OJK: Literasi Keuangan di Indonesia Masih Rendah

OJK: Literasi Keuangan di Indonesia Masih Rendah

Ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau inklusi keuangan mulai naik signifikan di Indonesia. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 8 Bali-Nusa Tenggara, inklusi keuangan di Indonesia pada 2013 hanya 59,7 persen. Kemudian naik signifikan pada 2016 menjadi 67,8 persen. Namun kenaikan ini tidak berbarengan dengan literasi keuangan di Indonesia.

Literasi keuangan adalah pengetahuan, ketrampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan. Sehingga bisa diartikan, masih banyak masyarakat Indonesia yang telah menggunakan produk industri jasa keuangan (IJK) namun belum paham sepenuhnya terhadap produk-produk IJK tersebut.

Edwin Nurhadi, Deputi Direktur Literasi dan Inklusi Keuangan OJK, mengatakan inklusi keuangan di Bali cukup tinggi yakni 76 persen, dibandingkan NTB yang hanya 63,3 persen, dan NTT sebesar 62,2 persen. Sedangkan literasi keuangan di Bali hanya 37,4 persen, namun masih lebih tinggi dibandingkan literasi keuangan di NTB 21,4 persen, dan literasi keuangan di NTT yang hanya 28 persen. Hasil survei ini memperlihatkan, tingkat pemahaman dan penggunaan masyarakat di Indonesia, khususnya di Bali terhadap produk dan layanan jasa keuangan relatif masih rendah. Bahkan secara nasional indeks literasi keuangan di Indonesia hanya 29,7 persen pada 2016, dari 21,8 persen pada 2013.

Edwin, sapaan akrabnya menjelaskan negara dengan populasi terbesar seperti India, Cina, dan Indonesia menyumbang 39 persen dari total unbanked people dunia. Untuk inklusi keuangan, kata dia, peningkatan tertinggi disumbang inklusi pada sektor perbankan mencapai 63,6 persen pada 2016 dari 57,3 persen pada 2013. Kemudian lonjakan juga terjadi pada inklusi di sektor pembiayaan mencapai 11,9 persen pada 2016 dari 6,3 persen pada 2013.

Inklusi sektor pegadaian juga naik menjadi 10,5 persen pada 2016 dari 5 persen pada 2013. Untuk inklusi dana pensiun, naik dari 1,5 persen pada 2013 menjadi 4,7 persen pada 2016. Inklusi sektor perasuransian pada 2016 menjadi 12,1 persen dari 11,8 persen pada 2013. Sedangkan inklusi pada pasar modal hanya 1,3 persen pada 2016, dari 0,1 persen pada 2013 lalu. “Ada beberapa fakta yang memengaruhi kondisi inklusi keuangan di Indonesia,” kata Edwin, dalam materi ‘Perkembangan Inklusi Keuangan di Indonesia’ pada Pelatihan Wartawan dan Gathering Media Massa Bali, NTT, NTB di Bedugul, Minggu (15/10).

Fakta tersebut, diantaranya masyarakat berpenghasilan rendah, aset yang tidak bersertifikat, persyaratan yang rumit, jarak yang jauh, jumlah agen terbatas, layanan keuangan terbatas, literasi keuangan yang masih rendah, kemampuan pengelolaan keuangan yang masih rendah, infrastruktur yang terbatas, dan biaya layanan keuangan yang relatif tinggi. 

“Target inklusi hingga 2019 nanti sekitar 75 persen di Indonesia,” sebutnya. Baginya hal ini penting, sebab masyarakat Indonesia harus mendapatkan akses keuangan yang menjadi haknya melalui literasi dan inklusi keuangan, sehingga terhindar dari finansial  shock atau terhindar dari penipuan investasi bodong atau kejahatan keuangan lainnya.

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait