Saatnya Kompos Simantri Menuju Standar SNI

Saatnya Kompos Simantri Menuju Standar SNI

Lembaga Perlindungan Konsumen (LPK) Bali mengusulkan kepada pemerintah provinsi Bali untuk mewajibkan kelompok Simantri agar kompos produksi Simantri memenuhi standar kualitas kompos sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Usulan tersebut disampaikan menyusul keluhan dari masyarakat yang memanfaatkan kompos produksi Simantri yang tidak mencantumkan kandungan kompos dan standar kualitas kompos. “karena sudah ada standar SNI, maka keharusan dari pemerintah provinsi Bali selaku pencetus program Simantri untuk menggalakan penerapan SNI pada kompos produk Simantri” tegas Ketua LPK Bali Putu Armaya dalam keteranganya di Denpasar, baru-baru ini.

Sejak tahun 2009, Pemerintah Provinsi Bali mengembangkan program sistem pertanian terintegrasi (Simantri). Simantri merupakan kegiatan integrasi pertanian dalam arti luas yang diintroduksikan pada usaha tanaman pangan, palawija dan hortikultura, peternakan, perkebunan, perikanan, dan tanaman kehutanan pada satu wilayah/lokasi kegiatan. Simantri juga sekaligus merupakan pengembangan model percontohan dalam percepatan alih teknologi kepada masyarakat perdesaan.
 
Salah satu produk Simantri adalah kompos yang merupakan hasil olahan dari limbah pertanian dan limbah ternak. Penjualan kompos kini menjadi salah satu pendapatan dari kelompok Simantri di Bali. 
 
Menurut Armaya, kedepan pemberlakuan standar SNI bagi kompos Simantri menjadi sangat penting, ditengah trend pertanian organic. Standar SNI kompos penting untuk memberi jaminan kepada konsumen bahwa kompos yang dibeli dan digunakan bermanfaat. Bukan justru menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi terganggu akibat kualitas kompos yang rendah atau justru kompos menyebabkan tanaman mati karena kompos belum matang. “dengan kompos memiliki standar SNI maka akan lebih ramah lingkungan dan tanaman yang diberikan kompos tumbuh dengan baik” kata Armaya.
 
Armaya berharap Pemerintah Provinsi Bali mulai mendorong kelompok-kelompok Simantri untuk mulai mematuhi standar SNI pada produk kompos yang dihasilkan. Standar SNI secara nasional telah menjadi pedoman bersama dalam memproduksi sebuah produk. Tentunya penerapan dan kepatuhan terhadap standar SNI merupakan bagian dari upaya perlindungan terhadap konsumen. 
 
Peneliti dari Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Dr. I Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya, SP. M.Agr menyampaikan kompos produksi Simantri hingga kini belum ada yang memenuhi standar SNI. Apalagi kompos yang diproduksi oleh masyarakat sebagai usaha kecil-kecilan belum berpikir untuk memenuhi standar SNI. Target program pengomposan baru sebatas mengurangi volume limbah dan mengolah menjadi bahan yang lebih bernilai, salah satunya dalam bentuk kompos. “belum ada yang menerapkan SNI, apalagi jika bahan kompos yang digunakan beragam, tentu akan sulit memenuhi standar SNI” ujar Alit Susanta.
 
Alit Susanta menegaskan penerapan standar SNI pada produk kompos akan sangat sulit. Apalagi dalam prakteknya dilapangan tidak ada lembaga yang bertugas melakukan pengawasan. Secara umum hanya kompos yang diproduksi oleh pabrik yang selama ini memenuhi standar SNI. Pada industri kompos sekali kecil minimal hanya melakukan uji kandungan unsur hara makro dan mikro. 

Hasil uji kualitas kompos terhadap 10 produk kompos yang beredar di Kota Denpasat yang dilakukan oleh Tantya Tantri, A.A. Nyoman Supadma dan I Dewa Made Arthagama dari  Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana menunjukkan bahwa hanya 2 produk kompos yang memenuhi kriteria SNI 19-7030-2004. Kedua produk kompos tersebut yaitu pupuk Bio-extrrim Trubus dan Putri Liman Simantri 096 Blahbatuh, Gianyar. Dalam penelitian yang dilakukan selama November 2014 sampai dengan bulan April 2015 juga menekankan bahwa apabila kompos tersebut diproduksi dan diedarkan secara luas untuk dijual secara komersial, maka diperlukan suatu regulasi agar kompos yang diperjualbelikan tersebut memenuhi standar mutu yang dapat diterima.

 Salah seorang pengusaha kompos Ketut Darmawan mengakui bahwa untuk mencapai kompos yang memiliki standar SNI masih sangat sulit. Mengingat hingga saat ini, pendaftaran hak merk kompos masih harus diurus ke Jakarta dan belum bisa dilakukan melalui kantor wilayah. Prosesnya memakan waktu yang lama sehingga menyulitkan bagi pengusaha kompos yang berusaha mencoba taat aturan. 

Menurut Darmawan, pemenuhan terhadap standar SNI pada produk kompos tidak menjadi perhatian bagi usaha kompos kecil-kecilan. Apalagi jika konsumenya hanya petani atau masyarakat yang berada di sekitrar lokasi usaha kompos. Permasalahanya hanya ketika ada lembaga yang membutuhkan kompos dan memberikan peryaratan pemenuhan standar SNI, maka pengusaha kompos akan sulit mendapatkan penawaran. “memang beberapa instansi pengadaan barang atau jasa yang mengisyaratkan ada SNI sesuai Permentan 71 tahun 2011. Kalau konsumenya hanya petani gak ada masalah” ucap Darmawan.

Darmawan mengungkapkan permasalahan lain dalam upaya pemenuhan standar SNI bagi produk kompos selama ini adalah keterbatasan lembaga laboratorium untuk uji kompos. Hingga saat ini di Bali belum ada laboratorium yang mampu melakukan uji laboratorium produk kompos secara komplit. Akibat ketiadaan laboratorium menyebabkan usaha uji lab harus dilakukan ke luar Bali. Selain itu biaya uji lab juga cukup tinggi, sebagai salah satu contoh melakukan uji lab kompos secara komplit ke Bogor memerlukan dana mencapai Rp. 1,2 juta untuk sekali uji lab.

Sementara Ketua Simantri 125 Gapoktan Sawo Kabeh Desa Dawan Klod Kecamatan Dawan Klungkung Wayan Sumerta mengakui belum mengetahui jika kompos harus memenuhi kententuan standar SNI. Mengingat program pengomposan yang dilakukan selama ini lebih pada upaya pemanfaatan limbah ternak dan pertanian. “tujuannya adalah mengolah limbah yang ada menjadi bahan kompos, sehingga memberikan manfaat bagi kelompok simantri” ujar Sumerta.

Sumerta mengatakan jika harus mematuhi standar SNI tentu harus memberikan manfaat lebih bagi kelompok tani. Apalagi harus melakukan uji kualitas kompos yang memerlukan biaya tinggi. Pada sisi lain harga kompos hasil produksi kelompok Simantri masih rendah.

Pemerintah Provinsi Bali menargetkan hingga 2018 di Bali terdapat 1.000 Simantri. Selain memproduksi pupuk kompos padat, Simantri juga menghasilkan produk pupuk kompos cair serta bio-urin. Melalui pemanfaatan pupuk kompos diharapkan secara perlahan pertanian di Bali menjadi pertanian organik.

Kegiatan Simantri berorientasi pada usaha pertanian tanpa limbah (zero waste) dan menghasilkan 4 F (food, feed, fertilizer, dan fuel). Potensi, peluang, dan dukungan kebijakan dalam pelaksanaan kegiatan Simantri diharapkan menjadi embrio bagi keberlanjutan program pembangunan sektor pertanian daerah menuju sistem pertanian energi terpadu untuk kemandirian pangan dan kesejahteraan petani.

Dampak kegiatan Simantri ke depan diharapkan dapat mendorong petani untuk mandiri dalam pemenuhan pangan, pupuk, dan pestisida organik sebagai input produksi usahatani. Selain itu diharapkan dapat menjadi upaya penyediaan energi (biogas) yang dapat dipergunakan dalam skala rumah tangga sekalipun masih dalam skala terbatas. (muliarta)

 

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait