Rupiah Makin Terpuruk di Angka 14,815 Per Dollar AS

Rupiah Makin Terpuruk di Angka 14,815 Per Dollar AS

Perang dagang yang mulai mengganggu kestabilan ekonomi global menjadi musuh utama penguatan rupiah.

Mengutip Bloomberg di pasar spot, Senin (3/9) rupiah tercatat ditutup melemah 0,71% ke Rp 14.815 per dollar AS.

Analis Monex Investindo Futures Dini Nurhadi Yasyi mengatakan rupiah hingga kini terus melemah karena pelaku pasar khawatir dengan perang dagang yang sudah mengganggu kestabilan ekonomi global.

Lihat saja, mata uang Argentina, yakni peso dan mata uang Turki, yakni lira juga turut melemah.

"Dua negara ini jadi acuan bahwa perekonomian global sudah mulai goyang," kata Dini, Senin (3/9).

Apalagi, kondisi perekonomian China juga terus tunjukkkan pelemahan. Salah satu data ekonomi China, yakni data laju investasi anjlok ke rekor terendah hingga Juli 2018. Sementara, pertumbuhan penjualan ritel juga melambat.

Perekonomian China juga makin tertekan dengan adanya rencana Presiden AS, Donald Trump yang akan mengenakan tarif baru antara 10%-20% terhadap US$ 200 miliar produk impor China.

"Ancaman bertambah dengan adanya kenaikan tarif impor AS ke China, sekarang saja perekonomian China sudah melemah apalagi nanti setelah ada tarif impor tambahan," kata Dini.

Pengaruh sentimen global itulah yang membuat pelaku pasar khawatir dan cenderung melindungi aset investasi mereka dengan mengoleksi dollar AS dan emas sebagai aset safe haven.

Pelemahan rupiah nyatanya tidak hanya terjadi terhadap dollar AS melainkan beberapa mata uang asia. Misalnya, Rabu (29/8) kurs dollar Singapura mencapai Rp 10.738 per dollar Singapura. Ini merupakan rekor tertinggi sepanjang masa kurs mata uang Singapura terhadap rupiah.

Dini mengatakan ketidakstabilan ekonomi global masih menjadi penyebab rupiah jadi kurang diminati pelaku pasar.

"Investor cenderung meninggalkan aset berisiko dan berdampak ke rupiah yang tidak selikuid mata uang asia lain," kata Dini.

Menjadi riskan memang bila investor mengendap di mata uang negara berkembang yang sangat sensitif pada sentimen pasar, seperti rupiah.


Bahkan rilis data ekonomi yang positif pun belum berpengaruh besar pada penguatan rupiah. Hal tersebut membuat investor menjauhi rupiah. Padahal, data ekonomi Indonesia cukup stabil bahkan di Agustus 2018 terjadi deflasi 0,05%.

Dini berpandangan, sentimen dalam negeri meski data ekonomi stabil, tetapi pemerintah tampaknya belum ada upaya tambahan dalam menghadapi ketidakstabilan perekonomian global yang bisa mempengaruhi nilai tukar rupiah.

"Belum ada intervensi dan upaya tambahan dari pemerintah, ya belum bisa menaikkan minat investor balik ke aset rupiah," kata Dini.

Namun, Dini berpandangan rupiah saat ini belum underpriced. Potensi terjadinya koreksi dan penguatan rupiah masih ada secara terbatas. Jika dilihat secara teknikal rupiah bisa menguat karena saat ini sudah capai level terendahnya.

Untuk jangka pendek, Dini memproyeksikan rupiah masih akan melemah di rentang Rp 14.780 per dollar AS hingga Rp 14.825 per dollar AS.

Sementara, untuk jangka menengah hingga akhir tahun, Dini memproyeksikan pergerakan rupiah cenderung sideways karena pelaku pasar wait and see merespon kenaikan suku bunga The Fed. 
Jangka menengah, Dini memproyeksikan rupiah berada direntang Rp 14.725 per dollar AS hingga Rp 14.870 per dollar AS.

Sedangkan, untuk jangka panjang Dini berharap ada tindakan priced in setelah suku bunga The Fed naik di akhir tahun, sehingga rupiah berpeluang naik. Jangka panjang, Dini proyeksikan rupiah berada direntang Rp 14.600 per dollar AS hingga Rp 14.900 per dollar AS.


 


Ditayangkan sebelumnya dari situs www.tribunnews.com
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait