Lahan Hutan Menjadi Lahan Perkebunan Sayuran di Kintamani

Lahan Hutan Menjadi Lahan Perkebunan Sayuran di Kintamani

Alih fungsi lahan hutan konservasi di Kintamani marak terjadi. Lahan hutan yang seharusnya dijaga kelestariannya, kini kian banyak yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan. Meski kondisi itu sudah terjadi selama bertahun-tahun, sampai saat ini tidak terlihat upaya penertiban dari pihak terkait.
Berdasarkan pantauan Kamis (19/7), lahan hutan konservasi yang mengalami alih fungsi berada di sepanjang jalur pendakian ke Gunung Batur. Dari kaki hingga ke arah lereng gunung (di dekat Pura Pasar Agung), lahan hutan yang pengelolaannya berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) itu, kini banyak yang disulap warga menjadi perkebunan tomat, cabai, bawang dan sayuran.
Tak hanya itu, di sekitar perkebunannya warga juga membuat beberapa cubang yang dipakai sebagai tempat penampungan air untuk menyiram tanaman.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Bali Sulistyo Widodo saat dikonfirmasi tak menampik kondisi itu. Dia mengakui bahwa lahan hutan konservasi yang dikelola pihaknya banyak yang berubah fungsi menjadi perkebunan tomat, bawang dan sayuran.
Hanya saja mengenai berapa luas lahan hutan yang mengalami alih fungsi, Sulistyo belum bisa memberikan data pasti. Pihaknya mengaku kini masih melakukan pendataan terkait hal itu.

Sulistyo menjelaskan, sebelum dikelola BKSDA sesuai SK Menteri 2014 lalu, lahan hutan konservasi yang kini banyak mengalami alih fungsi tersebut dulunya berstatus hutan produksi terbatas. Pengelolaannya dulu berada di bawah Dinas Kehutanan. Dengan status hutan produksi terbatas, warga ketika itu diperbolehkan memanfaatkannya untuk ditanami tanaman perkebunan holtikultura. “Memang dulu dibolehkan. Istilahnya tumpang sari atau perhutanan social. Dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat,” terangnya.
Namun sejak berubah status menjadi hutan konservasi, kawasan tersebut dilarang untuk dimanfaatkan warga sebagai lahan perkebunan. Meski sesuai aturan sudah ada larangan tegas, namun Sulistyo mengaku bahwa pihaknya tidak bisa langsung menghentikan begitu saja aktivitas pertanian yang dilakukan warga penggarap di kawasan hutan tersebut. “Kita tidak bisa semena-mena mengeluarkan mereka,” ujarnya.

BKSDA harus melakukan pendataan menyangkut seberapa banyak jumlah penggarap yang ada, dan seberapa ketergantungan mereka terhadap lahan di kawasan hutan. BKSDA juga harus memastikan  apakah para penggarap tersebut selama ini memang tidak punya lahan garapan pribadi sehigga memanfaatkan lahan hutan. “Kita juga harus punya program jelas terkait upaya mengelola kawasan hutan konservasi sesuai aturan yang ada,” ujarnya.
Dalam upaya mengantisipasi sekaligus menekan maraknya pengalihfungsian lahan hutan konservasi, Sulistyo mengaku pihaknya selama ini terus melakukan kegiatan patroli/operasi pengamanan kawasan, baik yang dilakukan secara mandiri maupun gabungan. Selain itu, pihaknya juga akan terus berupaya memberikan pembinaan kepada warga agar tidak membuka lahan pertanian baru di kawasan hutan. “Untuk sementara ini kita masih lakukan inventarisasi dan menentukan langkah/program berikutnya dalam upaya rehabilitasi mengembalikan hutan sesuai fungsinya,” imbuhnya.
 


Ditayangkan sebelumnya dari situs Bali Post
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait