mahkota, Dewa Agung Gde Agung turun ke medan perang mengikuti ibu suri, Dewa Agung Muter. Semuanya berpakaian serbaputih, siap menyongsong maut. Dewa Agung Muter bersama putra mahkota akhirnya gugur. 

Mendengar permaisuri dan putra mahkota gugur di medan laga, tidak malah membuat Dewa Agung Jambe keder, justru semakin bulat memutuskan berperang sampai titik darah penghabisan. Dewa Agung Jambe keluar diiringi seluruh keluarga istana dan prajurit yang setia maju menghadapi Belanda dengan gagah berani. Karena persenjataan yang tidak imbang, mereka pun gugur dalam berondongan peluru Belanda. Mereka menunjukkan jiwa patriotis membela tanah kelahiran dan harga diri. Hari itu pun, 28 April 1908 sore, sekitar pukul 15.00 kota Klungkung jatuh ke tangan Belanda. (b.)


Ditayangkan sebelumnya dari situs balisaja
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait