Arsitektur Unik di Pura Beji Sangsit Buleleng

Arsitektur Unik di Pura Beji Sangsit Buleleng

Pura Beji di Desa Sangsit Kecamatan Sawan satu warisan peninggalan leluhur yang kini masih terjaga keasriannya. Sejak didirikan sekitar pada abad I5 silam pura ini memang di-empon oleh krama subak di desa setempat, namun dalam perjalanannya seluruh krama desa menjadi pengempon pura yang terletak di Dusun Beji, Desa Sangsit ini.

Tidak hanya pengempon-nya mengalami perubahan, namun pura ini juga menjadi satu daya tarik wisata. Setiap hari ada saja wisatawan asing berkunjung ke pura ini. Konon, kunjungan wisatawan yang tak pernah sepi ini karena wisatawan tertarik mengetahui bahwa di pura tersebut terdapat dua buah patung orang asing yang dikenali sebagai warga negara Belanda. Satu patung warga Belanda memegang gitar dan satu lagi memegang rebab. Dua patung ini terletak di kori agung menuju ke jeroan pura. 

Tidak ada bukti tertulis yang memuat sejarah Pura Beji. Kondisi ini membuat tokoh masyarakat di Sangsit menyusun buku yang menceritakan sejarah pura. Buku ini ditulis dengan narasumber dari pengelingsir yang mengetahui sejarah Pura Beji. Selain itu, secara tata letak dan arsitektur pura juga sempat diteliti oleh salah satu tokoh masyarakat desa setempat. 

Dari upaya itu terungkap bahwa Pura Beji sebenarnya bukan pura subak. Tetapi karena sejak didirikan sekitar abad 15 silam notabene krama di Sangsit merupakan petani, sehingga seolah-olah Pura Beji itu di-emong oleh krama subak saja. Sementara dari hasil penelitian menyebutkan bahwa berdasarkan tata letak pura itu sebelah utara komposisi pelinggihnya untuk krama subak, di tengah-tengah dibangun pelinggih yang masuk dalam kategori puseh dan di sebelah selatannya terdapat kelompok pelinggih jajaran. Ciri lainnya yang berhasil dikupas dalam penelitian ini adanya bangunan Bale Agung Saka Kutus yang biasa terdapat pada Pura Puseh pada umumnya.

Menurut Wisara, sesuai dengan petuah penglingsir bahwa di Pura Beji dalam setahun melaksanakan tiga kali piodalan yang sudah terjadwal. Piodalan pertama jatuh tiap bulan Purnama Kedasa. Kedua digelar pada Purnama Desta. Upacara ini lebih dikenal dengan upacara nangluk merana. Para pemedek nunas tirta untuk tanaman di lahan sawah atau krama yang berprofesi sebagai pedagang. Piodalan ketiga atau sering disebut piodalan agung jatuh setiap Purnama Kapat. 

Sumber Foto : flickr/CanadaGood (Pura Beji Sangsit, 1975)

Ditayangkan sebelumnya dari situs Sejarah Bali
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait