Beberapa perusahaan perangkat lunak dan teknologi di Amerika Serikat (AS) berkolaborasi guna memperluas layanan kesehatan, yang menurut mereka bakal lebih baik di Negeri Paman Sam.

Melalui suatu konsorsium, Amazon.com Inc., J.P Morgan dan Berkshire Hathaway ingin meminimalisasi pengeluaran biaya kesehatan bagi karyawan mereka. Tak hanya menjual perlengkapan medis ke klinik kesehatan dan rumah sakit besar, mereka juga membidik masuk pada rantai bisnis pasokan obat.

Alphabet Inc., induk perusahaan Google, misalnya, memiliki perangkat lunak yang fokus dalam bidang kesehatan dengan nama Verily. Terkini, Apple Inc. berencana menguasai pasar kesehatan di AS dengan pendekatan yang ramah konsumen melalui aplikasi atau perangkat kesehatan.

Ekspansi bisnis perusahaan perangkat lunak dan teknologi di AS ke sektor kesehatan dilatarbelakangi beberapa faktor. Salah satunya adalah biaya perawatan dan kesehatan yang mahal di AS. Terlebih saat ini, beberapa pebisnis sektor kesehatan di AS terlihat melesu.
Bisakah langkah beberapa perusahaan perangkat lunak dan teknologi serta pembiayaan rintisan tersebut ditiru perusahaan sejenis di Indonesia?

Handito Joewono, Ketua Umum Asosiasi Startup Teknologi Indonesia (Atsindo) mengungkapkan, Health Startup alias perusahaan rintisan kesehatan menjadi salah satu ‘bayi ajaib’ yang tumbuh menakjubkan di dunia startup teknologi selain Financial Technology (Fintech) alias Teknologi Finansial (Tekfin).

Menurut Handito, negara-negara maju di bidang teknologi seperti AS, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Cina, dan banyak negara Eropa mengembangkan health startup dengan sangat intensif. Salah satu alasannya, health startup tidak hanya mengandalkan teknologi digital tetapi juga sarat penerapan teknologi di bidang kesehatan, baik dari sisi pengobatan maupun peralatan kesehatan.

“Kini mendeteksi tingkat kesehatan menjadi semakin mudah sehingga bisa diperkirakan serapan tenaga kerja, khususnya paramedis, akan berkurang drastis di masa mendatang,” 
Tentu saja peran dokter tidak bisa tergantikan meskipun artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan di bidang kesehatan sudah semakin maju.

“Dokter yang ingin bertahan di masa mendatang adalah dokter yang tidak ‘gaptek’ (gagap teknologi), khususnya dalam pemanfaatan teknologi termasuk teknologi digital di bidang kesehatan dan kedokteran,” ujarnya.

Handito melanjutkan, meski kondisi maupun peta bisnis kesehatan di AS berbeda dengan Indonesia, tetapi dampak kemajuan teknologi kesehatan serta kemajuan luar biasa health startup akan serupa, baik di AS maupun di Indonesia.

Sebab, teknologi finansial dan teknologi kesehatan sudah berjalan beriringan. Keduanya bahkan sudah menjadi satu kesatuan. “Ke depan, peluang pembiayaan kesehatan di Indonesia yang mengoptimalkan fintech akan semakin besar,” ucap Handito.
Namun sayangnya, imbuh Handito, seperti juga pengembangan bisnis berbasis teknologi lainnya, kemajuan health technology business (bisnis teknologi kesehatan) di Indonesia masih sangat ketinggalan.

Indonesia hanya sekadar menjadi pembeli dan pengguna. Di negeri ini, belum banyak yang menjadi pengembang dan produsen di bidang teknologi kesehatan. Hal ini dikarenakan risiko bisnis di sektor kesehatan, terlebih yang terkait dengan teknologi kesehatan, relatif sedang mengalami fluktuasi dan cenderung lebih ‘fragile’ alias rapuh.
“Sudah semakin sering kita mendengar perusahaan di bidang kesehatan termasuk farmasi dan rumah sakit yang menghadapi kesulitan bisnis. Sudah saatnya dunia kesehatan dan juga usaha bisnis di bidang kesehatan untuk berbenah atau akan semakin banyak yang mengalami kesulitan dan mati,” kata Handito.

Melihat perkembangan teknologi di Indonesia saat ini, Handito mengaku prihatin dan khawatir khususnya terkait kesiapan pelaku usahanya yang masih lebih suka ‘cari gampangnya’ dengan menjadi pengguna dan pembeli teknologi.
Oleh sebab itu, Handito mengapresiasi langkah pemerintah dalam melakukan pembenahan dan pembaruan berbagai aturan guna mendukung kemajuan perusahaan pembiayaan rintisan alias startup teknologi di Indonesia.

“Bersyukur pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Penguatan Inovasi pada Kemenristekdikti sudah berorientasi jauh ke depan dan melakukan banyak hal untuk mengurangi ketertinggalan usaha bisnis berorientasi teknologi terutama para perusahaan startup teknologi,” katanya.

Sebagai catatan, beberapa upaya yang dilakukan perusahaan perangkat lunak dan teknologi di AS dalam merambah bisnis sektor kesehatan salah satunya adalah dengan pendekatan produk ramah lingkungan.

Seperti Apple, yang menyertakan aplikasi mengenai informasi medis yang bisa diakses oleh konsumen pengguna produk iPhone. Tak hanya itu, Apple juga mengembangkan strategi business-to-business (b-to-b), karena iPad dan perangkat produk Apple lainnya juga banyak digunakan di kalangan medis terutama dokter.

Saat ini, Apple bekerja sama dengan badan pengawas makanan dan obat-obatan AS untuk melakukan pilot project alias proyek percobaan guna merevolusi peraturan kesehatan digital berisiko rendah dan tinggi. Apple juga melakukan kerja sama dengan perusahaan asuransi Aetna dan memberikan diskon khusus untuk setiap pembelian Apple Watches oleh nasabah asuransi tersebut.

Sementara itu, aliansi bisnis yang dilakukan oleh Amazon, Berkshire Hathaway serta J.P. Morgan, bertujuan untuk memperbaiki sistem kesehatan di AS. Salah satunya dilakukan dengan memperbaiki kontrak penjualan obat yang lebih baik dengan CVS Health Corp. serta Optum yang dimiliki oleh UnitedHealth Group Inc, yang merupakan perusahaan pengelola manfaat farmasi atau pharmacy-benefit manager (PBM) terbesar di AS.


Ditayangkan sebelumnya dari situs liputan6.com
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait