Belaian Surya Mengasuh Anak Karang di Pemuteran

Belaian Surya Mengasuh Anak Karang di Pemuteran

Ombak-obak kecil menerpa bibir pantai di Desa Pemuteran Buleleng Bali. Instalasi solar panel nampak terpasang di tengah laut. Solar panel yang terpasang menangkap sinar matahari yang kemudian dijadikan energi listrik untuk memenuhi kebutuhan sistem biorock atau teknologi percepatan pertumbuhan terumbu karang dengan aliran listrik. Penggabungan sistem biorock dengan instalasi solar panel menjadi langkah inovasi yang dikembangkan Masyarakat Desa Pemuteran, Buleleng-Bali dalam upaya melakukan rehabilitasi terumbu karang. Inovasi penggabungan sistem biorock dengan instalasi solar panel dikembangkan oleh masyarakat Desa Pemuteran melalui Yayasan Karang Lestari.  

Adopsi teknologi biorock dengan solar panel diujicobakan pertama kali tahun 2011. Proses ujicoba dilakukan dengan pemasangan 2 unit solar panel. Hingga saat ini telah terpasang 12 solar panel. Guna memenuhi kebutuhan listrik 2,5 hektar luas kawasan rehabilitasi terumbu karang diperkirakan membutuhkan sekitar 40-50 unit solar panel. “12 solar panel yang ada sekarang baru hanya mampu memenuhi kebutuhan listrik sekitar 25% dari seluruh kebutuhan” kata  Manager Program Biorock, Yayasan Karang Lestari Pemuteran Komang Astika pada keteranganya di Pemuteran, Selasa (11/7/2017).

Sayangnya solar panel yang terpasang belum dapat memberikan pasokan listrik secara penuh selama 1 hari. Mengingat solar panel yang terpasang tidak dilengkapi baterai penyimpan, sehingga tidak dapat memberikan pasokan listrik pada malam hari. Jika solar panel mendapatkan sinar matahari penuh, satu panel bisa menghasilkan listrik maksimal 120 watt. Rata-rata sekarang satu panel hanya menghasilkan listrik 60-80 watt. Namun dari 12 panel yang sudah terpasang telah mampu mengurangi biaya beban listrik per-bulan mencapai Rp. 1,5 juta – Rp. 2 juta. Dengan pengurangan tersebut biaya beban listrik yang masih harus ditanggung mencapai Rp. 3 juta – Rp. 5 juta. “biaya beban listrik selama ini di sponsori oleh Hotel Taman Sari, sedangkan hotel yang lain belum memberi kontribusi dengan alasan masih belum mendapatkan keuntungan, padahal mereka mendapatkan keuntungan di kawasan wisata Pemuteran” tegas Astika.

Astika mengungkapkan pemanfaatan solar panel tidak saja mampu mengurangi biaya listrik tiap bulan, tetapi juga mengurangi biaya operasional dan biaya pergantian alat. Jika menggunakan listrik PLN maka setiap tahun harus rutin melakukan pergantian power suplay. Pergantian diperlukan karena power suplay yang digunakan dalam satu tahun sudah mengalami kerusakan akibat berkarat terkena air laut.

Rencana perluasan wilayah rehabilitasi karang kini terganjal masalah pendanaan, baik pendanaan penyediaan energi listrik ataupun pendanaan untuk operasional sehari-hari. Guna penyediaan satu unit solar panel membutuhkan dana mencapai Rp. 6 juta. Kebutuhan dana tersebut belum termasuk dana penyediaan instalasi listrik yang mencapai Rp. 1,5 juta – Rp. 2 juta untuk satu instalasi solar panel. “solar panel yang kita pasang juga tidak dilengkapi baterai penyimpan energi listrik, sehingga suplay listrik hanya siang hari. Jika membeli baterai mahal dan 1-2 tahun harus diganti” ujar Astika.

Astika mengakui berbagai terobosan untuk mendapatkan alternatif energi yang lebih sesuai terus dilakukan. Beberapa energi alternatif yang pernah dicoba adalah energi angina dan energi ombak.  Energi listrik dari angina ternyata tidak menjanjikan karena putaran kipas angina tidak maksimal. Penggunaan teknologi energi listrik dari ombak juga tidak menjanjikan karena mahal dan untuk pemeliharaan peralatan juga harus ke luar negeri. “kita berharap dari kawan-kawan professor di Indonesia bisa menghasilkan listrik alternatif dan lebih efisien dari solar panel” harapnya.

Permasalahan berikutnya yang menjadi beban dalam pengembangan rehabilitasi terumbu karang di Pemuteran yaitu keterbatasan dana operasional. Selama ini pendanaan diperoleh dari para wisatawan yang datang ke Pemuteran dan mengadopsibaby coral. Biaya adopsi untuk satu baby coral dipatok sebesar Rp. 400.000. “dana yang didapatkan digunakan untuk membayar gaji staf, biaya perawatan dan operasional sehari-hari” kata Astika.

Berbagai strategi telah dilakukan Yayasan Karang Lestari untuk mendapatkan pendanaan. Salah satu strategi yang dipersiapkan adalah membangun sebuah perusahaan terbatas dibawah naungan Yayasan karang Lestari. Perusahaan tersebut berfungsi mencarikan pendanaan atau sponsor dari perusahaan-perusahaan besar karena cukup banyak daerah lain yang kini melirik teknologi biorock. Perusahaan yang dibentuk juga memiliki program penyelenggaraan pelatihan dan pendampingan pengembangan teknologi biorock. “program ini baru dimulai sejak setaun lalu dengan bekerjasama dengan para peneliti, ilmuwan dan tim biorock Indonesia” jelas Astika.

Astika sangat menyayangkan keberhasilan dan komitmen masyarakat Pemuteran melakukan rehabilitasi terumbu karang tidak mendapatkan dukungan pendanaan baik dari Pemerintah Kabupaten Buleleng dan Provinsi Bali. Permintaan dukungan peralatan juga tidak mendapatkan respon. “Provinsi cuma memberi dukungan moral. Tiga tahun lalu di sponsori 2 struktur penanaman karang, tetapi biaya pemeliharaan tidak diberikan” ungkap Astika.

Keberhasilan pengelolaan terumbu karang di Pemuteran telah mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari lembaga dunia untuk pembangunan (UNDP). UNDP menganugrahkan dua penghargaan sekaligus, yaitu The Equator Price 2012 terkait dengan program pelestarian terumbu karang berbasis masyarakat dan penghargaan khusus UNDP terkait daerah pengelolaan laut dan terumbu karang. Kedua penghargaan diterima pada 20 Juni 2012 di Rio de Janeiro, Brasil.

Geografis desa Pemuteran yang kering, membuat warga hanya bisa bertanam jagung pada saat musim hujan, sehingga pekerjaan sebagai nelayan menjadi salah satu alternatif pekerjaan lainnya. Banyaknya aksi penangkapan ikan hias dengan bom potassium sejak tahun 1990-an membuat kawasan laut Pemuteran sangat tidak menguntungkan bagi nelayan. Melalui Yayasan Karang Lestari masyarakat Desa Pemuteran akhirnya bertekad untuk memperbaiki kondisi lingkungannya.

Kepala Bidang ESDM Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali Putu Agus Budiana menerangkan bahwa hingga saat ini 85 energi yang digunakan di Bali adalah Bahan Bakan Minyak yang bersumber dari fosil. Energi yang bersumber dari fosil memiliki sejumlah kelemahan dan efek negatif. "Sumber energi ini bersifat tak terbarukan dan penyumbang polusi terbesar," ungkapBudiana.

Menurut Budiana, pemerintah Provinsi Bali saat ini mengedepankan kebijakan untuk memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan. Menindaklanjuti kebijakan tersebut, Pemprov Bali telah mengembangkan desa mandiri energi dengan pemanfaatan energi surya. "Salah satunya kita kembangkan di Desa Ban yang banyak masyarakatnya belum terlayani PLN. Saat ini pengerjaannya hampir rampung dan kita targetkan mampu menghasilkan listrik 10 KW, cukup untuk 20 rumah," ujar Budiana.

Masih terkait dengan pengembangan energi baru dan terbarukan, di Kantor Gubernur juga telah terpasang solar panel yang mampu menghasilkan energi listrik sebesar 60 KW. Bahkan, keberadaan solar panel di Kantor Gubernur ini berhasil menghemat biaya listrik hingga Rp. 30 juta tiap bulannya. "Ini kan penghematan yang sangat signifikan. Kami berharap masyarakat juga bijak memanfaatkan energi,” harap Budiana.

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait