Jasa Keuangan Rentan Terhadap Kejahatan Ekonomi

Jasa Keuangan Rentan Terhadap Kejahatan Ekonomi
Forum Komunikasi Lembaga Jasa Keuangan (FKLJK) Provinsi Bali menyelenggarakan Seminar Penanganan Financial Crime bertempat di Ruang Tirta Gangga – Gedung Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali. Seminar ini diselenggarakan dalam rangka memberikan pemahaman kepada seluruh pelaku industri jasa keuangan mengenai seluk beluk financial crime (kejahatan di bidang keuangan) sehingga mampu mendeteksi, mencegah, dan menanggulangi kejahatan tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, financial crime  semakin mengkhawatirkan dan kini menjadi perhatian seluruh dunia.
 
Kekhawatiran ini muncul karena jasa keuangan sejak lama telah terbukti sebagai sektor yang paling rentan terhadap kejahatan ekonomi karena sektor ini melayani kebutuhan keuangan industri lainnya. Selain itu, dampak dari financial crime khususnya kejahatan yang bermotif ekonomi sangat potensial mengancam perkembangan ekonomi dan bahkan stabilitas nasional suatu negara. Financial crime tersebut umumnya meliputi pelanggaran seperti  penipuan, kejahatan elektronik, pencucian uang, pendanaan teroris, suap dan korupsi, penyalahgunaan pasar dan insider dealing dan informasi keamanan, serta penipuan berkedok 
 
investasi yang merugikan masyarakat. Kejahatan keuangan tersebut dapat dilakukan oleh individu, perusahaan atau dengan kejahatan terorganisir kelompok, baik domestik maupun internasional dengan ancaman  yang mungkin datang dari dalam organisasi atau dari luar organisasi keuangan.
 
Survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultan keuangan Price Waterhouse Coopers (PwC) pada Juli 2015 hingga Februari 2016 kepada 1.513 responden dari seluruh sektor industri di 115 negara termasuk Indonesia untuk mengukur tingkat kejahatan jasa keuangan, meliputi sektor perbankan, pasar modal, dan asuransi. Hasil dari survei tersebut menunjukkan terjadinya tren peningkatan persentase responden yang menjadi korban financial crime, dari sebelumnya 44% pada rentang 2009-2011 dan naik tipis 45% pada survei tahun 2014 menjadi 46% pada hasil survei terkini.
 
 Sementara itu, jumlah kerugian yang ditanggung oleh 46% responden sebesar USD100.000 (sekitar Rp1,3 miliar) dan 24% responden lainnya menderita kerugian antara USD100.000 hingga USD1 juta (hingga Rp13 miliar) untuk setiap kejahatan yang menimpa mereka.
 
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data yang disampaikan oleh Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri (29/8), sepanjang tahun 2007-2016 Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangani 26 kasus investasi ilegal. Kasus paling besar terjadi tahun 2011, yakni delapan kasus dengan total kerugian mencapai Rp 68,62T. Sedangkan tahun 2016 hingga bulan Agustus, Bareskrim tengah menangani dua kasus investasi serupa. 
 
Sementara itu, data Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) menunjukkan, kerugian investasi ilegal sepanjang tahun 1975-2015 mencapai Rp 126 triliun. Belum lagi kerugian masyarakat yang ditimbulkan oleh tindak pidana cyber crime  yang memanfaatkan kecanggihan teknologi di dunia maya, dimana menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Keminfo) jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 82 juta orang (30/3). Kelemahan sistem di bidang teknologi IT membuat sektor jasa keuangan juga rawan diretas untuk pendanaan tindak kejahatan utamanya terorisme. Apalagi Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) yang tujuan penggunaan dananya tidak diketahui, secara teknis sudah bercampur dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang sumbernya tidak jelas.

Ditayangkan sebelumnya dari situs redaksi
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait